Sibuk Berdzikir, Lupa Berdoa


Setiap kali mengantar dan menjemput sekolah keponakanku, sepanjang perjalanan ia tiada henti-hentinya menyapa setiap yang dikenalnya. Panggil sapaan itu tidak hanya ditujukan pada temannya yang berseragam sama dengannya, juga yang berbeda sekolah, bahkan yang berpakaian biasa tanpa seragam pun tidak luput dari teriakannya di atas sepeda motor ketika aku boncengkan. Menyapa, memanggil, itu sangat dinikmatinya di sepanjang perjalanan, sebagai bukti sebuah keakraban menjalin hubungan yang mesra.

Tentu, sapaan dan panggilan, walau hanya satu dua kata saja, atau walau hanya memanggil nama saja, bahkan sebentuk senyum tulus yang disampaikan kepada orang lain, memiliki pengaruh yang luar biasa di dalam menjaga keakraban yang begitu mesra di dalam setiap bentuk hubungan. Begitu pun sebaliknya, sedekat apapun hubungan itu, jika tidak ada saling tegur sapa tentu lama kelamaan hubungan menjadi semakin renggang.

Kemudian, sebentuk sapaan tadi kelak juga akan mampu menggerakkan hati orang lain untuk bertimbal balik menjadi sangat baik. Bahkan ketika si penyapa dalam kondisi yang berkesusahan, maka tanpa diminta pun banyak yang akan dengan senang hati membantunya. Berbeda dengan yang pelit sapaan, pastilah terhadap orang yang demikian akan semakin dijauhi oleh orang lain, sehingga ketika misalnya dalam kondisi susah akan banyak orang yang enggan dan tidak mau dengan suka rela menolongnya.

Ini baru sebuah contoh betapa sangat bermanfaatnya gemar bertegur sapa dengan sesama manusia. Lalu bagaimana jika sapaan-sapaan itu disampaikan kepada Tuhan Yang Maha Baik. Ketika hendak memulai aktivitas menyapa-Nya dengan lantunan basmalah, mengakhirinya dengan sapaan penuh terima kasih kepada-Nya dengan hamdalah. Manakala terjadi kekhilafan segera ber-istighfar simpuh di hadapan-Nya, dan memelas ber-hauqolah pada saat berada dalam kondisi yang serba kesulitan. Segera mengucap kalimat tarji’ ketika menjumpai atau mengalami sebuah musibah, serta lisannya senantiasa basah oleh tutur sapa kepada Tuhan Yang Maha Baik dengan dzikir Laa ilaaha illallah. Pastilah hidup akan senantiasa terpenuhi keberkahan yang terus menerus mengalirkan pahala yang luar biasa banyaknya.

Doa Adalah Kunci Ibadah

Doa adalah kuncinya ibadah (addu’a mukhul ‘ibadah). Sebagai kunci, maka doa menjadi hal paling pokok yang harus ada dalam sebuah peribadatan jenis apapun. Sehingga doa tidak lagi termaknai sebagai ajang meminta-minta atau soal rengek’an agar setiap bentuk keinginan diri dipenuhi Tuhan. Melainkan lebih dalam dari itu, bahwa doa adalah perwujudan dari keintiman antara seorang hamba dengan Kholiknya. Jika berdoa dibatasi pada tataran permohonan saja, maka sangat mungkin seorang hamba akan memanjatkan doa hanya ketika berhajat saja, selebihnya ia tidak memerlukannya.

Sebagaimana makna dasar doa yang berarti seruan, panggilan atau lebih halusnya sapaan, kalau istilahnya Cak Nun. Maka yang terpenting dari aktivitas doa adalah ketersambungan langsung antara hamba dengan Tuhannya. Sedang ketersambungan langsung yang tidak mungkin bisa lagi dipisah-ganggu oleh godaan model apapun inilah yang kemudian melahirkan kekhusyu’an diri. Sebab itulah, disebut kuncinya ibadah adalah dikarenakan doa adalah sebentuk jalan yang menjadikan seorang hamba senantiasa sambung dengan Tuhannya. Sehingga, sebagai kunci, maka peribadatan jenis apapun, yang ghoiru mahdhoh, lebih-lebih yang mahdhoh tidak boleh sekalipun meninggalkan kuncinya. Jika sekali meninggalkan doa yang sebagai kuncinya ibadah, maka bisa dipastikan di dalam setiap peribadatan itu tidak ada ketersambungan antara hamba dengan Tuhannya. Tidak intim, tidak khusyu dan lalai.

Dengan demikian, berdoa akan menjelma dzikir yang setiap saat lisan, pikiran, hati serta setiap gerak-gerik diri senantiasa dipenuhi seruan-seruan kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga seorang hamba akan semakin dekat, semakin intim, semakin tidak ada sekat antara dia dengan Tuhannya. Dalam kondisi yang seperti ini, sudah tidak lagi dibutuhkan permohonan-permohonan atas keinginan diri agar segera terpenuhi. Akan tetapi lebih cenderung pada sikap keikhlasan diri menikmati setiap detail anugerah-Nya dengan penuh rasa syukur. Serta dalam kondisi yang sedemikian intim itu, Tuhan Yang Maha Tahu akan senantiasa siap memenuhi setiap kebutuhan diri seorang hamba, tanpa harus meminta terlebih dahulu.

Tidak mudah memang untuk sampai pada kondisi diri yang hanya sibuk berdzikir sehingga lupa untuk memohon dalam rangka pemenuhan kebutuhan diri. Hal ini dikarenakan, pertama, kita belum bisa gemar mengingat Allah dalam setiap situasi dan kondisi. Seringnya, kita hanya mengingat Allah ketika dalam kesusahan dan terhimpit masalah, sedangkan pada saat jaya dan berbahagia kita menjadi sangat melupakan Tuhan Yang Maha Menganugerahkan. Kedua, tidak ikhlas menjalani setiap takdir yang harus dijalani, sehingga yang muncul hanya keluhan-keluhan serta keputus asaan. Ketiga, adalah keserakahan diri yang muncul dari ketidak pandaian menikmati setiap detail anugerah Tuhan dengan penuh rasa syukur. Yang keempat, kita lebih mengutamakan prasangka buruk, sehingga yang timbul adalah ketakutan-ketakutan di dalam menjalani kehidupan, sebab yang nampak di pandangan hanyalah keburukan-keburukan.

Untuk itu, di dalam menata diri agar senantiasa berada dalam posisi ketersambungan yang intim dengan Sang Kholik, selain senantiasa istiqomah menjalankan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga dibutuhkan pembiasaan gemar berdzikir, diantaranya dengan membaca basmalah ketika hendak memulai aktivitas, dan mengakhirinya dengan sapaan penuh terima kasih kepada-Nya dengan hamdalah. Manakala terjadi kekhilafan segera ber-istighfar memohon ampunan-Nya, dan menyerah mengakui kelemahan dan ketidak bisa apa-apaan diri dengan kalimat hauqolah pada saat berada dalam kondisi yang serba kesulitan. Segera mengucap kalimat tarji’ ketika menjumpai atau mengalami sebuah musibah, serta lisannya senantiasa basah oleh tutur sapa kepada Tuhan Yang Maha Baik dengan dzikir Laa ilaaha illallah.

Akhirnya, jika setiap gerak-gerik kita sudah tidak sekalipun terputus dari kesadaran mengingat Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam, maka seketika kita akan lupa untuk meminta ini dan itu. Bahkan ketika sesuatu hal yang menyusahkan diri mendorong untuk memohon sesuatu yang sedikit menyenangkan, maka kita akan dirundung malu, lantaran sangat pahamnya kita akan betapa anugerah yang telah dikaruniakan-Nya belum seluruhnya mampu disyukuri. Dan ketika diri sudah sampai pada taraf pribadi yang demikian, maka sebagaimana diriwayatkan Malih bin Harits, bahwasanya Allah SWT berfirman, Barangsiapa yang disibukkan dengan dzikir kepada-Ku hingga melupakan ia dari berdoa (memohon) kepada-Ku, maka Aku akan memberikannya melebihi yang Aku berikan kepada orang-orang yang berdoa”. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian