Stop Keluhan
Sebagai manusia yang hidup
di dunia, pastilah setiap dari kita pernah mengalami sebentuk peristiwa atau
sebuah keadaan di mana diri ini merasakan hal tersebut sebagai yang sangat
menyusahkan dan menyengsarakan. Lantas, tidak jarang pula apa yang dirasakan
tersebut ketika berjumpa dengan manusia lainnya dicerita-ceritakan. Kita dengan
sangat biasa mengeluhkan seluruh apa yang kita sebut sebagai yang menyusahkan
dan menyengsarakan tadi kepada manusia lain. Itu pun seringkali sudah tidak
secara sembunyi-sembunyi hanya kepada ini dan si itu. Akan tetapi dengan
kemajuan media tekhnologi yang ada, keluhan dan ratapan akan hidup yang dirasakannya sebagai yang sedemikian menyusahkan nan menyengsarakan tadi dengan
bangganya ditulis di media-media social. Tidak hanya antar pribadi yang ikut
mendengar dan melihat keluhan-keluhan itu, akan tetapi masyarakat umum. Dan
sepertinya, keluhan sudah sangat membudaya serta menjadi konsumsi public lantaran maraknya media social
yang ada.
Namun, yang menjadi
pertanyaan adalah bolehkah mengeluhkan kesusahan dan kesengsaraan hidup itu
kepada sesama manusia?
Pernah suatu ketika,
Nabiyullah Ibrahim mengunjungi Ismail putranya yang tinggal di Makkah. Namun
beliau tidak mendapati putranya itu di rumahnya. Istri Ismail memberitahukan
bahwa Ismail sedang pergi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika beliau
menanyakan perihal kehidupan mereka, istri Ismail mengadukan kesengsaraan hidup
yang mereka alami. Mendengar jawaban seperti itu, beliau berpesan agar sang
menantu menyampaikan salamnya kepada Ismail dan mengatakan kepadanya agar
mengubah ambang pintu rumahnya. Ketika Ismail pulang, istrinya menceritakan apa
yang terjadi saat pergi. Dari kisah istrinya, tahulah Ismail bahwa yang datang
adalah ayahandanya. Ia juga paham maksud pesan ayahandanya yang disampaikan
oleh istrinya. Ismail mengerti bahwa yang dimaksud dengan ambang pintu rumah
itu adalah istrinya. Maka, ia pun menceraikan istrinya, lalu menikah lagi
dengan perempuan lain.
Beberapa waktu kemudian,
Nabiyullah Ibrahim kembali datang untuk menjenguk Ismail. Namun, lagi-lagi ia
tidak mendapati putranya di rumah. Sebelum pergi, beliau bertanya kepada istri
Ismail yang baru tentang kehidupan keluarga mereka. Ditanya demikian, istri
Ismail memuji Allah SWT atas kelapangan rizqi yang dikaruniakan-Nya kepada
keluarga mereka. Setelah itu, beliau pun pamit dan berpesan agar sang menantu
menyampaikan salamnya kepada Ismail. Beliau juga meminta menantunya untuk
mengatakan kepada Ismail agar terus merawat ambang pintu rumahnya. Ketika
Ismail pulang dan diberitahu tentang apa yang terjadi, Ismail tahu bahwa yang
datang adalah ayahandanya serta mengerti maksud dari pesan ayahandanya
tersebut, yaitu agar menjaga istrinya yang baik.
Cerita di atas menggambarkan
bahwa setiap kita haruslah tegas kepada diri kita sendiri, juga anak istri
serta keluarga agar tidak sedikitpun mengeluh atas kehidupan yang dijalani,
sebetapapun beratnya hidup itu. Namun kadangkala, sebagai manusia yang
sedemikian lemah, mungkin kita akan sangat memaklumkan jika pada saat diri
ditimpa sebuah musibah yang dirasa menyusahkan nan menyengsarakan, kemudian
merasa tidak kuat, lantas seadanya manusia diberitahukan tentang kesengsaraan
hidup yang telah dialaminya. Tidak hanya kepada yang bertanya akan kondisi
hidupnya, bahkan kepada siapapun saja yang telah dijumpainya.
Lantas, apa yang dijadikan
pertimbangan ketika Nabiyullah Ibrahim malah menyuruh Ismail menceraikan
istrinya yang telah mengadukan kesengsaraan hidupnya kepada beliau?
Bahwa di dalam sebuah
keluhan yang berisi tentang aduan tentang kesengsaraan hidup yang dirasakan
adalah, pertama, wujud ketidak
setujuan atau tidak ridhonya seorang hamba akan takdir hidup yang telah
ditetapkan Tuhan untuk dijalani. Sedangkan tidak setuju atau tidak ridho
terhadap takdir Tuhan akan melahirkan serangkaian keburukan-keburukan baru,
bahkan puncaknya akan menjadikan diri semakin kafir terhadap Tuhan. Bermula
dari keluhan yang menyimpan ketidak ikhlasan, yang tentu juga di dalam diri
seorang yang mengeluhkan hidupnya sejatinya sudah tidak ada rasa syukur sama
sekali. Sedangkan, seburuk-buruk orang adalah mereka yang tidak tahu berterima
kasih atau bersyukur.
Kedua, bahwa
keluhan sendiri adalah bentuk lain akan watak diri yang sesungguhnya sangatlah
serakah dan thoma’. Bagaimana tidak? Setiap kali keluhan itu muncul, maka yang
pertama kali menjadi sandingan adalah begitu banyaknya keinginan tentang ini
dan itu. Jangankan bersyukur dan menikmati segala apa yang telah menjadi
perkenan Tuhan, setuju atau ridho akan perkenan itu saja tidak. Sehingga mulai
ia membandingkan hidupnya dengan si itu dan si ini, kemudian tumbuhlah di dalam
hatinya sebentuk pengingkaran yang menjadikannya semakin berani menuduh-nuduh
Tuhan sebagai yang sama sekali tidak adil. Serta ketika berkeluh kesah akan
kesengsaraan hidupnya kepada manusia lain, maka yang pasti tersimpan di dalam
hatinya adalah harapan agar manusia lain menjadi iba terhadap dirinya, lalu
tergeraklah manusia lain itu untuk membantu dirinya. Sedang harapan-harapan
ingin agar manusia lain menjadi iba dan mau membantu kesulitan serta
kesengsaraan hidupnya inilah yang disebut dengan thoma’ yang tentunya sangat
dilarang Tuhan. Jangankan mengeluhkan kesengsaraan agar dibantu, berbuat baik
agar manusia lain membalas kebaikan itu saja sudah termasuk thoma’ yang selain
menghapuskan kebaikan yang tidak dilandasi rasa ikhlas, juga malah menjadikan
dosa.
Demikianlah, betapa sangat
tidak diperkenankannya keluhan itu di dalam diri manusia sebetapapun
menyengsarakannya hidup yang mesti harus dijalani sebagai perkenan Tuhan. Dan sebagai
gantinya, Tuhan memerintahkan setiap manusia agar hanya
kenikmatan-kenikmatan-Nya saja yang saling diceritakan (Wa ammaa bini’mati robbika fa haddist). Sebab, yang demikian ini
adalah perwujudan dari kondisi yang sangat setuju dan ridho akan takdir Tuhan
yang harus dijalaninya, serta tentu hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang di
dalam hatinya dipenuhi dengan rasa syukur yang mendalam.
Sedangkan soal kesusahan
atau kesengsaraan hidup yang dirasakan, seharusnya menjadikan mulut semakin
diam. Dinikmati saja dulu, kemudian perlahan-lahan dilakukan instrospeksi diri.
Jangan-jangan di dalam kesusahan atau kesengsaraan hidup itu Tuhan sedang
mensucikan dosa-dosa kita yang selama ini telah menjadi kebiasaan. Jika tidak
demikian, berarti Tuhan sedang sangat ingin menaikkan derajat kehidupan kita
sehingga dimunculkanlah kesusahan atau kesengsaraan hidup itu sebagai bentuk
ujiannya. Lantas tugas manusia selanjutnya tidak lain hanyalah mengadukan
kesusahan atau kesengsaraan hidup itu hanya kepada Allah Yang Maha Menakdirkan,
dan bukan malah kepada sesama manusia yang nyata-nyata tidak bisa apa-apa. Dan
pengaduan itu tidak lain dengan dua cara, yaitu sabar dan sholat (wasta’iinuu bisshobri wassholaah). (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar