Ketika Celaan Menjadi Hiburan


Kenyataan tidak sepantasnya yang diamini oleh mayoritas masyarakat kita adalah menjadikan celaan terhadap orang lain sebagai sebuah hiburan yang membahagiakan. Bahkan di sepanjang tayangan-tayangan acara di televisi, baik yang berupa hiburan, semi hiburan ataukah berita, di dalamnya tidak jarang dipenuhi berbagai hal yang berbau saling mencela dengan sesamanya. Ironisnya, tayangan-tayangan televisi yang menyuguhkan celaan-celaan buruk terhadap orang lain ini meraih peringkat rating tertinggi yang tentu juga menjadi sangat diminati oleh masyarakat untuk terus menerus diikuti.

Pada tayangan yang berbentuk hiburan semata, misalnya, entah itu acara musik, humor, komedi dan yang sejenisnya, kerapkali di sepanjang acaranya tidak luput dari upaya saling mencela, menjelekkan sesamanya yang kemudian disambut tawa gembira oleh para penontonnya. Untuk tayangan yang semi hiburan, semisal infotainment yang lebih sering berisi seputar gosip orang-orang ternama, yang tentu saja lebih banyak disorot adalah tentang cela keburukan orang tersebut yang disajikan. Demikian juga dengan tayangan-tayangan berita yang lebih menonjolkan aspek keburukan-keburukan yang diberitakan, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadikan laku dengan rating tinggi, dan diminati para penonton.

Sudah bisa dipastikan, sepanjang hari, seluruh tayangan televisi tidaklah luput dari acara-acara yang menyajikan celaan-celaan terhadap orang lain. Anehnya, celaan ini menjadi bahan yang ampuh untuk menjadikan orang lain tertawa riang. Parahnya, celaan-celaan yang disajikan sebagai hiburan tadi tidak lantas dinikmati para penonton televisi sebagai tontonan yang menghibur saja, melainkan tidak sedikit masyarakat yang menirukan dalam prilaku kesehariannya. Bahkan, jika kita mau lebih teliti mengamati perkembangan anak-anak kita sendiri yang kesehariannya sulit lepas dari pengaruh buruk televisi, maka kita akan menemukan prilaku-prilaku yang tidak sewajarnya dilakukan oleh seorang anak seusia dalam taraf belajar.

Sehingga, ketika mencela telah menjadi hiburan yang sangat mengasyikkan, tentu saja, kelak, menghargai sesama akan menjadi sesuatu yang sangat langka. Dan puncaknya, tidaklah disebut sebagai seorang yang cerdas jika tidak mampu menemukan cela-cela di antara sesamanya untuk dijadikan bahan celaan dan candaan. Memang, menjadikan celaan sebagai candaan yang menghibur adalah sesuatu yang membahagiakan, namun hanya sekilas saja, semu semata, sebab segala sesuatu yang dibiasakan dengan keburukan-keburukan maka tidak akan pernah berujung pada kebahagiaan yang sejatinya. Sedang yang paling berbahaya adalah setiap celaan itu bernilai dosa. Ketika kita mencela seseorang, misalnya, maka pada saat itu juga kita sedang melakukan sebuah kebodohan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Seseorang yang dicela itu akan menerima seluruh pahala perbuatan baik yang pernah dikerjakan oleh orang yang mencelanya. Jika misalnya seorang yang mencela itu tidak memiliki kebaikan apapun sebagai catatan pahalanya, maka dosa-dosa orang yang dicela itu ditimpa alihkan kepada siapapun yang telah mencelanya.

Kemudian, kondisi pertelevisian yang semacam ini, tidak lantas ditanggapi serius oleh pemerintah di dalam menanggulangi tayangan-tayangan televisi yang kurang bernilai edukasi. Jika pun ada tindakan atas sebuah acara yang dinilai kurang mendidik, hanya sebatas himbauan dan teguran, atau paling banter, ketika acara yang dinilai kurang mendidik tadi harus dihentikan, maka keesokan harinya acara tersebut akan tayang kembali di televisi dengan nama baru dengan substansi isi yang sama sekali tidak berubah. Begitu seterusnya. Kemudian, ada upaya lain pemerintah demi menyaring tayangan-tayangan televisi agar tidak sembarangan dikonsumsi adalah diberikannya kode di pojok atas layar, dari yang harus dengan bimbingan orang tua ketika menonton dengan kode “BO”, untuk semua orang “SO”, dan yang lainnya. Dan tentu upaya ini adalah membutuhkan peran aktif para orang tua di dalam menjaga anak-anaknya. Ini pun, tidak begitu berarti bagi penanggulangan dampak buruk televisi itu sendiri bagi perkembangan anak-anak.

Dengan demikian, jika peran pemerintah sendiri tidak terlalu serius mengurusi siaran televisi demi menjaga kualitas generasi bangsa, sedangkan hadirnya televisi sendiri demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menayangkan segala hal yang memang laku di masyarakat tanpa menimbang secara serius dampaknya bagi masyarakat luas khususnya anak-anak. Maka, setiap orang tualah yang harus mengambil peran utama dan memang sudah seharusnya untuk memproteksi anak-anaknya dari segala hal yang mampu merusak dan menjerumuskannya pada keburukan-keburukan.

Tidak harus langsung dengan sebuah larangan dan antipati terhadap tayangan-tayangan televisi, melainkan dituntut kecerdasan para orangtua untuk mengalihkan perhatian anak dengan kegiatan-kegiatan yang jauh lebih positif, tanpa harus merenggut waktu-waktu yang memang digunakan bermain untuk anak. Dimulai dengan memberikan teladan serta mengajak langsung anak-anaknya untuk hanya menonton acara televisi yang memang benar-benar memiliki nilai manfaat edukatif yang tinggi, serta dengan tegas mematikan televisi ketika yang ditayangkan hanya seputar acara yang tidak memiliki daya kemanfaatan bagi pengetahuan anak sama sekali. Atau bisa dengan mengajak anak-anaknya untuk mentradisikan kesukaan membaca, bisa dengan bacaan yang mengenai pengetahuan yang menyangkut isi pelajaran sekolah. Atau jika jenuh, bisa dengan memberikan bacaan-bacaan lain yang lebih ringan namun menampung isi kualitas pengetahuan dan kemanfaatan yang memadai bagi perkembangan anak.

Akhirnya, sebagai orangtua yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan dan masa depan anak-anaknya. Bahkan surga dan nerakanya anak sendiri bergantung seberapa sanggup orangtua mendidik anak-anaknya secara benar, maka sudah seharusnyalah setiap orangtua menjaga anak-anaknya dari pengaruh buruk yang bersumber dari manapun. Serta harus senantiasa mengarahkan dan mengantarkan anak kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik yang semakin mendekatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai upaya menjalankan perintah Allah SWT di dalam al-Qur’an yang “quu anfusakum wa ahliikum naaron” (jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka). (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian