Berbahagia Dengan Masalah


Adakah manusia hidup di dunia ini yang tanpa masalah? Tentu bisa dipastikan tidak.

Semenjak lahir, hingga kelak di penghujung hidupnya, manusia senantiasa terus menerus akan diliputi beraneka ragam masalah. Satu masalah selesai, maka akan muncul lagi masalah baru yang menuntut untuk segera terselesaikan. Kemudian, setelahnya, juga telah menunggu masalah yang baru lagi. Begitu seterusnya. Sehingga tidak mengherankan jika dikatakan bahwa dunia hanyalah rangkaian masalah (addunyaa silsilatul masaail). Dan setiap permasalahan yang pasti menimpa, rupa-rupa pula sikap manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Bahkan untuk satu jenis permasalahan yang sama saja, sangat memiliki banyak tipe penyelesaian. Hal ini sangatlah bergantung kadar kualitas diri manusia yang ditimpa permasalahan tersebut.

Misalnya, ketika dalam sebuah perjalanan hendak menuju suatu tempat, tiba-tiba saja ban kendaraan yang dinaiki bocor. Maka, dalam kondisi demikian akan memunculkan beragam ekspresi serta sikap diri sebagai cerminan seberapa tinggi kualitas kepribadian manusia itu sendiri. Ada yang marah-marah, lantaran tertundanya ia sampai pada tujuan. Ada yang masih bingung, jika tidak menunggu beresnya kendaraan yang dinaiki, maka harus dengan apa untuk sampai pada tujuan. Tidak jarang ada yang bersikap tenang, menikmati keadaan tersebut sebagai resiko perjalanan. Ada yang malah bersyukur, sebab prasangkanya bahwa Tuhan sedang menyelamatkan dirinya dari bahaya yang jauh lebih besar dari sekedar bocornya ban kendaraan. Banyak juga yang berinstrospeksi diri, jangan-jangan di dalam ban yang bocor itu Tuhan sedang mengarahkannya untuk segera memberikan hak-hak orang lain yang dititipkan pada kekayaan yang dimilikinya selama ini. Dan masih banyak lagi wujud ekspresi atas tragedi kecil serupa ban bocor itu.

Lantas apa yang menjadikan setiap perbedaan sikap atas sebuah masalah yang menimpa? Tentu tidak lain adalah kualitas kepribadian diri seseorang. Serta sebab itulah, macam-macam penyebutan yang digunakan atas masalah yang datang menghadang.

Bagi manusia yang baik, maka setiap permasalahan itu tidak lebih hanya sebentuk ujian saja. Dan yang namanya ujian, tidaklah memiliki tujuan lain kecuali agar manusia yang menghadapinya itu semakin tinggi kualitas kebaikannya. Sedang bagi mereka yang kurang baik, setiap permasalahan yang hadir hanyalah sebagai pengingat saja. Agar mereka segera menyadari seluruh kekhilafan yang kerapkali menjadi kebiasaannya. Serta yang diantaranya keduanya adalah wujud dari penghadangan Tuhan dari permasalahan-permasalahan yang jauh lebih bermasalah lagi.

Kemudian, sebagai manusia yang tidak luput dari salah dan lupa, maka harus memiliki keberanian diri untuk mengakui keniscayaan itu. Sehingga ketika hadir sebuah masalah, maka yang dilakukan pertama kali adalah sebentuk kerendah hatian mengakui segala khilaf dan alpa. Mencari-mencari kesalahan diri sendiri untuk selanjutnya diistighfari serta sesegera mungkin diperbaiki. Dengan demikian, setiap bertubi-tubi silih bergantinya permasalahan akan mengantarkan diri pada pengampunan-pengampunan Tuhan sehingga mengantarkannya pada ketinggian kualitas diri. Yang demikianlah diteladankan oleh Nabi Adam ‘alaihissalam melalui doa beliau “robbanaa dholamnaa anfusanaa wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khoosiriin” ketika diturunkan ke bumi, juga Nabi Yunus ‘alaihissalam ketika ditelan ikan hiu tidak henti-hentinya berdoa “laa ilaaha illa Anta, innii kuntu minaddhoolimiin”.

Serta misalnya, setelah dilakukan instrospeksi atas diri dan sama sekali tidak ditemukan sebuah kesalahan, maka setiap permasalahan itu adalah dihadirkan untuk terus menerus menjaga kualitas diri seseorang agar tetap istiqomah dalam kebaikan. Selain itu, maka permasalahan yang ditimpakan kepada hamba-hamba-Nya adalah demi mengangkat derajat mereka sebagai pribadi berkualitas mulia. Akan tetapi, yang paling utama tujuan dihadirkan-Nya permasalahan kepada manusia adalah agar manusia senantiasa dekat dengan-Nya, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ibaratnya sebuah lemparan, permasalahan itu. Jika ia dilemparkan kepada seorang manusia, tentu saja bukan apa yang dilemparkan tadi yang dicari-cari, melainkan adalah siapa yang sudah melemparlah yang akan dikejar. Tidak demikian jika lemparan itu mengenai seekor anjing, bukan siapa yang telah melemparnya yang dicari, akan tetapi ia sibuk dengan sesuatu yang telah mengenainya itu. Di sinilah letak perbedaan tinggi rendahnya kualitas setiap diri manusia di dalam menghadapi setiap masalah. Maka menjadi semakin mendekat kepada Tuhan ataukah malah menjauh, jika seketika masalah dilemparkan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya.

Untuk itulah, manusia yang memahami hakikat diri yang dihadirkan-Nya di dunia tidak lain hanya untuk menyembah kepada Tuhan (maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun), maka setiap aral merintang serupa permasalahan itu adalah sebentuk ujian saja, yang tidak lain demi membuktikan seberapa kuat manusia menjalankan titahnya sebagai seorang hamba. Sehingga serangkaian permasalahan yang akan terus menerus menderanya malah akan menjadikannya semakin mendekat kepada Yang Maha Kuasa. Sama sekali ia tidak disibukkan untuk dengan sok hebat menemukan solusi dan menyelesaikan setiap permasalahan tersebut. Melainkan kesadaran dirinya yang tinggi bahwa manusia tidak memiliki daya dan kekuatan apapun, menjadikannya semakin teguh menyembah-Nya serta semakin bersabar atas setiap hal yang menimpanya. Bukankah Tuhan tidak menuntut setiap manusia agar bisa menyelesaikan masalah yang ditimpakan-Nya? Bukankah Tuhan hanya menyuruh menjadikan sholat dan kesabarannya sebagai sarana memohon pertolongan kepada-Nya, Yang Maha Menganugerahi masalah? (wasta’iinuu bisshobri wassholaah).

Lain lagi bagi mereka yang tidak memahami hakikat diri. Maka setiap permasalahan yang terus menerus menderanya itu akan semakin menjadikan dirinya sibuk dengan permasalahan itu. Seakan-akan ia mampu mengatasi dan keluar darinya, lalu timbul keangkuhan diri sebagai manusia yang serba bisa tanpa perkenan Yang Maha Kuasa. Puncaknya, ia akan dirundung rasa tidak puas atas setiap keadaan yang dirasakannya. Sehingga muncul putus asa, dan tidak jarang mengantarkannya pada upaya keras untuk mengakhiri hidupnya.


Akhirnya, serupa anjing ataukah menjadi manusia penuh kemuliaan adalah sangat bergantung pada apa dan siapa yang kita kejar dan dekati ketika permasalahan itu mendera kita. Sehingga beruntunglah siapapun yang dengan benar memahami hakikat ditimpakan-Nya suatu masalah atas dirinya. Sebab di dalam setiap permasalahan yang hadir itu terdapat banyak kesempatan meraup pahala sebagai bekal hidup di akhirat kelak, serta menjadi pengampun dosa, sekaligus penghadang setiap diri agar tidak terjerumus pada kubangan permasalahan-permasalahan yang jauh lebih bermasalah lagi. Dan yang utama adalah di dalam setiap permasalahan itu terkandung sarana untuk meningkatkan kualitas diri manusia. (M. Nurrroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian