Berbahagia Dengan yang Ada


Adakah yang bisa benar-benar hidup tanpa berkeluh kesah? Bisa dipastikan sangatlah jarang. Sebab siapapun saja, di sepanjang kehidupannya tidak lantas bisa menikmati takdir yang mesti dijalaninya dengan pasrah apa adanya. Sehingga apa yang dirasakannya kurang agar segera dihapuskannya dengan perasaan-perasaan bahagia menikmati seluruh anugerah yang telah diterimanya.

Ingin segera, itulah yang menjadikan permasalahan utama. Keinginan sendiri adalah kerapkali diliputi oleh ketidak puasan akan apa yang telah dianugerahkan Tuhan pada saat sekarang. Sudah mendapatkan ini, menginginkan yang itu. Sudah memperoleh itu, ingin memiliki yang ini. Begitu seterusnya tanpa ada kepuasaan mendalam akan apa yang telah didapatkannya. Parahnya lagi, keinginan demi keinginan itu tidak diimbangi oleh kepandaian menikmati setiap anugerah yang sudah di depan mata. Kemudian, muncul rasa tidak puas, kurang ini, kurang itu. Puncaknya, diri menjadi tidak bahagia, sebab hati dan pikiran telah diracuni oleh ketidak puasan itu sendiri. Kemerdekaan dirinya telah ditindas oleh keinginan demi keinginan yang kerapkali di luar batas kemampuan dirinya.

Dalam kondisi yang demikian, hanya akan ada dua muara sebagai akhir dari diri yang sudah sedemikian itu. Yakni, keangkuhan diri dan keluhan keputus asaan. Jika beruntung, maka keinginan demi keinginan itu akan mudah tercapai. Dan bisa dipastikan, setiap ketercapaian yang dilandasi dari ambisi yang melalaikan segala sesuatu yang telah dimiliki untuk disyukuri, hanya akan menjadikan diri terperosok pada jurang keangkuhan dan kesombongan. Sehingga ketika misalnya ditanya oleh orang lain mengenai rahasia ketercapaian yang telah dimilikinya, maka yang pertama kali muncul bukanlah rasa syukur. Melainkan adalah merasa bangga bahwa ia bisa seperti itu sebab ia telah banyak melakukan usaha ini dan pekerjaan itu. Tuhan Yang Maha Menakdirkan sama sekali tidak muncul dari lisannya untuk diagungkan.

Di sinilah, kemudian seluruh ketercapaian yang telah nampak oleh setiap mata sebagai kemegahan dunia adalah sesungguhnya azab Tuhan yang pedih. Seluruh apa yang diinginkannya dipenuhi oleh Tuhan sebagai bentuk istidroj-Nya. Sehingga apa yang telah dikuasainya di dunia hanya akan mengantarkannya sebagai seburuk-buruknya makhluk.

Dan lantas, bagi yang tidak beruntung, maka keinginan-keinginan itu hanya menjadi angan-angan saja. Sedang seluruh upaya serta kerja kerasnya hanya berbuah keputus asaan yang diliputi keluhan ketidak puasan diri. Sehingga kondisi diri pun semakin tertekan, hati dan pikirannya sudah terpacu oleh rasa sudah sangat menginginkan sesuatu itu agar segera tercapai, tetapi apalah daya, segalanya tidak memungkinkan. Bak mayat hidup, ia hanya diombang-ambingkan oleh keinginan demi keinginan yang tidak mampu dicapainya. Parahnya, tidak hanya keluhan serta keputus asaan yang mendera dirinya sehingga menjadi sangat lemah. Akan tetapi, seringkali ia menuduh-nuduh Tuhan sebagai yang tidak adil atas semua yang telah diterimannya.

Kedua kondisi tadi, keangkuhan diri serta keluhan keputus asaan, tidak lain hanyalah bersumber dari keadaan setiap diri yang sudah tidak mampu menerima apa yang memang harus diterimanya dengan menikmatinya sebagai rasa syukur atas anugerah Tuhan.

La-in syakartum la-aziidannakum, wa la-in kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid”, demikianlah firman Allah SWT  di dalam al-Qur’an. Bahwa siapa yang mau berterima kasih atas apa-apa yang telah dianugerahkan-Nya, maka Allah akan melipatgandakan anugerah-Nya itu. Sedang bagi yang kafir atau tidak berterima kasih, maka akan ditimpakan adzab Allah yang sangat pedih. Dan seringkali, kesalahpahaman kita adalah pada persepsi bahwa pelipatgandaan itu ada pada jumlah atau kuantitas dari apa-apa yang telah dianugerahkan-Nya, bukan pada derajat atau kualitasnya. Sehingga, ketika kita memilih sikap untuk bersyukur, maka yang muncul pertama kali adalah sebuah keinginan agar apa yang kita syukuri tadi bertambah banyak dalam hal jumlah atau kuantitas. Padahal tidak mesti demikian. Akan tetapi, yang jelas jika rasa syukur itu dimunculkan hanya demi sebuah tambahan atau pelipatgandaan dari apa yang telah diterimanya, maka sesungguhnyalah ia tidak sedang bersyukur secara benar, melainkan hanyalah perasaan yang belum puas tentang apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Dan mungkin, di antara kita sendiri pernah mengalami, ketika mensyukuri apa yang telah kita terima, bukan malah bertambah banyak apa-apa yang telah di depan mata. Akan tetapi semakin surut dan bahkan semakin kesulitan kita mendapatkan lagi sesuatu itu. Begitu sebaliknya, mereka yang tidak bersyukur, maka bertambah banyaklah apa yang menjadi miliknya.

Jika memang demikian, maka setiap diri dituntut untuk secara jeli menginstrospeksi diri dan kemudian secara terus menerus memperbaiki kualitas diri. Kita sendiri pastilah sangat abai atau minimal melalaikan akan halal dan haramnya sesuatu yang kita makan dan yang kita nafkahkan kepada anak-anak dan istri kita. Ketika selama ini lebih condong pada keharaman, maka rasa syukur yang kita biasakan itu tidak akan memperbanyak sesuatu yang haram itu. Melainkan akan menguranginya dan terus menguranginya, yang kemudian kita menamainya sebagai sebuah kesulitan. Sebab pada dasarnya, manusia sendiri adalah makhluk yang suci dan Tuhan sendiri menginginkan agar kesucian tersebut tetap dipertahankan. Sehingga setiap rasa syukur itu, pada awalnya akan mengurangi serta menghapus segala sesuatu yang bersumber dari ketidak baikan atau keharaman tadi. Semakin bersyukur, maka semakin sempitlah pintu-pintu keharaman itu, yang kemudian secara perlahan akan dibukakan banyak pintu yang mengalirkan segala yang halal.

Tentunya, dalam kondisi seperti ini, siapapun pada awalnya akan merasa seperti disiksa. Bagaimana tidak? Rizqi yang semula bertubi-tubi dan mencukupi diri menjadi sempit dan hilang sama sekali. Sedang yang tidak segera memahami peralihan dari keharaman kepada kehalalan ini, maka tidak jarang akan memunculkan keluhan serta keputus asaan. Padahal sesungguhnya Tuhan sedang menghapuskan dosa-dosanya yang selama ini dikerjakan lantaran masuknya segala macam yang haram kepada diri serta seluruh keluarganya. Dan yang mampu bertahan serta bersabar akan kondisi yang demikian, maka ia akan semakin menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas yang pastinya semakin dicintai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


Akhirnya, bersyukur dan senantiasa bersyukurlah, maka diri akan semakin memahami untuk apa dan mau ke mana sejatinya hidup manusia yang mensti harus dijalani. Dan pastinya, hanya bersyukur dan senantiasa bersyukurlah, manusia akan semakin terhindar dari keinginan-keinginan yang tidak pada tempatnya, serta yang akan melindunginya dari segala macam bentuk dan jenis keluhan, juga wujud keputus asaan. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Menulislah Untuk Keabadian