Nikmat ataukah Laknat?


Saya adalah seorang perempuan dengan dua orang anak. Kelahiran anak kedua sayalah yang banyak disebut-sebut sebagai pembawa rizqi atas keadaan diri saya yang diangkat Tuhan menjadi seorang pegawai negara. Iya. Pegawai negara, yang tidak siapapun mudah meraihnya, sebuah pekerjaan yang siapapun saja pasti tergiur ingin mendapatkannya. Tetapi Tuhan memuluskan jalan saya untuk sampai pada posisi itu, tepat sehari setelah kelahiran anak kedua saya.

Entah nikmat ataukah laknat? Setelah pengangkatan saya menjadi pegawai negara, suami saya ikut terkena dampak kurang sehatnya perusahaan tempat ia bekerja. Pengurangan karyawan besar-besaran menjadikannya ikut terpecat. Tetapi bukan sedih yang diraut wajahnya, melainkan masih sangat sumringah penuh syukur dengan mengarahkan pandangannya kepada keberuntungan yang dianugerahkan Tuhan kepada diri saya dan dua orang anak yang sangat disayanginya. Dan lain lagi ketika orangtua saya yang memandang suami saya. Ia tidak lebih hanya seonggok benalu yang ikut merepotkan hidup saya yang dalam posisinya menganggur, saya harus tetap menghidupi kedua anak saya.

Akhirnya, saya harus menuruti orangtua saya ketika meminta untuk kembali tinggal bersama mereka. Sama sekali saya tidak mengucapkan kata-kata pamit. Saya hanya menyampaikan sebagaimana yang dimintakan oleh orangtua saya. Bahwa suami saya harus segera dapat pekerjaan jika masih ingin bertemu dan berkumpul dengan anak dan istri. “Pahamilah ini sebagai ujian dari bapak”, ucap saya. “Iya. Kalau ujian, bagi saya tidak sekadar ini. Bahkan lebih banyak lagi. Tetapi jika keadaan ini yang malah menjadi bencana bagi orangtuamu bagaimana?”, jawab suami saya yang sontak mengagetkan. “Kalau bekerja hanya untuk bersikap demikian, sampaikan kepada orangtuamu bahwa sampai kapanpun saya tidak akan pernah bekerja. Buat apa bekerja kalau hanya untuk sombong-sombongan?.”

Tentu saya tidak berani menyampaikan jawaban yang telah diberikan oleh suami saya tersebut kepada orangtua. Yang bisa saya lakukan hanya melarang dan melarang suami saya agar jangan ke rumah orangtua saya, atau bertemu langsung dengan mereka. Tetapi diam-diam, setiap ada kesempatan saya masih menemui suami saya, bahkan saya masih mempertemukannya dengan anak-anak. Seminggu sekali, setiap hari Sabtu, saya menyuruh suami untuk menunggu di salah satu swalayan dekat rumah saya. Di sana, saya mengajak anak-anak, yang tentu saja kepada orangtua saya pamit berbelanja.

Di sela-sela itu, bahkan sering lewat sebuah sms, saya meminta nafkah untuk saya sebagai istri dan juga anak-anaknya. Tetapi selalu saja dijawab dengan sebuah pertanyaan, “istri dan anak-anak saya dimana?” Hingga suatu ketika, suami saya yang sedang asyik bermain dengan anaknya di swalayan tempat kami selalu janjian bertemu. Tanpa disengaja suami saya bertemu dengan temannya yang sedang dititipi istrinya untuk membelikan susu untuk anak-anaknya. Kemudian suami saya merogoh uang seratusan ribu yang dimasukkan secara paksa di saku temannya itu. “Buat tambahan beli susu”, katanya sambil tersenyum. Dan terus terang saya iri melihat pemandangan itu. Tidak hanya kejadian ini, bahkan jauh lebih banyak dari ini yang saya ketahui. Saking lomannya, suami saya siap mengajak keluarganya untuk tidak makan, asalkan masih bisa membantu orang lain terbebas dari rasa laparnya.

Hendak pulang, anak saya tertarik pada balon-balon berbentuk binatang yang dijual di halaman swalayan itu. Suami saya mengambil alih menggendong anak saya untuk diajak meraih balon itu. Sudah diambilkannya satu, lantas anak saya berteriak-teriak meminta satu lagi untuk adiknya, yang disuruh memegang saya. Anak saya minta turun dari gendongan, dan segera membawa lari berputar-putar halaman swalayan dengan sangat gembira. Di belakangnya mengikuti ayahnya dengan juga berlari-lari pelan. Sambil ngos-ngosan, anak saya yang melihat temannya yang biasanya bermain bersama, meminta kepada ayahnya untuk juga membelikan balon binatang itu untuknya. Saya menggendong anak saya setelah memberikan balon binatang kepada temannya. Semua bahagia, saya melihat raut wajah-wajah mereka. Apalagi suami dan anak saya.

Seiring berjalannya waktu, suami saya tetap kukuh dengan pendapatnya. Tidak hendak memenuhi apapun yang telah dipersyaratkan orangtua saya agar bisa berkumpul kembali dengan istri dan anak-anaknya. Dan suami saya yang sudah tidak diijinkan ke rumah, meski hanya sekadar menjenguk anak istrinya itu, beberapa kali mengirimkan surat untuk orangtua saya melalui kantor pos. Yang isinya hanya agar ia bisa berkumpul lagi dengan anak istrinya. Tetapi seberapapun banyaknya surat yang dikirim, juga tidak akan mengubah pendapat orangtua saya yang tidak ingin ada benalu di dalam keluarga.

Saya sendiri sebenarnya juga sangat memaklumi dengan kondisi orangtua saya yang seorang pensiunan pegawai biasa. Dan masih harus menyekolahkan dua adik saya, selain juga mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada yang bekerja, hanya gaji pensiunan itu yang menjadi andalan. Pernah juga suami saya menyuruh saya untuk memberikan seluruh gaji bulanan saya kepada orangtua saya agar bisa menggunakan untuk kebutuhan mereka. Lantas saya dan anak-anak saya ikut kembali bersama suami tinggal bersama. Tetapi permintaan itu saya terima sebagai bentuk penghinaan atas keluarga saya. Sekaligus hal itu yang semakin menjadikan saya sudah tidak mau lagi menemui suami saya dan sama sekali tidak memperbolehkan ia menemui anak-anaknya.

Puncaknya, atas keinginan untuk berkumpul dengan anak istrinya, suami saya yang sudah tidak mungkin datang ke rumah. Dan tidak mungkin lagi melalui diri saya. Akhirnya meminta orangtua dan beberapa saudaranya untuk menemui orangtua saya. Sebagai anak, saya terkaget-kaget, ketika baru mengucapkan salam rombongan itu segera diusir, seakan benar-benar haram rumah kami diinjak oleh keluarga suami saya. Apa yang dibawakan tamu itu dilemparkan begitu saja. Teriakan-teriakan pengusiran orangtua saya mengagetkan para tetangga yang kemudian mengundang untuk berkerumun menontonnya. Mereka pun berbalik arah meninggalkan rumah kami dengan disaksikan oleh tetangga-tetangga kami.

Semenjak peristiwa itu, saya masih tidak berhenti untuk meminta nafkah kepada suami saya, sebagai istri sekaligus untuk anak-anak. Tetapi tetap saja jawaban suami saya melalui balasan sms, “istri dan anak-anak saya dimana?”. Dan kini tidak hanya jawaban itu, bahkan suami saya menambahi dengan meminta kembali apa-apa yang telah digunakannya untuk mendukung keberuntungan saya sampai detik ini. Dianggapnya, sikap saya semenjak menjadi pegawai negara ini hanya upaya menumpuk-numpuk dosa belaka. Sehingga dengan meminta kembali segala hal yang mendukung perbuatan dosa adalah dalam rangka menghindar dari ikut terkenanya cipratan atas dosa itu.


Entah? Saya masih belum paham. Apa yang saya terima sampai detik ini adalah nikmat atau justru laknat? (M. Nurroziqi. Tuban, 1 Syawal 1437 H)

Komentar

  1. ini cerita fakta apa bukan ya ?

    BalasHapus
  2. Kalau dilihat dari ceritanya .. sudah terlihat dari awal.. Rizki yang ALLah berikan dia jadikan Laknat ketika dia pergi kerumah orang tua tanpa se izin suami.. sudah sangat jelas Laknat..
    ketidak taatannya kepada suami yang membuat si SAya ini terlaknat..

    BalasHapus
  3. Fakta atau Fiktif?
    Menurut saya "Laknat" ; ketidakpatuhan kepada suami.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian