Memulai dari yang Mudah dan Ringan


Di penghujung tahun kemarin, kita disuguhi dua perayaan kelahiran yang waktunya beriringan. Perayaan Maulid Nabi-nya umat Islam dan perayaan Natalnya umat Kristiani. Meski secara bahasa antara Maulid dan Natal tidak memiliki perbedaan arti sama sekali, akan tetapi keduanya mengandung posisi keyakinan yang teramat jauh berbeda di antara keduanya. Sehingga secara berkeyakinan agama, saling merayakan satu sama lain adalah sebuah kemusyrikan, yang merupakan dosa tidak terampuni di dalam agama. Kemudian, demi saling menjaga toleransi antar umat beragama yang secara otomatis adalah terciptanya kemesraan hubungan antar sesama hidup sebagai manusia, maka dimunculkanlah celah-celah di dalam sebuah rekonsiliasi yang akhirnya saling membolehkan mengucapkan “ucapan selamat” satu sama lain.

Meski demikian, hukum mengucapkan “ucapan selamat” tersebut masih menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada selesainya. Bahkan seakan menjadi aktivitas musiman yang bisa dipastikan muncul setiap tahun. Hal ini bisa kita perhatikan dari postingan-postingan di media sosial, yang saking biasanya sehingga perdebatan boleh dan tidaknya saling mengucapkan “ucapan selamat” tersebut tidak lagi menjadi sebuah kajian yang serius, malahan menjadi sebuah guyonan. Salah satu contohnya adalah tentang postingan spanduk besar bertuliskan “haram mengucapkan selamat Natal” yang di atasnya terdapat foto perempuan yang sedang berterima kasih dengan ucapan, “terima kasih ucapannya, Mr. Haram. Semoga damai Natal bersama kita semua”.

Ketika kita sebagai seorang yang beragama dengan kewajiban meyakini agama kita adalah sebagai yang paling benar, maka kita akan memaklumi akan perbedaan sikap antara boleh dan tidaknya mengakui perayaan agama lain atau memberikan “ucapan selamat” atasnya. Tetapi menjadi lain lagi ketika perbedaan itu muncul di antara umat yang seagama dalam sebuah topik perayaan agama tersebut. Maulid Nabi Muhammad SAW, misalnya, yang di antara umat Islam sendiri masih terdapat perbedaan pendapat boleh tidaknya, meski suara yang tidak membolehkannya sangatlah sedikit.

Tentu, kenyataan yang demikian ini, seakan telah menguras banyak tenaga, pikiran juga waktu, khususnya bagi umat Islam sendiri sebagai agama mayoritas di negeri ini, yang semestinya harus mampu memberikan kedamaian bagi siapapun, tidak hanya yang seagama, melainkan juga yang berbeda agama, bahkan seluruh kehidupan semesta, sebagaimana misi Islam sendiri yang rahmatan lil ‘alamin. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya? Dan bukankah juga orang-orang Islam yang sesungguhnya adalah yang manusia lain selamat dari lisan dan perbuatannya?

Dan disadari atau tidak, kerapkali konsentrasi kita terfokus pada urusan-urusan besar yang tidak jarang malah mengabaikan hal-hal kecil yang sesungguhnya memiliki dampak luar biasa bagi keberlangsungan hidup di akhirat kelak. Misalnya saja, pernahkah kita memperhatikan toilet-toilet yang berada di masjid atau musholla itu? Bagaimana bisa secara kompak tempat kencing kaum prianya didesain untuk kencing dengan cara berdiri? Kemudian pernahkah kita mendengar ada yang menfatwakan desain tempat kencing yang semacam itu sebagai perbuatan haram? Padahal adab buang hajat termasuk kencing yang diajarkan Rosulullah SAW adalah dengan cara jongkok. Kemudian, siapa yang berani bilang bahwa soal kencing adalah sesuatu yang sepele yang boleh dengan sembarangan dilakukan?

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Bahwasanya tatkala Rosulullah SAW melintasi dua buah kubur yang masih baru, lantas beliau bersabda, “dua penghuni kubur ini sesungguhnya sedang menghadapi siksaan yang bukan dikarenakan oleh perkara yang dianggapnya besar. Yaitu, salah satunya dikarenakan tidak bersih ketika bersuci dari kencingnya dan yang satu lagi adalah dikarenakan kesukaannya mengadu domba.” Kemudian, beliau mengambil sebuah dahan pohon yang masih hijau dan membelahnya menjadi dua, lantas beliau tancapkan pada kedua kubur tersebut. Lalu beliau ditanya, “Ya Rosul, apa maksud dari tindakan engkau tersebut?” Dijawab oleh beliau, “semoga Allah memberikan keringanan siksa keduanya, selama kedua pohon itu belum mengering”.

Ini baru soal kencing, belum lagi soal keberadaan sajadah-sajadah alas shalat yang semakin diperlebar pembuatannya, sehingga banyak menimbulkan ruang kosong di sela-sela barisan jamaah shalat. Atau kebiasaan kita yang mempersilahkan orang lain untuk lebih dulu berada di shof depan ketika shalat berjamaah sedang kita memilih berada di belakang, dan masih banyak kebiasaan-kebiasaan lain yang lebih sering disepelekan akan tetapi jika tidak dikerjakan secara benar akan membawa petaka bagi kita di akhirat kelak.

Sedang kenyataan-kenyataan tersebut adalah mengindikasikan betapa sebagai umat yang mengaku Muslim sangatlah kurang berhati-hati di dalam menjalankan tuntunan agama. Kerapkali kita disibukkan ambisi untuk sebanyak mungkin berbuat kebaikan, tanpa didahului sikap kehati-hatian untuk sedini mungkin mencegah kerusakan. “Dar ul mafasid muqoddamun, ‘ala jalbil masholih” (mencegah kerusakan lebih didahulukan dibanding berbuat kebaikan) adalah kaidah fiqih yang harus dipegangi sebagai pandangan hidup kaum Muslim. Sehingga ketika akan mengerjakan sebuah kebaikan terdapat juga sebentuk pertimbangan agar di balik kebaikan itu tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan baru yang lebih fatal. Serta di dalam upaya mendahulukan untuk mencegah diri dari kerusakan inilah yang akan menumbuhkan sikap kehati-hatian di dalam menjalankan seluruh perintah agama.

Akhirnya, di awal tahun ini, marilah kita menjalankan sebanyak mungkin kebaikan dari yang mudah-mudah dan ringan dahulu. Sebab jatah hidup kita di dunia ini sangatlah singkat. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian