Melepas Belenggu Pekerjaan
Seorang teman lama yang dulu
satu tempat kerja dengan saya, menjumpai saya di sebuah warung kopi untuk
menceritakan kelulusannya dari tempat kerjanya tersebut. “Sekarang sudah sama-sama lulusnya”, ucapnya dengan raut muka yang sedikit
memancarkan kesedihan. Dan “lulus” sendiri adalah kata-kata yang entah siapa
memulainya, hingga saat ini telah umum digunakan kepada mereka yang harus
mendapatkan giliran pengurangan karyawan. Pengurangan karyawan semacam ini
menjadi sesuatu yang biasa di dunia pekerjaan, apalagi dengan kondisi ekonomi
yang akhir-akhir kurang begitu kondusif.
“Lulus itu bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan baru untuk
menjadikan diri jauh lebih baik dan terhormat”, kataku kepada teman saya
itu, menirukan kata-kata bijak yang kerapkali saya dengar dari motivator yang
hendak mendongkrak semangat seorang yang dilanda kesedihan, atau minimal agar
tidak dirundung keputus asaan. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah di
setiap jeda ruang dan waktu yang mesti kita lalui, haruslah diluangkan sedikit
waktu berinstrospeksi diri. Semakin bergantinya waktu, semakin bertambahnya
usia, harus menjadi semakin baik dan terhormat. Di situlah letak keberentungan.
Bukankah orang yang beruntung itu adalah orang yang hari ini lebih baik dari
hari kemarin? Dan hari esok jauh lebih baik dari hari ini? Bukan sebaliknya.
Sedangkan soal pekerjaan
sendiri bukanlah sesuatu yang utama di dalam kehidupan manusia. Serta tidak
menjadi tolok ukur atas banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh manusia. Sebab
kenyataannya, tidak sedikit yang kerja mati-matian, ibaratnya kepala dijadikan
kaki dan kaki diubah menjadi kepala, akan tetapi ia tetap saja menjadi manusia
yang miskin serba berkekurangan. Dan tidak jarang pula, seorang yang tanpa
pekerjaan yang jelas, tetapi seluruh kebutuhannya tercukupi, bahkan
lebih-lebih. Untuk itu, pekerjaan, apalagi yang diniatkan untuk mengais rizqi,
tentu tidak bisa dijadikan patokan utama akan sebuah keberhasilan. Rizqi
sendiri itu ibarat kemisteriusan sebuah kematian, yang tidak bisa diminta atau
ditolak, tidak bisa dipercepat atau ditangguhkan. Semua sudah sesuai kepastian
yang telah ditakdirkan Tuhan.
Jika demikian, lalu apa yang
harus dikerjakan manusia dalam rangka terpenuhinya kebutuhan hidup?
Hidup manusia di dunia ini,
ibaratnya seorang kuli bangunan yang dipekerjakan untuk membangun sebuah rumah.
Tentunya gaji, konsumsi dan segala jenis kebutuhan dalam rangka menunjang
segera terselesaikannya bangunan rumah tadi adalah menjadi tanggung jawab
sepenuhnya orang yang mempekerjakan kuli bangunan itu. Sedangkan kuli bangunan
hanya fokus pada pekerjaannya. Demikian juga dengan manusia, yang pastinya
hidup di dunia bukanlah keinginan manusia itu sendiri atau orangtuanya,
melainkan adalah keinginan Tuhan sendiri. Sebab keinginan Tuhan sendiri, maka
seluruh kebutuhan manusia di dunia ini yang kemudian dikenal dengan sebutan
rizqi adalah “ditanggung” oleh Tuhan. Sedang pekerjaan yang diperintahkan Tuhan
kepada manusia hanyalah menyembah-NYA, sebagaimana firman-NYA, “Maa kholaqtul jinna wal insa illaa
liya’buduun” (tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk
menyembah-Ku).
Demikianlah, bahwa pekerjaan
utama manusia di dunia ini hanyalah menyembah Tuhan. Sedang yang selama ini
kita sebut sebagai pekerjaan yang dalam rangka mengais rizqi itu adalah
sebentuk belas kasih sayang Tuhan. Yakni sebagai pekerjaan sampingan yang
menjadi sarana manusia untuk berbuat sebanyak mungkin kebaikan demi
mengumpulkan banyak pahala sebagai bekal hidup di episode kehidupan selanjutnya.
Sehingga, sudah seharusnyalah pekerjaan sampingan kita itu jangan sedikitpun
mengalahkan pekerjaan kita yang utama, yakni menyembah Tuhan. Apapun pekerjaan
sampingan kita, apapun peran dan jabatan sampingan kita di dunia, tidak boleh
sekalipun dijadikan alasan untuk menunda atau bahkan meninggalkan pekerjaan
utama kita itu, apalagi ingkar kepada Tuhan Yang Maha Mempekerjakan kita.
Dengan demikian, yang
menjadi pertimbangan utama di dalam menjalani kesibukan pekerjaan sampingan
adalah jangan sampai pekerjaan sampingan itu mengganggu pekerjaan utama kita,
apalagi merusaknya. Akan tetapi, adanya pekerjaan sampingan tadi haruslah
semakin menunjang teguhnya menjalankan pekerjaan utama yang menyembah Tuhan
itu. Semakin banyak dan sibuknya pekerjaan sampingan kita, maka harus
menjadikan diri semakin banyak dan sibuk di dalam menyembah Tuhan, sebagai
perwujudan rasa syukur yang mendalam atas setiap karunia yang dianugerahkan.
Atau jika sebaliknya, semakin tidak adanya pekerjaan sampingan itu, maka
bersyukurlah, sebab di situ kita memiliki banyak waktu untuk sebanyak mungkin
disibukkan hanya oleh aktivitas manyembah Tuhan.
Akhirnya, setiap pekerjaan sampingan kita, apapun jenis dan bentuknya, semoga tidak menjadikan lalai terhadap perintah-perintah Tuhan, serta tidak menjerumuskan diri untuk menerabas segala larangan-NYA. Dan sementereng apapun wujud pekerjaan sampingan itu, jika ujung-ujungnya hanya menjadikan diri semakin menjauhi Tuhan, semoga Tuhan masih berbelas kasihan menganugerahi kesadaran diri untuk segera bertaubat, lalu berbenah diri untuk menjadi yang lebih baik, sebelum seluruh yang telah dikaruniakan-NYA dicabut. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar