Tidak Sekedar Niat Baik
“al-umuuru
bimaqhosidihaa” bahwa segala sesuatu itu bergantung niatnya. Sedang pada
tataran niat, jika yang diniatkan adalah sebuah kebaikan, maka niat baik
tersebut sudah dicatat sebagai amal baik oleh Tuhan. Lebih-lebih jika benar-benar
mampu menjalankan kebaikan yang telah diniatkannya tadi. Sebaliknya, ketika
terdapat niatan buruk di dalam hati, maka masih ditangguhkan sehingga ia
menjalankan niatan buruknya tadi. Bahkan saking Maha Baiknya Tuhan, ketika
manusia sudah terjerumus pada perbuatan buruk untuk pertama kalinya, juga belum
dicatat sebagai benar-benar menjalankan keburukan. Tuhan masih memberikannya
ruang berkesempatan untuk bertaubat.
Jika misalnya, di pagi hari ia melakukan sebuah
keburukan, maka catatan amalnya ditangguhkan hingga siang hari. Ketika
tiba-tiba di siang hari ia bertaubat, maka keburukan tadi dihapuskan dengan
ampunan-Nya. Namun, jika setelah melakukan keburukan tadi tidak ada penyesalan
sama sekali, tidak kunjung bertaubat memohon ampunan atas sebuah kesalahan yang
telah diperbuat, maka Tuhan mencatatnya sebagai amal buruk yang kelak dibalas
dengan siksa neraka.
Betapa Maha Baiknya Tuhan, tidak lantas manusia
diijinkan untuk akal-akalan di dalam menjalankan suatu perbuatan. Sebagaimana ketika
berniat melakukan keburukan, setelah itu langsung bertaubat agar keburukannya
tidak dicatat sebagai amal buruk. Kemudian berniat buruk dan menjalankan
keburukannya lagi, lalu bertaubat. Demikian seterusnya, sehingga tataran
perintah dan larangan Tuhan dibuatnya sebagai sebuah permainan saja. Hal ini
munafik namanya, yang pastinya sama sekali tidak ada keteguhan untuk secara
istiqomah menjalankan tugas manusia yang utama beribadah kepada Tuhan sekaligus
menjadi khalifah di muka bumi dengan peranan yang pasti adalah menjaga
kedamaian hidup seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Sebab itulah, syarat utama di dalam bertaubat adalah
tidak mengulangi keburukan yang telah dijalani, kemudian menggantinya dengan
kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik. Memang seperti itulah bertaubat, bukan
yang hari ini sibuk melakukan keburukan, besoknya bertaubat dan menjalankan
banyak kebaikan. Esoknya lagi berbuat buruk lagi, kemudian bertaubat kembali.
Sehingga di dalam proses pertaubatan itu selalu melahirkan sifat kehati-hatian.
Yakni sangat berhati-hati di dalam setiap tindak-tanduknya agar tidak lagi
terjerumuskan pada tindakan-tindakan buruk yang lain.
Dan bermula dari sikap bertaubat yang sebenarnyalah akan
melahirkan kehati-hatian diri. Selanjutnya, secara terus menerus berproses
menjadi manusia yang semakin beruntung. Yakni mereka yang hari ini lebih baik
dari hari kemarin, dan hari esok jauh lebih baik dari hari ini. Begitu
seterusnya hingga kelak ajal menjemputnya sebagai akhir yang baik (husnul khotimah).
Dengan
demikian, sesungguhnya niat tidaklah terhenti pada sebuah keinginan menjalankan
suatu jenis perbuatan saja. Sebagaimana dengan niatan baik, maka tidak boleh
berhenti pada niat yang baik saja kemudian mengabaikan perwujudannya di dalam
bentuk perbuatan. Melainkan di setiap niatan baik terdapat rentetan aktivitas
yang harus disesuaikan tingkat kemaslahatannya dengan niatan baik tersebut. Karena
begitu banyak niatan baik yang tidak dijalani
dengan cara yang baik sehingga malah menimbulkan ketidak baikkan-ketidak
baikkan baru, bahkan malah menimbulkan kerusakan dan kehancuran.
Sehingga, setiap niatan
baik, lebih-lebih yang menyangkut hidup manusia lain atau alam semesta secara
keseluruhan, sama sekali tidak diijinkan hanya berdasar pertimbangan ego
pribadinya masing-masing. Akan tetapi harus ada sisi-sisi di mana menjunjung
tinggi harkat martabat serta kemaslahatan kehidupan yang lain. Di sinilah peran
penting manusia yang ditunjuk sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Misalnya saja,
aksi teror yang selama ini muncul. Jika ditelusuri dari sisi niat, bisa jadi
dimulai dengan niat yang baik, mungkin itu demi menegakkan agama, berjuang di
jalan Tuhan, dan lainnya. Namun niatan mulia tersebut tidak lantas diikuti oleh
cara pandang yang jauh lebih luas lagi. Bahkan cenderung mengabaikan atau
parahnya merendahkan harkat martabat dan kemaslahatan kehidupan yang lain. Kondisi
yang semacam ini tentu dikarenakan tingginya sikap egoisitasnya diri dengan terus
menerus mendiskreditkan segala sesuatu di luar ego pribadinya tersebut.
Lebih-lebih egoisitas diri yang dibumbui kebencian, maka efek kejahatannya akan
sangat mengerikan.
Dan pada akhirnya,
seluruh niatan yang ada di hati manusia, yang awalnya hanya diketahui oleh
Tuhan juga manusia itu sendiri yang memiliki niat, maka baik dan tidaknya niat
tersebut hanya mampu ditangkap oleh sesama hidup serta seluruh ciptaan-Nya dalam
wujud prilaku atau akhlak manusia tersebut. Semakin baik dan semakin
menumbuhkan kebaikan bagi sesama hidup, pada dasarnya semakin baiklah niatan
yang tergores di dalam hatinya. Sebaliknya, semakin buruk prilaku dan efek dari
setiap tindak tanduknya bagi keselamatan dan kedamaian sesama hidup, maka
sesungguhnya sangatlah buruk niatan yang ada di dalam manusia tersebut. “Jer lahir utusaning bathin” orang Jawa
bilang, bahwa seluruh bentuk akhlak yang diistiqomahkan di sepanjang
kehidupannya adalah perwujudan dari kondisi bathin atau hati yang sangat mulia.
Dan sesungguhnya, tidak ada niatan baik jika dikerjakan dengan cara-cara yang
salah (laisa maqhoosidul khoir bissuuit thoriiqoh). (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar