Wajibnya Orangtua Mendidik Anak
Adakah yang tidak menangis jika kematian
menjemput seseorang? Dan adakah yang tidak bergembira dengan lahirnya seorang bayi ke dunia? Meski selalu demikian, dan memang mati,
juga lahir adalah proses takdir yang sudah biasa diperlihatkan Tuhan kepada
manusia. Tetapi, kerapkali manusia lalai sehingga menjadi susah ketika harus
menghadapi keduanya. Sudah yakin bahwa mati pasti akan dialami dengan waktu yang sangat
dirahasiakan-Nya, namun bekal untuk menghadapinya tidak dipersiapkan sedini
mungkin dan sebaik mungkin. Padahal apa-apa yang pasti akan dibutuhkan kelak
ketika hidup setelah mati sudah dijelaskan secara detail di dalam kitab suci-Nya
juga melalui teladan Nabi SAW.
Dan pernahkah ketika bayi-bayi itu
terlahir kemudian kita sedikit bingung penuh tanya, "hendak ke mana perjalanan hidup bayi ini kelak berakhir? surga ataukah
neraka?" Tentu saja, surga dan nerakanya anak bergantung bagaimana
setiap orangtua mengarahkan mereka. Jika anak hanya diberikan makan-minum saja,
tanpa didikan yang benar oleh orangtuanya, bukankah ia tidak lebih hanya menginginkan
neraka bagi anak-anaknya? Sebaliknya, biarpun dalam kondisi diri yang minim,
namun menomorsatukan pendidikan agamanya, maka tidak lain surgalah yang hendak
dikejar. Dan jika anak-anak yang dididik secara benar itu sampai di surga, maka
ia akan bisa mengajak orangtuanya yang sudah menjadikannya manusia bermanfaat
di dunia sehingga mendapat balasan surga. Sekali lagi, surga dan nerakanya
anak, sangat bergantung bagaimana orangtuanya. Sehingga baik dan buruknya anak juga akan menjadi
tanggung jawab besar bagi orangtua kelak di akhirat.
Sayangnya, akhir-akhir ini, tidak sedikit yang ketika kematian menjemput
seseorang, malah tertawa riang orang-orang di sekitarnya. Bukan lantaran
mulianya manusia yang mati sehingga ia hendak masuk ke surga-Nya, melainkan
saking buruknya akhlak seseorang. Sebagaimana jauh lebih banyak lagi, bayi-bayi itu
terlahir tidak dalam sambutan yang meriah bersuka ria. Melainkan tangisan demi
tangisan sebab ia terlahir dari sebuah situasi yang dipenuhi kesalahan dan
pelanggaran atas perintah dan larangan Tuhan.
Bagaimana Seharusnya Mendidik?
Ketika sedang bermain dengan
anak-anak kita yang masih kecil. Pernahkah kita bercanda dengan menakut-nakuti
bahwa apa yang dipunyai anak tersebut akan diambil oleh orang lain? Misalnya,
pada saat anak asyik bermain dan tidak mau diajak oleh ibunya, maka sang ibu
menakutinya bahwa ibu tersebut akan diambil orang lain. Atau kebiasaan lain,
ketika anak susah disuapi makan, maka sang ibu pun kerapkali menakuti bahwa makanannya
tersebut akan diambil orang lain jika anak tidak mau makan.
Sekilas kita menganggapnya
lumrah kebiasaan-kebiasaan yang demikian ini. Padahal, dari sisi psikologis,
sama halnya orangtua sedang mengarahkan dan mendidik anak-anaknya untuk menjadi
pribadi yang egois dan tidak suka berbagi (serakah, kikir, thoma’ dan lain
sebagainya). Dan jika kebiasaan-kebiasaan kurang pas ini tetap dijadikan metode
orangtua di sepanjang proses membesarkan anak-anaknya, maka perlahan-perlahan
pikiran bawah sadar anak akan terpenuhi dengan sifat-sifat negatif yang disebabkan
oleh kebiasaan yang dialaminya tadi.
Sebenarnyalah anak-anak itu
adalah bak kertas putih, tulisan apa yang akan mengisi lembaran-lembaran kertas
putih itu menjadi mutlak kewajiban kedua orangtuanya. Sehingga dari sini
sangatlah benar jika dikatakan bahwa ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya,
sedangkan ayah sebagai kepala sekolahnya. Dengan demikian, yang utama sekali
harus terlebih dulu menjadi baik adalah para orangtua. Jika orangtuanya
benar-benar sudah baik, maka anak akan meneladani sebagaimana kebiasaannya
orangtuanya. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?
Sedangkan kehidupan anak di
luar lingkup keluarga, harus tetap mendapat pengawasan yang ketat dari
orangtua. Jangan sampai anak bergaul dengan golongan mereka yang tidak baik.
Dan kenyataan yang selama ini muncul adalah dari pergaulanlah anak-anak itu
belajar segala macam kebiasaan, termasuk ketidak baikan itu. Sehingga, setiap
saat orangtua harus benar-benar mengontrol anak-anaknya agar tidak terjerumus
pada negatifnya pergaulan.
Bersekolah pun juga harus
tetap dalam kontrol orangtua. Jangan semuanya dipasrahkan total kepada instansi
tempatnya mengenyam pendidikan, melainkan perkembangan anak harus diawasi.
Masihkah kita ingat dengan berita menggegerkan beberapa waktu lalu tentang
seorang siswi yang melahirkan di salah satu sekolah di kota ini? Bukan tidak
percaya dengan pendidikan sekaligus pengawasan oleh instansi sekolah. Akan
tetapi, keberadaan sekolah sendiri sejatinya adalah tidak lebih membantu para
orangtua di dalam mendidik anak-anak untuk menjadi pribadi-pribadi yang
benar-benar baik, sebab kewajiban mendidik anak itu ada pada orangtua, dan
bukan sekolah. Dengan demikian, di manapun anak-anak itu berproses, setiap
orangtua tetap harus ada demi menuntaskan kewajibannya mendidik anak.
Tidak mudah memang menjumpai
orangtua yang sedemikian perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya. Hal ini
disebabkan orangtua lebih cenderung mengutamakan pekerjaannya dengan dalih
uanglah yang bisa membantu menjadikan anak-anaknya itu mengenyam pendidikan
sampai ke jenjang perguruan tinggi. Itu benar, tetapi seharusnya tidak boleh
mengalahkan pentingnya sebuah perhatian khusus terhadap proses perkembangan
anak. Masa’ sekedar tahu anaknya
ranking berapa saja tidak? Toh uang
itu mudah sekali dicari, tetapi anak? Sedikit saja salah didikan, maka uang pun
tidak akan sanggup menggantinya. Dan siapa lagi yang akan menanggung dosanya,
jika bukan para orangtua. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar