Mengubah Keadaan



Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ro’du: 39)

Dapatkah sebuah keadaan yang terdapat pada diri seseorang itu dirubah?

Kebanyakan kita akan beranggapan bahwa keadaan diri seseorang itu pastilah bisa dirubah. Lalu bagaimana cara mengubahnya? Tidak lain adalah dengan kerja keras. Sehingga apa yang dirasa kurang, diperjuangkan sekuat tenaga sampai pada sebuah keberhasilan. Akan tetapi, benarkah pilihan sikap yang demikian ini? Apakah setiap usaha itu bisa dipastikan keberhasilannya? Jika rasionalitas pikiran terbatas manusia yang diandalkan untuk mengubah setiap keadaan diri seseorang, bisa dipastikan manusia akan mengalami kekecewaan yang luar biasa pada akhirnya.

Usaha sekuat tenaga dan kerja keras manusia kerapkali hanyalah sebentuk kesombongan yang muncul dari dalam diri manusia yang “merasa bisa”. Sejatinya, bisa apakah manusia di dalam mengubah keadaan dirinya sendiri?

Dan pijakan pembenaran sikap atas usaha mati-matian demi mengubah keadaan diri seseorang adalah sebuah ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu keadaan kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ro’du: 11). Dari sinilah, sebagai manusia yang dibekali akal pikiran dan tenaga untuk berusaha, mengandalkan dirinya sendiri untuk sekuat tenaga mengubah keadaan diri. Sayangnya, kerapkali yang muncul hanyalah kesombongan dan keangkuhan diri yang ”merasa bisa” berbuat apa-apa sesuai kehendak dirinya sendiri. Lalu, pernahkah kita berhitung, sudah berapa kalikah kita dikecewakan oleh diri kita yang “merasa bisa” itu yang bukan keberhasilan yang didapatkan, melainkan kegagalan dan kegagalan lagi. Jika seandainya berhasil pun, bukanlah kebahagiaan yang dinikmati, melainkan kesusahan demi kesusahan.

Kenapa bisa demikian?

Tidak lain adalah kecerobohan kita sebagai manusia yang meninggalkan Tuhan Yang Maha Bisa, Yang Maha Menakdirkan. Benar sekali jika Tuhan memberikan ruang untuk berusaha dan bekerja keras sebagai ikhtiar, akan tetapi kesemua itu bukanlah hal mutlak yang bisa menjadikan keadaan diri seseorang itu berubah. Sebab itulah, di akhir ayat ke-11 QS. Ar-Ro’du kita diingatkan kembali bahwa, “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar-Ro’du: 11).

Sederhananya, kepelikan hidup yang kita jalani ini ibaratnya sebuah siaran di televisi. Jika kita tidak menyukai dengan siaran acaranya, maka yang kita lakukan bukanlah membolak-balik televisi tadi, atau bahkan membantingnya agar siarannya berubah sesuai yang kita inginkan. Akan tetapi kita harus mencari remote controlnya, setelah itu barulah bisa mengubah channel siarannya. Demikian juga dengan kehidupan kita, yang seluruh control ada di Tangan Yang Maha Menakdirkan. Sangat salah jika kita menginginkan keadaan diri kita berubah namun yang kita kerjakan adalah hanya sibuk mengandalkan diri kita yang sejatinya tidak kuasa apa-apa dengan terus menerus meninggalkan Tuhan Yang Maha Bisa.

Sehingga, ketika kita menginginkan keadaan setiap diri kita berubah, maka yang utama harus dilakukan adalah mendekat kepada Yang Maha Memegang Kendali hidup kita. Sebab yang kuasa mengubah setiap keadaan bukanlah manusia, melainkan Allah. Jika keburukan kita ingin terhapus, maka memohonlah kepada Allah. Jika hanya kebaikan yang ingin kita nikmati, maka memohonlah kepada Allah, sebagaimana firman-NYA, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ro’du: 39).

Dan bahkan ketika kita dilanda sebuah musibah atau sesuatu yang menyusahkan kita. Tidak lain yang diperintahkan Tuhan adalah bersabar kemudian memohon pertolongan-Nya melalui sholat. “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS. Al-Baqoroh: 45). Meski lagi-lagi sebagai manusia yang tidak luput dari salah dan lupa, ketika kesulitan menghampiri, maka kesulitan itulah yang menjadikan kita terus menerus sibuk hendak menyelesaikannya dengan berbekal kesombongan dan keangkuhan diri yang “merasa bisa”. Dan ketika sudah demikian, jangankan sholat, bersabar saja seringkali sudah tidak punya.

Dengan demikian, yang pertama harus kita sadari adalah sesungguhnya yang mampu mengubah keadaan setiap diri kita bukanlah diri kita sendiri dengan sekuat usaha yang kita jalani, melainkan Tuhan dengan seluruh perkenan takdir-Nya. Untuk itulah Rosulullah SAW memperingatkan bahwa “Tidak ada cara mengubah keadaan kecuali dengan do’a, dan tidak ada yang memperpanjang umur melainkan dengan kebaikan”. Sehingga, apapun saja yang menjadi keinginan dan niatan kita, maka harus sesegera mungkin dipasrahkan kepada Tuhan. Bukan sebagaimana yang telah kita biasakan yang menempatkan tawakkal atau kepasrahan hanya pada posisi terakhir ketika usaha sudah tidak menuai hasil.

Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (QS. Ali ‘Imron: 159), demikianlah Allah memerintahkan untuk segera memasrahkan kepada-Nya setiap urusan, bahkan semenjak baru berupa niat. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian