Menulislah Untuk Keabadian
Manusia, sejatinya adalah makhluk ruhani yang
diciptakan Tuhan sebagai yang “abadi” (ju’ila
lakumul abadu illal intiqool), sehingga adanya proses lahir dan mati
sesunguhnya bukanlah sebagai bentuk awal dan akhir kehidupan manusia, melainkan
hanya siklus perpindahan dari alam yang satu menuju alam lain yang memiliki
tingkat keabadian lebih tinggi. Jika pada kehidupan sebelumnya di alam ruh,
lalu berpindah ke alam kandungan, kini manusia berada di alam dunia dan hendak
menuju ke kehidupan selanjutnya.
Dan hanya di dunia yang fana inilah, manusia
dituntut untuk mempertahankan kesejatian dirinya yang telah bersepakat dengan
Tuhan ketika masih di alam ruh. Sebab itu, seluruh tindakan dan aktivitas yang
mestinya dijalani manusia di dunia ini haruslah senantiasa selaras dengan sifat
dasar manusia yang ruhani tadi. Selain juga dunia adalah diciptakan sebagai
tempat menanam untuk bekal yang akan dipanen kelak di kehidupan selanjutnya
yang lebih abadi. Tentu saja terlampau banyak aktivitas ruhani yang telah
diajarkan Tuhan di dalam kitab suci-NYA untuk dijalankan di dunia ini yang
pastinya mampu dijadikan bekal untuk dipanen kelak.
Sebagaimana juga aktivitas menulis, yang pastinya
adalah jalan ruhani dengan tulisan sebagai bentuk karya nyatanya, yang akan
tetap ada untuk mengabadi meski sang penulis telah tiada. Sehinggga
berbahagialah bagi mereka yang telah menelurkan banyak karya brilliannya lewat
aktivitas menulis, sebab di dalam tulisan yang dimunculkannya, setidaknya mengandung
dua amal dari tiga amal yang pahalanya terus mengalir biarpun orangnya telah
meninggal dunia (idzaa maatabnu Adama
inqotho’a ‘amaluhu illa min tsalasin, shodaqotin jariyatin, au ‘ilmin yuntafa’u
bihii, au waladin shoolihin yad’uulah).
Sudah pasti tulisan sebagai karya yang menyebar dan
dibaca untuk dicercap isinya adalah sebagai amalan jariyah, yang tentu saja
juga sebagai bentuk ilmu yang bermanfaat, sebab di dalam sebuah tulisan
mengandung pengetahuan dan keilmuan penulis yang dihasilkan dari proses
membaca, menelaah dan mencerdasi setiap kejadian lalu diolah di dalam otak dan
permenungan yang kontemplatif di dalam hati. Sehingga tulisan yang sebagai amal
jariyah dan ilmu yang bermanfaat inilah, aktivitas menulis dirasa jauh lebih
meruhani dibanding kegiatan peribadatan yang pahalanya terhenti seketika
manusianya meninggal dunia.
Jika demikian, bagaimana kita hendak tidak menulis?
Toh pada dasarnya, setiap manusia
memiliki kemampuan untuk menulis, tentunya menulis dalam artian yang sangat
luas. Semenjak di bangku sekolah, aktivitas menulis sudah menjadi kegiatan yang
tidak bisa ditinggalkan, meski kualitas tulisan hanya sebatas mencatat materi
pelajaran. Dan semakin berkembangnya zaman dengan kecanggihan teknologi yang
disajikan, maka aktivitas menulis ini pun tidak juga bisa dihindari, menulis
sms (short message service) misalnya,
dan yang telah mendunia adalah aktivitas menulis di media sosial, semacam
facebook dan twitter. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa tidak ada alasan
untuk tidak menulis, sebab fasilitas yang seharusnya mampu mendukung aktivitas
menulis itu sudah sedemikian banyak. Sehingga, menjadi produktif dan
berkualitasnya aktivitas menulis seseorang sama sekali tidak dipengaruhi oleh
segala sesuatu yang berada di luar dirinya, melainkan berada di dalam diri
orang tersebut.
Jika selama ini aktivitas menulis yang dijalani
tidak lebih pada pencatatan ulang atas sebuah materi, ataupun tentang keluh
kesah yang tidak jelas di media sosial, maka sesegera mungkin ditingkatkan
kualitasnya menjadi sebuah tulisan yang lebih bermakna dan lebih bermanfaat
bagi sesama, minimal dapat memberikan pengetahuan baru bagi para pembacanya
yang tentunya berisi ide-ide brillian.
Tidak sulit sebenarnya, sebab sesungguhnya tidak ada
rahasia khusus untuk bisa menulis, hanya mau atau tidak, itu saja. Bagi yang
telah memiliki kemauan tinggi untuk menulis, pastinya akan melakukan apapun
saja untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik, paling tidak ia akan lebih
banyak membaca sebagai upaya belajar, lalu memulai berlatih menulis dan
senantiasa akan tetap konsisten di dalam aktivitas menulis. Namun bagi yang
sama sekali tidak memiliki kemauan, maka dipaksa bagaimanapun juga tidak akan
pernah menghasilkan sebuah tulisan. Memang kemauan ini persoalan di dalam diri,
akan tetapi bisa saja dibangkitkan dengan motivasi-motivasi yang berasal dari
luar diri, semisal membaca buku-buku tentang kepenulisan, mengikuti seminar dan
pelatihan, atau dengan meneladani penulis-penulis besar yang karya-karyanya
telah mendunia.
Akan tetapi, yang terpenting adalah bangkitnya
kemauan itu haruslah dimulai dengan pengertian bahwa menulis tidaklah sekedar pekerjaan
duniawi sebagaimana kerja yang selama ini ditekuni demi gaji dan sesuap nasi,
melainkan jauh lebih mulia dari itu yakni menulis adalah jalan ruhani yang tidak
hanya soal materi belaka tetapi juga pahala yang senantiasa akan terus mengalir
selama tulisan-tulisan itu ada, dibaca, dan menjadikan orang lain mampu
menggali manfaat, bahkan akan tetap mengalirkan pahala biarpun sang penulis itu
telah tiada dan kembali ke keabadian-NYA.
Sebab itu, segeralah menulis untuk keabadian. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar