Tidak Mencintai Dunia ≠ Membencinya
Pernahkah ketika
meninggalkan sebuah barang di luar ruangan, sandal misalnya. Lantas pada saat
ditanya oleh seorang teman yang sudah berada terlebih dahulu di dalam ruangan
tersebut mengenai keamanan sandal yang kita tinggalkan tadi, maka kita
menjawabnya enteng, “sandal saja kok,
biarkan sajalah”? Ataukah sebaliknya, pernahkah ketika kita hendak
meninggalkan sandal kita tadi, kita benar-benar memastikan keamanannya agar
tidak hilang, atau minimal tidak tertukar dengan sandal orang lain?
Bisa dipastikan satu waktu
kita pernah mengalami hal serupa, bahkan keduanya dengan obyek benda yang
berbeda. Kemudian, di antara sikap seseorang atas kedua benda tersebut, manakah
yang bisa disebut sebagai seorang yang zuhud?
Sepintas pastilah kita akan
menyebut sikap pertama sebagai yang zuhud, sebab sudah tidak peduli dengan apa
yang akan terjadi dengan benda yang dimilikinya tadi. Dan mengatakan sikap yang
kedua sebagai seorang yang kedunyan,
yang sama sekali tidak ada rasa zuhud di kedalaman hatinya. Benarkah demikian?
Untuk itu kita harus terlebih dahulu memahami apa sejatinya makna zuhud.
Sehingga kita tidak terjerembab pada kubang kekeliruan yang bukan malah sikap
zuhud yang kita jalankan.
Dalam sebuah riwayat yang
bersumber dari Abdullah r.a, disebutkan bahwa datang seorang lelaki yang
rupawan ke majelis Rosulullah SAW. Lalu beruluk salam dan dijawab oleh beliau.
Kemudian ia bertanya, “wahai Rosulullah
SAW, apakah dunia ini?”. Beliau menjawab, “adalah impian bagi yang tidur, sedang penghuninya akan dibalas dan
disiksa.” Lalu ditanya, “apakah
akhirat itu?”, beliau menjawab, “adalah
tempat yang kekal sebagian di surga dan sebagian lain di neraka.” Ditanya
lagi, “apakah surga itu?”, dijawab, “adalah pengganti dunia bagi orang yang meninggalkannya
dan kenikmatannya kekal abadi.” Dan ditanya lagi, “apakah neraka itu?”, dijawab beliau, “adalah pengganti dunia bagi yang mencintainya, dan dia tidaklah selamat
dari jahannam selamanya.” Beliau ditanya kembali, “lantas siapakah yang terbaik bagi umatmu?”, dijawab beliau, “adalah yang senantiasa taat kepada Allah SWT.”
Ditanyanya lagi, “bagaimanakah seharusnya
seseorang di dunia?”, dijawabnya, “bersungguh-sungguh
seperti orang yang mengejar kafilah.” Ditanya, “berapa lama?”, dijawab, “seperti
lamanya orang yang tertinggal dari kafilah.” Ditanyanya lagi, “berapa jarak
antara dunia dan akhirat?”, beliau menjawab, “sekejap mata.” Kemudian pergilah lelaki itu dari pandangan, lantas
Rosulullah SAW bersabda, “itu adalah
Jibril yang datang kepadamu, agar kamu bersikap zuhud terhadap dunia dan lebih
menggemarkan kamu pada kehidupan akhirat.”
Sebagaimana juga yang
bersumber dari Zaid bin Tsabit, bahwa Rosulullah SAW bersabda, “barangsiapa yang niatnya adalah akhirat maka
akan Allah himpun seluruhnya. Hatinya akan menjadi kaya, dan dunia akan datang
dengan sendirinya kepadanya. Dan barangsiapa yang niatnya adalah dunia, maka
akan Allah cerai-beraikan perkaranya. Kefakiran akan selalu membayangi dirinya
dan harta dunia tidak akan ia peroleh, melainkan apa yang telah ditentukan
untuknya.”
Dengan demikian, yang utama
harus dipahami adalah keberadaan manusia sendiri dihadirkan di dunia. Lantas dunia
yang sebagai singgahan dalam proses perjalanan panjang manusia ini harus
disikapi seperti apa? Di sinilah, letak pentingnya bahwa manusia diwajibkan
untuk senantiasa belajar (uthlubul ‘ilma
minal mahdi ilallahdi). Karena di dunia ini, kata Saidina Ali r.a, adalah
tempat beramal dan tidak ada hisab, sedang akhirat adalah untuk hisab dan sudah
tidak ada lagi amal. Sehingga seharusnyalah di dunia menjalankan sebanyak
mungkin amal kebaikan sebab kelak di akhirat tak seorangpun yang bisa menambah
amal. Sedang setiap amalan pastilah didahului dari proses belajar yang benar dan terus menerus, sebab tidak mungkin bisa beramal dengan benar jika tidak memiliki dasar keilmuan akan amal yang dikerjakannya tersebut.
Dan pada pokoknya, manusia
memiliki dua peranan penting dihadirkan Tuhan di muka bumi ini. Pertama, sebagai hamba Tuhan, yang tidak
lain tugasnya adalah menyembah kepada Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya, “wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun”
(tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menyembahku). Hal inilah
yang harus benar-benar dicamkan di dalam diri setiap manusia yang hidup di
dunia, bahwa tugas manusia hanya menyembah Allah SWT semata, dan bukan yang
lainnya, apalagi dunia yang ditempatinya sebagai singgah yang sementara ini. Di dalam
mengemban tugas sebagai hamba Tuhan inilah yang seringkali manusia tersesat
pada penyembahan-penyembahan selain-Nya. Sehingga dunia tidak lagi dipahami
sebatas sarana dan media untuk memperlancar proses peribadatan yang dijalani
manusia tersebut, melainkan dunia malah dijadikan sesembahan-ssembahan umat
manusia.
Sebagai contoh saja,
seberapa sering kita menunda-nunda panggilan untuk menjalankan shalat hanya demi
mengejar kehidupan dunia? Padahal sudah jelas bahwa akhiratlah yang jauh lebih
utama untuk dikejar dibanding dunia yang hanya sementara. Untuk itulah
Rosulullah SAW menasehatkan “i’mal
lidunyaaka ka annaka ta’isyu abada, wa’mal li akhirotika ka annaka tamuutu
ghoda”, agar beramal untuk dunia itu seakan-akan manusia akan hidup
selamanya, sehingga jika misalnya hari ini tidak selesai, bisa dikerjakan
esoknya, jika esoknya pun tidak kunjung bisa dituntaskan, maka besoknya lagi. Sedangkan
tentang akhirat harus disegerakan seakan-akan esok telah mati, jadi tidak ada
lagi peluang untuk menunda-nundanya barang sejenak. Jika sudah demikian, maka
dunia sudah tidak ada di hati sama sekali, melainkan tidak lebih hanya
dimanfaatkan dan dipergunakan untuk sebanyak mungkin melakukan peribadatan yang
tujuannya tidak lain adalah keridhoan Tuhan demi hidup bahagia di kehidupan
selanjutnya.
Dan peran manusia yang kedua adalah sebagai kholifatullah fil
ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Selain menyembah Tuhan yang difasilitasi dengan dunia seisinya, manusia juga memiliki kewajiban sepenuhnya untuk
memperlakukan dan menjaga dunia itu dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya sebatas
pada manusia yang seagama, melainkan seluruhnya bahkan hewan, tumbuhan, benda
mati dan seluruhnya yang berada di dalam dunia ini. Sehingga kehadiran manusia
di dunia benar-benar sesuai misinya yang rohmatan lil ‘alamin. Sekali lagi,
bahwa fungsi kholifah di sini bukan menguasai atau memiliki dunia sepenuhnya,
melainkan sebatas menjaga kelestariannya yang tidak lain untuk dimanfaatkan
sebanyak mungkin melakukan amal demi hidup bahagia di akhirat kelak.
Sehingga dalam dua peran
inilah, hamba dan kholifah, maka manusia dituntut untuk sangat berhati-hati
memperlakukan dunia dengan seisinya, yang pada dasarnya semua adalah titipan
Tuhan yang harus senantiasa dijaga sebaik-baiknya dan hanya dimanfaatkan untuk
bekal kehidupan di akhirat kelak. Dengan demikian, seorang yang zuhud adalah
seorang hamba Tuhan yang seluruh dirinya dipersembahkan untuk Tuhan semata. Sedangkan
dunia seisinya tidak lebih adalah titipan-Nya yang harus dijaga sebaik-baiknya.
Dari sinilah, seorang yang benar-benar zuhud bisa sangat melebihi seorang yang kedunyan di dalam memperlakukan dunia
dan seisinya, sebab di dalam keteguhan hatinya semua adalah amanah Tuhan yang
jika sedikit saja salah memperlakukan maka ia akan mendapat celaka yang luar
biasa di akhirat kelak. Tetapi bedanya, hati seorang yang zuhud sama sekali
tidak terpaut oleh dunia dan seisinya sebab hatinya dan seluruh dirinya hanya
dipersembahkan kepada Tuhan semata. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar