Yang Dibutuhkan, Bukan yang Diinginkan


Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Al-Mukmin: 60)

Sebagai manusia berketuhanan, pastilah pernah berdoa. Sedangkan mengenai waktu dan tempat serta tentang keistiqomahan menjaga diri untuk tetap berdoa adalah tentu bergantung seberapa kental tingkat kepribadian diri sebagai manusia yang benar-benar berketuhanan. Akan tetapi, lebih sering doa itu dipanjatkan hanya ketika manusia di dalam posisi terdesak oleh berbagai kesempitan dan kesusahan hidup. Sedang ketika berada di dalam kondisi lapang nan sangat berbahagia, kerapkali manusia lalai. Sehingga jangankan berdoa, bersyukur akan seluruh anugerah Tuhan pun lupa.

Parahnya, dengan kebiasaan yang semacam itu, ketika apa yang menjadi keinginannya sehingga tergerak hatinya untuk khusyu’ berdoa itu tidak kunjung terwujud, maka Tuhan dituduhnya sebagai yang tidak adil. Lalu berputus asa dan kembali menjauhi Tuhannya.

Pernahkah kita terperosok dalam kondisi yang seperti itu?

Jika pernah atau bahkan masih, marilah segera bertaubat. Kemudian meyakini janji Tuhan yang pasti mengabulkan setiap doa. Sebagaimana juga Sabda Rosulullah SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Tiadalah bagi seorang mukmin yang berdoa melainkan pasti dikabulkan, (dimana) adakalanya diberikan dengan segera di dunia, adakalanya ditangguhkan sebagai perbendaharaan doanya sesuai dengan kapasitas dari doanya tersebut, yakni selama ia tidak berdoa untuk kemaksiatan dan memutuskan hubungan silaturrahmi.” 

Pastinya, Tuhan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Hanya saja kita sebagai manusia yang diliputi serba ketebatasan, termasuk dalam hal pemahaman, sehingga seringkali tidak menangkap wujud dari telah dikabulkan-Nya doa-doa yang telah dipanjatkan. Kenapa demikian? Sebab Tuhan Yang Maha Tahu dan Sangat Cermat di dalam menimbang seluruh yang akan dianugerahkan adalah sebagaimana yang dibutuhkan manusia tersebut, yang pastinya seringkali tidak sesuai dengan yang diinginkan. Serta yang jelas, apa-apa yang dianugerahkan kepada manusia adalah sesuatu yang sama sekali tidak memberatkan hidup manusia.

Dengan demikian, sebagai manusia yang dibekali hati serta akal pikiran haruslah semakin cerdas di dalam menangkap pesan-pesan yang disampaikan pada tiap gejala di sepanjang kehidupan kita. Semakin kita menyadari akan kehidupan kita sendiri yang tidak putus-putusnya Tuhan memenuhi kebutuhan setiap diri kita, maka kita akan semakin menyadari betapa Tuhan telah mengabulkan seluruh yang kita panjatkan di dalam doa. Yang benar-benar kita butuhkan, dan bukan sebuah keinginan yang sedang kita idam-idamkan.

Dan tentulah sangat berbeda antara kebutuhan dengan keinginan. Disebut kebutuhan sebab diri kita memang butuh dengan sesuatu itu, seandainya tidak terpenuhi maka diri kita ini akan terperosok ke jurang derita. Dan ukuran kebutuhan sendiri bukanlah akal pikiran kita yang menilai, juga bukan perasaan yang muncul dari dalam hati, melainkan sebuah kondisi mengenai keberlangsungan hidup yang kita jalani. Sedangkan keinginan, kemunculannya bukan lantaran sebuah kondisi, akan tetapi lebih sering pada ambisi, gengsi, nafsu atau bahkan keserakahan diri. Sehingga nilainya pun tidak seprimer kebutuhan di dalam hidup yang jika tidak segera terpenuhi maka hidup akan terhenti.

Misalnya saja, ada seorang anak kecil yang memang kesibukannya baru bisa bermain. Kemudian, anak kecil tersebut melihat sebuah pisau yang bagus dan ia tertarik mengambilnya untuk dibuat mainan. Sebagai orangtua, bisa dipastikan kita tidak akan memperbolehkan anak kecil itu bermain dengan pisau. Kenapa? Sebab yang diinginkan anak itu menurut pandangan orangtua bisa sangat membahayakan keselamatan anak tersebut. Sedang yang dibutuhkan seorang anak hanyalah bermain, tentu sebuah permainan yang menyenangkan dan bukan yang membahayakan.

Atau bisa juga seperti ini, pisau tersebut sudah berada di tangan seorang anak kecil dan telah dijadikan mainan. Begitu orangtuanya mengetahui, pastilah dengan sedikit memaksa akan mengambil pisau tadi yang bisa jadi menjadikan anak kecil itu menangis tidak rela. Kenapa? Sebab pisau bukanlah mainan yang dinilai baik untuk anak kecil itu, melainkan akan membahayakan. Dan diambilnya pisau tadi sama sekali tidak lantas membiarkan anak terus menerus menangis lantaran tidak punya mainan. Akan tetapi, orangtua akan segera menggantikan dengan sebuah mainan yang pastinya lebih menyenangkan dan yang terpenting tidak membahayakan.

Demikianlah, gambaran sederhana pasti dikabulkannya sebuah doa. Akan tetapi, jika kita sadar diri, maka berdoa tidak lantas kita maknai sebagai sarana meminta-minta belaka. Melainkan sebentuk perintah Tuhan yang memang wajib dikerjakan. Sebab di dalam aktivitas berdoa, terdapat proses kemenyerahan diri yang sangat mengakui bahwa yang Maha Bisa Segala-galanya hanyalah Allah semata. Sehingga dengan berdoa, manusia terhindar dari sifat sombong, yang jika sedikit saja sifat sombong itu meracuni hati manusia maka diharamkanlah surga untuknya (laa yadkhulul jannah man kaana fii qolbihii mistqoola dzarrotin min kibrin).

Dan yang terpenting, bahwa pahala atas doa yang senantiasa dipanjatkan di sepanjang kehidupan manusia, kelak akan menjadi bekal yang luar biasa di kehidupan selanjutnya. Sebagaimana disampaikan Yazid Ar-Raqqsy bahwasanya kelak di hari kiamat akan diperlihatkan doa yang tidak Allah dipenuhi dengan segera di dunia, seraya Dia berfirman, “wahai hamba-Ku, inilah pahala dari doa yang kamu panjatkan dan Aku menangguhkannya.” Maka dipenuhilah ia dengan pahala yang banyak hingga ia pun berharap kiranya semua doa yang pernah dipanjatkannya dibalas Allah di akhirat saja (tidak disegerakan di dunia) karena berlimpahnya pahala atas yang demikian itu. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian