Musim Kemarau Lagi
Tiga tahun terakhir ini,
setiap kali musim kemarau datang, sumur milik kami volumenya menurun drastis,
bahkan asat sama sekali dan bercampur
pasir dari dasar. Sehingga tidak jarang setelah menimba air itu, kami tampung
terlebih dahulu dalam bak-bak air agar airnya meneb, dan campuran pasir yang dari dalam sumur tadi mengendap di
bawah, kemudian airnya menjadi jernih. Baru setelah itu, air bisa dipergunakan
untuk keperluan sehari-hari. Kondisi ini pun hanya bisa dilakukan ketika pagi
hari atau tengah malamnya, sebab jika sudah agak siang sumber air di dalam
sumur tidak mengeluarkan air sama sekali.
Kekeringan semacam ini
banyak menimpa berbagai wilayah di kota kami. Dan sebagai sumber kehidupan,
tentunya air menjadi sangat dibutuhkan, tidak hanya bagi keperluan rumah
tangga, lebih-lebih para petani yang pastinya kegiatan bertani akan sangat
terganggu, sehingga berakibat pada tingkat kerugian yang tinggi, bahkan bisa
jadi gagal panen. Keadaan mengenaskan seperti ini, jika diidentifikasi
penyebabnya, tentu tidak hanya semata kemarau yang berkepanjangan atau kondisi
cuaca yang sudah seringkali tidak menentu sebagaimana dahulu. Sedang ketidak
menentuan musim itu adalah sebagaimana sudah tidak bisa menjadikan patokan lagi
jika di bulan Desember disebut sebagai “gedhe-gedhene
sumber” (melimpahnya sumber air), sebab pada bulan tersebut hujan sudah
sering turun dan mengembalikan kondisi sumber-sumber air menjadi penuh terisi. Kemudian
Januari yang dikatakan sebagai “hujan
berhari-hari” lantaran di bulan tersebut turun hujan sangatlah sering. Akan
tetapi, sampai di pertengahan bulan Januari tahun 2016 ini hujan masih sangat
enggan turun. Dan lagi-lagi para petani menjadi sangat kesulitan untuk
mengurusi pertaniannya. Padi yang sudah terlanjur ditanam, kini kekeringan
kekurangan air, bahkan tanah-tanahnya “nelo”.
Sedang jagung yang juga kini ditanam di areal tegalan (wilayah pegunungan), daun-daunnya semakin layu, nglekap, kurang guyuran air.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Apa pula sesungguhnya yang menjadi penyebabnya?
Mungkin kita masih ingat
beramai-ramainya warga masyarakat beberapa waktu lalu yang berburu “enthung” pohon jati (kepompong) untuk
dikonsumsi massal dan ada juga yang menjualnya sebab banyak sekali penikmatnya.
Ulat pohon jati yang serentak hanya seminggu ada, kemudian segera berujud “enthung”, dipangkas keserakahan manusia,
sehingga kini kita tidak menjumpai kupu-kupu yang cantik. Sehingga, pernahkah
kita sedikit berpikir bagaimana
seandainya hujan itu adalah jelmaan “enthung”
pohon jati yang kita konsumsi tadi? Ditangguhkan sementara oleh Tuhan, sehingga
bumi menjadi kekeringan dan hijaunya tanaman, melimpahnya panen-panen pertanian
yang diharapkan tidak segera ada.
Ataukah pernah kita
mengamati bagaimana hama tikus itu menjadi sedemikian menjadi-jadi menyerang
tanaman padi? Tidak lain adalah rantai makanan yang alami telah dipangkas oleh
keserakahan manusia, elang sebagai pemangsa ular sudah diburu manusia, dan
ular-ular telah dibunuh secara beramai-ramai tanpa pertimbangan yang mendalam. Sehingga
tikus yang menjadi makanan ular, menjadi semakin tinggi perkembangannya, dan
lagi-lagi kerugian itu manusia sendiri yang merasakannya.
Sebenarnya, disadari atau
tidak, semakin berubahnya ganasnya alam terhadap manusia adalah tidak lain
dipicu oleh sisi-sisi kesalahan manusia itu sendiri ketika memperlakukan alam
sehingga menjadikan berdampak pahit seperti sekarang ini. Sebagaimana dikatakan
di dalam al-Qur’an bahwa “telah tampak kerusakan di muka bumi dan lautan sebab
ulah tangan manusia itu sendiri” (dhoharol
fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aidinnaas).
Sedang sisi-sisi kesalahan yang
menjadikan tidak menentunya musim, sekaligus menjadikan sulit didapatkannya air
sebagai sumber kehidupan adalah terletak pada, pertama, penebangan hutan secara liar yang sama sekali tidak
diimbangi dengan proses reboisasi secara terus menerus. Kedua, kumbung atau bebatuan di dasar tanah yang semestinya menjadi
semacam kantong-kantong penyimpan air, digali sedemikian liarnya dengan tanpa
aturan. Ketiga, tanah-tanah
produktif, selain sebagai wilayah hijau yang seharusnya hanya untuk pertanian
dan juga sebagai daerah resapan serta penyimpan air, kini banyak didirikan
perumahan-perumahan.
Dan tentu, pada awalnya, ketiga
tindakan tersebut sama sekali bukanlah sesuatu yang disengajakan untuk
benar-benar merusak alam, sebab bisa dipastikan bahwa semua itu diniati sebagai
upaya mencari nafkah diri dan keluarga serta demi mewujudkan kehidupan yang
lebih sejahtera. Akan tetapi, keserakahan-keserakahan diri manusialah yang
menjadikan niatan mulia berubah menjadi kesalahan besar yang berakibat pada
kerusakan alam semesta. Serta keserakahan-keserakahan itulah yang menjadikan
berani sedemikian liar bersikap seenak perutnya tanpa sedikitpun mau
memperhatikan dampak jangka panjangnya.
Hutan yang di atas tanah
digunduli sebegitunya, sekaligus kumbung-kumbung yang di dalam tanah dijarah
sedemikian buasnya, sedang tanah-tanah produktif yang semestinya dijadikan
lahan pertanian dijadikan bangunan-bangunan beton. Jika sudah demikian, maka
nampaklah kerusakan alam semesta ini, yang segera akan berbalik memberikan
dampak sangat buruk bagi manusia itu sendiri, yakni sebagaimana yang dikeluhkan
manusia di musim kemarau ini, kekeringan yang berkepanjangan. Dampak ini pun,
terus berlanjut pada musim penghujan yang akan datang, bisa dipastikan akan
timbul banjir, sebab kondisi tanah yang sudah tidak bisa menyerap air hujan
secara maksimal, sehingga mengalir begitu saja ke sana sini, semakin deras
turunnya hujan, maka akan semakin besarnya banjir yang ditimbulkannya. Dan akan
lebih parah lagi, jika sungai sebagai tempat aliran air tidak dijaga sebagai
mana mestinya fungsi sungai, sebab seringkali sungai hanya dijadikan tempat
pembuangan sampah.
Kemudian, sebagaimana hukum
timbal balik yang berlaku di setiap kehidupan, maka semakin rusaknya alam yang
ditimbulkan oleh ulah keserakahan manusia, akan menjadikan dampak yang semakin
buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Sedang kondisi yang buruk
itu, sepanjang tahun ini sudah benar-benar dirasakan oleh manusia. Dan akan
terus demikian, bahkan akan menjadi semakin parah jika tidak segera timbul
kesadaran dari manusia itu sendiri untuk kembali memperlakukan alam semesta ini
sebagaimana mestinya, yakni dengan sedikit demi sedikit bergerak untuk
mengembalikan alam semesta kepada kondisi yang seharusnya. Serta jangan lagi
niatan-niatan yang semestinya baik, demi kemakmuran diri dan keluarganya,
dipenuhi dengan prilaku-prilaku yang tidak adil terhadap alam semesta itu
sendiri.
Selain kesadaran yang tumbuh
dari dalam diri manusia itu sendiri untuk kembali mau menjaga kelestarian alam,
tentu juga sangat dibutuhkan campur tangan pemerintah di dalam pengelolaan
kekayaan alamnya secara sehat. Sudah bukan saatnya lagi pemerintah melakukan
pembiaran, harus ada tindakan tegas, dan jika memang diperlukan harus diberikan
sanksi yang sesuai terhadap orang-orang yang dengan semena-semena bertindak
tidak adil terhadap alam semesta hanya demi keuntungan-keuntungan pribadinya
yang sangat sementara sifatnya. Dan selain memberikan aturan yang ketat tentang
eksplorasi alam, dengan tetap memerintahkan penyeimbangan dalam bentuk
reboisasi ataupun reklamasi.
Dan yang tidak kalah penting
adalah juga pemerintah harus memberikan aturan-aturan yang jelas tentang
pendirian-pendirian bangunan baru. Hal ini diharapkan agar pendirian bangunan,
khususnya yang dilakukan oleh pengembang-pengembang perumahan, tidak selalu
didirikan di tanah-tanah produktif, sehingga pertanian akan tetap berjalan
sebagaimana mestinya guna menjaga keseimbangan alam, juga dalam rangka
mendukung pemenuhan bahan-bahan pangan dari dalam negeri. Sebab, selama ini
perumahan-perumahan yang didirikan di tanah-tanah produktif, selain mengurangi
produksi bahan-bahan pangan, juga mengurangi daerah resapan air jika musim
penghujan yang dampaknya menjadikan banjir jika musim penghujan tiba.
Sehingga, jika manusia
semakin menyadari betapa pentingnya alam bagi kehidupan dan didukung pemerintah
dengan kebijakan-kebijakannya yang fokus pada pemeliharaan keseimbangan alam,
maka kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan, perlahan akan
semakin berkurang dan akhirnya akan segera teratasi. Kemudian, manusia dan alam
akan hidup berdampingan penuh kedamaian yang membahagiakan. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar