Menjadi Pribadi Penderma


Dikisahkan, terdapat seorang sahabat Anshar yang berpuasa dengan hanya air putih sebagai menu berbukanya. Demikian juga pada keesokan harinya ketika berpuasa, bukanya pun hanya dengan sekedar air putih. Pada hari yang ketiga, salah seorang sahabatnya mengetahui apa yang menjadi kesusahan dari sahabatnya tersebut. Maka diajaklah sahabatnya tersebut ke rumahnya untuk dijamu. Setiba di rumah, ia berkata kepada istrinya, “malam ini kita kedatangan tamu, apakah ada makanan di rumah kita?”. Istrinya menjawab, “ada, tetapi hanya cukup untuk satu orang saja”.

Padahal suami-istri itu pun sedang berpuasa, dan memiliki seorang anak. Lantas suami itu berkata kepada istrinya, “hari ini, biarlah kita bersabar untuk tidak makan, dan tidurkanlah anak kita sebelum saatnya makan. Sedangkan ketika makanan itu telah kau hidangkan untuk tamu kita, padamkanlah lampu sehingga tamu kita mengira kalau kita pun turut makan bersamanya.” Kemudian, istrinya menghidangkan makanan itu kepada tamunya. Lantas ia pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan suaminya untuk memadamkan lampu. Dan di saat lampu itu padam, suaminya pun berpura-pura seperti sedang menyantap makanan.

Pada keesokan harinya, ketika seorang sahabat yang telah menjamu sahabat Anshar itu shalat Shubuh bersama-sama Rosulullah SAW, beliau memandang penuh kekaguman kepadanya seraya bersabda, “Sungguh Allah telah kagum pada apa yang telah kamu perbuat dengan istrimu semalam.” Kemudian, beliau SAW membacakan QS. Al-Hasyr ayat 9 yang artinya, “Mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Kemudian, bagaimana jadinya jika seandainya kita sendiri yang menjumpai seorang yang sedang berkesusahan itu? Sedangkan keadaan kita juga tidak lebih beruntung dari orang itu? Maka yang akan terjadi hanyalah saling berkeluh kesah tentang kesusahan masing-masing, bahkan tidak jarang saling membesar-besarkan kesusahan itu agar dipandang orang lain sebagai yang paling susah dengan harapan mendapatkan belas kasihan dalam uluran tangan berupa bantuan.

Mungkin, masih bisa dikatakan wajar jika yang susah bertemu dengan yang sama-sama susah, meskipun sangat tidak dibenarkan mengumbar kesusahannya kepada orang lain, apalagi agar mendapatkan belas kasihan. Dan bahkan perasaan susah itu sendiri sudah merupakan sebentuk dosa, sebab sesungguhnya di dalam setiap munculnya perasaan susah itu selalu saja diawali dari ketidak ridhoan atau wujud tidak setuju dengan apa yang telah ditakdirkan Tuhan kepadanya. Dari sikap yang demikian inilah yang memunculkan bibit-bibit kekafiran (kaadal faqru ayyakuuna kufron).

Lantas menjadi sangat tidak wajar, ketika seorang yang mampu, bahkan sedang berkelebihan, hanya diam saja menjumpai seorang yang sedang dilanda kesusahan. Apalagi menambah kesusahan orang tersebut dengan pengusiran dari dirinya sebab merasa tidak selevel, atau merasa dirugikan dengan keberadaan orang susah tersebut. Di sinilah, menjadi dermawan itu sangatlah tidak mudah sebab harus dimulai dari mengalahkan egoisitasnya sendiri, mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Jika tidak demikian, maka anak dan istrinya, bahkan keluarganya sendiri yang menjadi penghalang dirinya untuk melakukan sebentuk kebajikan menolong sesama.

Kembali kita bayangkan, jika memang tidak seorang yang benar-benar kuat keislamannya, maka tidak akan pernah sanggup mengikhlaskan sesuatu yang sudah sangat dibutuhkannya kepada orang lain yang juga sangat membutuhkannya. Inilah wujud betapa dirinya sendiri, kepentingan pribadinya, kekuatan egonya telah dikalahkannya, sehingga ia bisa dengan sedemikian mudah mengutamakan segala sesuatu di luar dirinya. Dan seorang yang sedemikian inilah yang sesungguh-sungguhnya menjadi orang baik, sebab ia sudah mampu mengikhlaskan apa yang benar-benar sangat dibutuhkannya untuk orang lain, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imron ayat 92, “Tidak disebut sebagai seorang yang baik sehingga ia sanggup menafkahkan segala sesuatu yang dicintainya.

Kemudian, sabda Rosulullah SAW tentang “tangan di atas jauh lebih baik dibanding tangan di bawah”, juga tidak dijalankan dengan sebaik-baiknya. Bahkan kerapkali dipraktekkan asal-asalan saja tanpa mempertimbangkan kualitas kebaikan yang diulurkan untuk orang lain yang sangat membutuhkan. Misalnya saja, ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, dalam rangka menjadi tangan yang di atas, seringkali sesuatu yang diberikan itu adalah sesuatu yang sama sekali sudah tidak kita sukai, bahkan malah sesuatu yang sudah sepantasnya untuk dibuang di tong sampah. Kita tidak lagi mempedulikan bahwa kita sendiri saja sudah tidak sudi dengan sesuatu itu, bagaimana bisa kita memberikannya kepada orang lain yang sama-sama manusia sebagaimana kita?

Dan sebagai umat beragama, khususnya Islam yang sangat meyakini bahwa dunia adalah ladang tempat menanam sebanyak dan sebaik mungkin kebajikan untuk kemudian dipanen, dinikmati di akhirat kelak, maka sudah seharusnyalah segala sesuatu yang dikerjakan di dunia ini juga dalam kualitas yang sebaik-baiknya juga dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Agar kelak tidak hanya penyesalan yang akan kita petik di akhirat, sebagaimana sebuah kisah yang diriwayatkan Saidatina Aisyah r.a. Pada suatu hari datang seorang wanita yang menutupi tangannya dengan lengan bajunya. Melihat keganjilan tersebut, Saidatina Aisyah r.a. pun bertanya, “Adakah sesuatu yang membuatmu harus menyembunyikan tangan pada lengan bajumu?”. Wanita itu menjawab, “Janganlah kamu menanyakan hal itu kepadaku, wahai ummul mukminin.” Saidatina Aisyah r.a. berkata, “Katakanlah, aku akan mendengarnya.


Setelah didesak, akhirnya wanita itu pun bercerita, “Aku memiliki orangtua, dimana dulu ayahku adalah seorang yang suka bersedekah, sementara ibuku adalah orang yang kikir. Tidaklah pernah ibuku bersedekah, melainkan hanya dengan sepotong gajih dan sehelai pakaian yang telah usang. Dan semalam aku bermimpi seakan-akan hari kiamat itu telah datang. Lantas aku melihat ibuku berada di lautan manusia dengan hanya memakai pakaian usang sebagai penutup auratnya sambil menjilat-jilati sepotong gajih di tangannya, dan ia berkata, ‘haus, haus.. .’ Padahal tidak jauh dari situ aku melihat ayahku sedang berada di tepi telaga sambil membagi-bagikan air kepada orang banyak. Dan memang ayahku adalah orang yang gemar bersedekah air. Kemudian aku mengambil segelas air dari telaga itu untuk ‘ku berikan kepada ibuku, tiba-tiba terdengar suara yang berseru, ‘Janganlah kau berbuat itu, karena bagi siapa yang memberikan minum bukan kepada ahlinya niscaya tangannya akan mati.’ Dan ketika aku terbangun dari tidur, ternyata tanganku benar-benar mati dan tidak bisa digerakkan lagi.” (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian