Rizqi ≠ Uang


Rizqi tidak sama dengan uang kan?

Siapapun akan sangat mengakui hal itu. Akan tetapi, kebanyakan dari siapapun itu cenderung membatasi diri di dalam memaknai dan memahami apa yang sesungguhnya disebut rizqi itu. Misalnya saja, ketika sedang lelap tertidur di saat kebanyakan orang sibuk bekerja. Maka segera kita akan dicap oleh kebanyakan orang bahwa rizqi tidak akan mendatangi seorang yang tidur. Tentu saja, rizqi di sini sangat dipersempit oleh pembatasan bahwa hanya uanglah rizqi itu. Sehingga rizqi berupa tidur menjadi terlupakan. Uang yang dikejar-kejar itu menjadikan rizqi tidur yang sangat luar biasanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, yang pada saat lain, manusia sendiri tidak bisa menciptakan tidurnya sendiri secara alami. Bukankah pada proses tidur itu manusia hanya bisa memejamkan mata saja, sedang tidur sendiri sebuah proses yang manusia tidak bisa mengaturnya sendiri. Itulah rizqi, sebuah pemberian yang luar biasa berharganya. Sebab berapa banyak orang yang tidak menikmati tidur nyenyaknya, kemudian mereka menghabiskan banyak uang untuk mengobatkan hal tersebut secara medis ataupun non medis.

Misalnya lagi, sepulang dari bekerja. Ketika itu kita tidak membawa uang sepeserpun dari sebuah usaha pekerjaan yang telah dijalani. Maka pada saat itu juga, kebanyakan kita akan berujar bahwa belum rizqinya. Lagi-lagi di sini terjadi pemaknaan dan pemahaman yang sangat sempit terhadap pengertian rizqi itu sendiri, yakni sebatas uang. Padahal, hebatnya kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan untuk menjalani setiap aktivitas kehidupan, termasuk di dalamnya kekuatan bekerja adalah sebuah rizqi yang sungguh tiada terkira. Belum lagi semangat berkobar-kobar yang bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Dan tentu kesemuanya tidak bisa dikurskan dengan uang yang tidak seberapa itu. Buktinya, berapa banyak tubuh yang sakit dan tidak mampu lagi bekerja kemudian uang tidak sanggup menebus kesembuhannya. Berapa banyak orang yang di dalam dirinya sama sekali tidak tumbuh semangat untuk bekerja, lalu uang tidak lagi dapat menumbuhkan semangat itu.

Tidak sampai di sini, bahkan rasa syukur yang tumbuh lantaran sebuah kenikmatan mendapatkan anugerah Tuhan adalah seringkali dijalani hanya demi mendapatkan tambahan rizqi itu sendiri. Dan lagi-lagi hanya sebatas uang, rizqi itu dimaknai dan difahami. Benar sekali bahwa Tuhan memerintahkan untuk bersyukur atas seluruh kenikmatan dan anugerah yang diterima manusia. “La-in syakartum la-aziidannakum”, jika manusia mau bersyukur atas pemberian Tuhan, maka akan ditambah-Nya pemberian itu. Kemudian apa yang ada di hati dan pikiran manusia? Tidak lain adalah dipenuhi oleh ambisi “tambahan” itu sehingga mengabaikan sudah bersungguh-sungguh ataukah tidak rasa syukur yang diucapkannya itu. Di dalam kondisi diri yang demikian, maka manusia sudah tidak lagi disibukkan oleh upaya menikmati apa yang telah diterimanya, melainkan sibuk menuntut “tambahan” demi “tambahan” dari Tuhan lantaran rasa syukur yang dikiranya sudah benar-benar disebutnya sebagai bersyukur itu. Sehingga pada akhirnya, tidak lagi kenikmatan rizqi yang didapatkannya, melainkan adalah segala sesuatu yang menjadikan hati dan pikirannya tertekan oleh kesempitan-kesempitan pemaknaan dan pemahamannya sendiri atas rizqi yang sesungguhnya sangatlah luas dan tiada terkira ini.

Sesungguhnya, jika kita mau sedikit membuka hati serta pikiran di dalam memaknai dan memahami apakah yang sesungguhnya disebut rizqi itu. Maka tidak sesuatu pun yang kita jumpai dan rasakan efeknya, baik itu sesuatu yang dirasakan sebagai sebuah kebahagiaan atau sebaliknya adalah tidak lain sebuah rizqi, pemberian Tuhan yang tiada terkira nilainya. Bagaimana tidak terkira? Di dalam tubuh kita sendiri saja, berapa banyak system yang berjalan dengan sendirinya tanpa kehendak kita yang dianugerahi tubuh itu? Detak jantung, sebagai pusat hidup manusia, bukan manusia sendiri yang memacunya untuk terus berdetak, bahkan manusia menyadari keberadaannya saja tidak. Hidung yang menghirup udara kemudian menghembuskannya itu, manusiakah yang mengatur? Kemudian udara diolah sedemikian rupa di dalam system yang ada pada tubuh manusia sebagai sumber hidup. Dan lain lagi, dan banyak lagi. Tentu, tidak banyak yang bisa menyadari bahwa seluruhnya adalah rizqi Tuhan yang sangatlah patut untuk disyukuri.

Itu baru tubuh manusia, sedikit sekali yang disadari kenikmatannya. Belum lagi kenikmatan-kenikmatan lain yang dirizqikan yang nilainya sama sekali tidak bisa dikurskan dengan uang yang tidak seberapa itu. Bahkan kesusahan yang dirasa menyakitkan, dalam apapun saja bentuknya. Sesungguhnya hal itu tidak lain adalah sebuah rizqi yang tiada terkira, yang kerapkali manusia sangat telat di dalam menyadarinya. Sehingga kemudian muncullah yang diistilahkan dengan “mengambil hikmah” dari sebuah peristiwa. Dan tentu, pengambilan hikmah tadi sejatinya adalah sampainya manusia di dalam puncak rasa nikmat yang baru dirasakannya dari sebuah proses panjang yang semula dirasakan sebagai kesusahan yang menyakitkan tadi.

Dengan demikian, janganlah lagi membatasi pemaknaan dan pemahaman diri atas rizqi hanya pada uang saja. Sebab rizqi sama sekali berbeda dengan yang namanya uang. Dan uang sendiri adalah alat tukar yang sesungguhnya memiliki efek yang sama sekali tidak bernilai apa-apa dibandingkan rizqi-rizqi Tuhan yang sedemikian luar biasanya yang telah dianugerahkan kepada kita. Juga yang jauh lebih penting untuk disadari, bahwa pembatasan akan makna dan kepahaman soal rizqi tadi hanya akan menjadi manusia tidak pandai bersyukur. Jika rizqi hanya dimaknai dan dipahami sebatas uang, maka hanya yang mendapatkan uang sajalah yang akan bersyukur, sedang segala sesuatu yang di luar itu yang tentunya jauh lebih tiada taranya, tidak disadari untuk disyukurinya. Sedang pembatasan-pembatasan itu, tidak lain hanya akan berujung pada kekufuran-kekufuran diri akan kenikmatan yang telah dirizqikan oleh Tuhan. Dan kufur nikmat sendiri, tidak lain adalah adzab Tuhan sebagai balasannya. Sebagaimana firman-Nya di dalam al-Qur’an, “wa la-in kafartum inna ‘adzaabii la-syadiid”. (M. Nurroziqi)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian