Sekolah dan Pengangguran
Tingginya tingkat pendidikan
seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan jenis pekerjaan yang digeluti.
Bahkan bisa jadi sebaliknya, seorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi
malah masih direpotkan untuk melamar pekerjaan ke sana-sini. Lain halnya dengan
yang tidak berpendidikan, malahan tidak jarang yang bisa menjadi pengusaha
sukses. Kenyataan ini tentu semakin memperjelas bahwa semestinya orientasi dari
setiap jenjang pendidikan yang ditempuh tidak semata demi sebuah pekerjaan yang
mentereng, melainkan seharusnya adalah usaha membentuk karakter kepribadian
diri.
Soal tujuan yang demikian
ini, tingginya tingkat pendidikan tidak bisa serta merta diidentikkan dengan
jenis pekerjaan yang digeluti. Akan tetapi, seharusnya menjadi pembeda antara
yang benar-benar berpendidikan dengan yang sama sekali tidak berpendidikan. Dan
perbedaan itu ada pada sisi keilmuan yang diterapkannya di dalam menunjang
keberlangsungan hidupnya. Misalnya saja, biarpun menjadi seorang petani, atau
yang lebih rendah lagi, memiliki ilmu ataukah tidak, itulah yang kelak akan
membedakan pada tingkat hasilnya. Serta yang jauh lebih penting adalah
ketahanan mental seseorang di dalam bersikap ketika berhasil atau gagal.
Kemudian, antara ilmu dengan
pendidikan, apalagi sekolah pastilah berbeda, meski ketiganya bisa jadi tidak
terpisahkan. Jika ilmu adalah hasil yang diperoleh dari proses panjang yang
disebut dengan pendidikan, sedang sekolah adalah organisasinya. Sehingga,
ilmulah yang seharusnya diperoleh dari proses pendidikan, dan bukan hanya
lembaran-lembaran ijazah atau embel-embel gelar belaka. Dari sinilah,
kadangkala kita menjadi keliru di dalam memahami untuk apa seharusnya kita
berpendidikan atau bersekolah. Kita sudah sedemikian bangga dengan ijazah dan
gelar berderet, tetapi nol soal keilmuan.
Hal ini juga berkelanjutan
pada perlakuan di masyarakat kita. Seorang yang benar-benar berilmu tetapi
tanpa memiliki ijazah atau gelar atas keilmuan yang dikuasainya tadi, dengan
seorang yang bergelar dan berijazah tetapi tanpa memiliki kapabilitas keilmuan
sama sekali, maka bisa dipastikan yang lebih dipandang dan dimuliakan adalah
yang kedua. Apalagi jika dalam rangka melamar pekerjaan. Bisa dipastikan sebuah
pekerjaan akan mempersyaratkan pelamarnya harus berijazah, minimal SLTA,
sedangkan yang di bawahnya sudah tidak berpeluang untuk bersaing berebut sebuah
pekerjaan.
Sehingga, dalam kondisi yang
demikian, mereka yang secara formal pendidikan sudah tidak bisa melamar sebuah
pekerjaan, berproses untuk bertahan hidup dengan berbagai usaha melalui kreasi
yang diciptakan, kemudian tidak sedikit yang menjadi pengusaha sukses.
Sedangkan yang berpendidikan formal masih disibukkan melamar pekerjaan ke
sana-sini. Bersaing dengan banyak pelamar lain yang setiap tahun bisa
dipastikan bertambah yang kesemuanya sama-sama mengandalkan ijazah. Dan
puncaknya, pengangguran menjadi merajalela, sebab kurang seimbangnya antara lapangan
pekerjaan dengan jumlah lulusan sekolah yang membutuhkan pekerjaan.
Dengan demikian,
berpendidikan atau bersekolah itu sejatinya demi sebuah ilmu ataukah gelar dan
ijazah?. Kalau hanya gelar dan ijazah saja, sangatlah mudah untuk didapatkan,
tetapi jika ilmu, harus melalui tahapan yang benar-benar harus ditempuh dengan
sungguh-sungguh, bahkan sangat mungkin tanpa harus melalui proses jenjang
pendidikan atau sekolah formal. Sehingga, selain orientasi pendidikan yang
semakin menyimpang dengan menomor satukan gelar atau ijazah dan mengabaikan
pembentukan karakter kepribadian diri melalui serapan ilmu yang didapatkan. Hal
lain yang menjadikan semakin kurang tepat dienyamnya sebuah pendidikan adalah mindset
masyarakat bahwa seorang yang berpendidikan harus mudah mendapatkan pekerjaan.
Sebagai kilas balik, bahwa
tujuan pendidikan nasional sendiri yang tertuang dalam UU No. 20, Tahun 2003,
Pasal 3 adalah “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Hal tersebut adalah penjabaran
dari UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3, yakni, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.”
Tentu saja, tujuan tersebut
semakin menandaskan bahwa orientasi sebenarnya dari sebuah pendidikan atau
bersekolah tidak lain adalah pembentukan karakter manusia berilmu, sebab hanya
ilmulah yang kelak menjadi hiasan bagi yang memilikinya, juga sebab ilmulah Tuhan
akan meninggikan derajat manusia, “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat” (QS. Al-Mujadalah:11). Dan pastinya, derajat di sini tidak hanya pada
keberlimangan harta sebab bisa bekerja sesuai jalur pendidikan dan ijazah yang
diperolehnya, melainkan kemuliaan berprilaku dan berakhlak karimah di sepanjang
kehidupan yang dijalaninya.
Akan tetapi, lagi-lagi mindset
kita telah dipenuhi oleh orientasi kebendaan saja, sehingga berpendidikan atau
bersekolah hanya demi mengejar ijazah dan sederet gelar, yang berujung pada
persaingan di dalam memperoleh pekerjaan. Hal yang demikian, akan berdampak
pada ketidak mampuan manusia menghadapi segala macam situasi yang datang
menguji. Bukankah sudah terlampau banyak orang yang berpendidikan tinggi tetapi
di masyarakat dicap sebagai seorang yang tidak berilmu? Sedang, tidak jarang
seorang yang tanpa pendidikan formal malah menjadikan inspirasi bagi masyarakat
sebab kiprahnya yang senantiasa mengajak pada kebaikan.
Akhirnya, menjadi bekerja
atau malah pengangguran, bukanlah hal terpenting dari dikenyamnya sebuah
pendidikan, melainkan adalah akhlak yang ditunjukkannya dalam berkehidupan. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar