Menanggalkan Cinta Selain-Nya
Ketika ada seorang
peminta-minta yang menengadahkan tangan kepada kita memohon belas kasihan. Sedangkan
di dompet terdapat dua pecahan uang, sepuluh ribuan dan seratusan ribu rupiah.
Uang manakah yang akan kita berikan?. Ketika terdapat saudara-saudara kita yang
sedang berkesusahan hidup. Kemudian kita ditawari untuk menyumbangkan sebentuk
makanan atau sebuah pakaian. Maka yang akan disumbangkan adalah makanan yang
sehari-hari kita konsumsi dan memang kita sukai ataukah yang sama sekali tidak
kita sukai. Begitu juga dengan pakaian yang disumbangkan, pakaian bekas kitakah
atau pakaian yang masih baru dan bersegel?.
Tentu saja, yang akan kita
berikan kepada orang lain adalah segala sesuatu yang memang sudah tidak kita
sukai, sebab segala sesuatu yang masih menjadi kesukaan kita akan sedemikian
kuat untuk terus menerus kita miliki dan kuasai. Hal ini tentu tidak hanya
sebatas pada soal sumbang menyumbang, melainkan dalam berbagai lingkup
kehidupan manusia.
Demikianlah, betapa sulitnya
memangkas egoisitas diri yang kerapkali ingin menguasai dan memiliki segala sesuatunya
sendiri. Sebab itulah, dalam banyak ritual keagamaan yang bernuansa
pengorbanan, entah shodaqoh, infaq dan atau yang sejenisnya, selalu
dipersyarati dengan segala sesuatu yang disukai atau disenangi. Bukankah “tidak disebut sebagai seorang yang baik
sehingga ia sanggup menafkahkan segala sesuatu yang dicintainya” (QS. Ali
Imron: 92).
Sebagaimana sebuah fakta,
seorang suami mengasingkan istri beserta anaknya yang masih bayi di pengasingan
yang sangat gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak juga sumber air untuk kehidupan.
Istri mana yang sanggup sedemikian patuh? Sebatangkara, terasing sendiri hanya
dengan seorang bayi anaknya, dan tanpa bekal apapun. Mondar-mandir ke sana-ke
mari demi mencukupi kebutuhan anak dan juga dirinya sendiri. Dari kedalaman
hatinya sama sekali tidak muncul protes dan tuduhan tentang ketidak adilan
Tuhan sebagaimana orang-orang sekarang yang cepat berputus asa ketika
ditimpakan Tuhan sesuatu yang tidak mengenakkan hidupnya.
Tidak berhenti di situ, di
usia anaknya yang remaja, sang ayah kembali. Tetapi menyerukan perintah Tuhan
untuk menyembelih anak pertamanya yang selama ini diidam-idamkan. Bukan
penolakan, atau perlawanan yang menyambut seruan sang ayah tadi, melainkan
hanya kepatuhan serta keikhlasan. Kemudian sang anak menyerahkan lehernya untuk
disembelih sembari berucap, “Wahai ayahku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shoffaat: 102).
Kisah tersebut adalah Nabi
Ibrahim beserta istri dan anaknya, Siti Hajar dan Nabi Ismail, yang di ujung
kisah, Nabi Ismail tidak jadi disembelih sebab malaikat Jibril datang atas
perintah Allah dengan membawa sembelihan (dhibhin
‘adhim) sebagai ganti atas diri Nabi Ismail tersebut. Dan sebab kesabaran
yang luar biasa ini, Nabi Ibrahim digelari sebagai Ulul Azmi, sedang adegan
penyembelihan tadi diabadikan Tuhan dalam ritual keagamaan umat Islam.
Di zaman yang semodern ini
tentulah kita akan sangat terkagum-kagum jika ternyata masih ada seorang dengan
kualitas kepribadian diri yang hanya dipenuhi ketaatan dan kepatuhan terhadap
Tuhan. Sebagaimana Siti Hajar yang sanggup sengsara sebatangkara sebab ketaatan
terhadap Tuhan yang disampaikan melalui perintah suaminya. Nabi Ismail mampu
merelakan lehernya untuk disembelih demi mematuhi apa yang diperintahkan Tuhan
melalui penyampaian ayahnya. Sedang Nabi Ibrahim adalah suami sekaligus ayah
yang tidak satupun prilaku yang dikerjakannya kecuali demi mematuhi perintah
Tuhannya.
Serta yang jauh lebih penting
dipahami adalah betapa setiap ketaatan terhadap Tuhan itu syarat utamanya
adalah menyingkirkan rasa cinta terhadap yang selain-NYA. Sehingga, segala
sesuatu selain Tuhan sebetapapun rasa cinta yang menghinggapinya harus segera
dibuang. Jangankan anak atau istri, bahkan jika diri ini pun telah diminta
kembali oleh Yang Maha Memiliki maka harus dengan ikhlas dan senang hati untuk
dipersembahkan sebagai bentuk penghambaan pencinta kepada yang dicintainya.
Di sinilah, letak betapa
pentingnya memahami bahwa sejatinya dunia seisinya hanyalah sarana saja.
Sebagai ladang amal untuk menanam sebanyak mungkin kebaikan untuk dipanen dan
dinikmati kelak di kehidupan selanjutnya. Sebagaimana sebuah ladang yang
pastinya setiap kita mendamba untuk mendapatkan hasil panen yang selain
berlimpah juga tentu benar-benar terbaik, maka haruslah bibit-bibit yang kita
semai dan tanam di ladang tadi adalah bibit-bibit yang benar-benar memiliki
kualitas sangat baik, bukan asal bibit saja.
Sedangkan bibit-bibit amal
yang berkualitas sangat baik itu adalah yang selalu dimulai dari mengalahkan
diri sendiri, mengabaikan egoisitas diri yang diliputi berbagai macam keinginan
dan keserakahan. Kemudian menjalankan seluruh amal dengan dipenuhi keikhlasan
yang luar biasa. Dan kepahaman diri yang sedemikian ini akan mengantarkan
setiap kita untuk perlahan-lahan mampu menjalankan segala sesuatu yang bernilai
luar biasa sebagai bekal untuk hidup di akhirat kelak. Tidak hanya sesuatu yang
memang sudah tidak disukai yang diinfakkan kepada orang lain, melainkan sudah
mampu mengikhlaskan apa-apa yang disukainya demi kebahagiaan sesama hidup
ciptaan Tuhan. Berbuat baiknya tidak hanya kepada mereka yang nyata-nyata sudah
berbuat baik kepadanya, melainkan kepada siapapun dan apapun yang telah dengan
sengaja berbuat jahat kepadanya. Memaafkan mereka yang memusuhinya.
Kedermawanannya pun tidak hanya kepada siapa saja yang telah berlaku dermawan
kepadanya, melainkan kepada semua, termasuk yang sangat tidak dermawan
kepadanya.
Demikianlah, seharusnya
hidup hanyalah wujud ekspresi cinta yang sangat mendalam kepada Allah SWT.
Sehingga setiap perbuatan di sepanjang kehidupan tidak lebih hanyalah
pembuktian-pembuktian atas kecintaan tersebut yang sama sekali tidak pernah
ternodai oleh segala wujud sikap yang mengingkari cinta kepada-Nya. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar