Diujikan Bahagia, Dianugerahi Derita


Seringnya, sebagaimana kebiasaan kita selama ini, mendefinisikan ujian adalah segala hal yang terkait dengan kesulitan dan menimbulkan rasa sakit yang menyedihkan. Sehingga tidak heran jika selama mendapatkan musibah, atau sedang dalam sebuah masalah, maka kita menyebut diri sebagai seorang yang tengah diuji. Lain halnya dengan ketika kondisi diri dalam situasi membahagiakan yang segala apa yang diinginkan dan dibutuhkan serba terpenuhi. Hal semacam ini lebih seringnya menyebut sebagai wujud anugerah. Pembatasan definisi yang sulit sebagai ujian, yang mudah sebagai anugerah, yang membahagiakan disebut anugerah dan yang menyedihkan dinamakan ujian, adalah sesungguhnya batas paling dangkal kepahaman manusia di dalam menyikapi atas apa yang telah menimpa diri manusia itu sendiri.

Lantas apa sejatinya yang hendak dikehendaki Tuhan atas ditimpakannya sesuatu kepada umat manusia? Tentu tidak lain adalah agar manusia senantiasa berada dalam ketaatan yang tulus kepada Tuhan. Sehingga, jika setiap kita mau mendalami dengan seksama atas segala apa yang ditimpakan Tuhan kepada manusia. Maka kita akan sampai pada titik di mana setiap peristiwa, sedih atau bahagia, mudah atau sulit, adalah cara Tuhan di dalam menggiring setiap manusia agar senantiasa tetap dalam keterjagaan kesadaran bahwa manusia terlahir di dunia tidak lain hanyalah untuk menghamba Tuhan dengan menjadi sebaik-baik ciptaan.

Namun, pada kenyataannya, manusia masih saja terbelenggu oleh persepsi dirinya sendiri di dalam menyikapi segala hal yang ditimpakan Tuhan. Sehingga tidak jarang, rasa syukur itu muncul hanya ketika seseorang meraih sesuatu yang membahagiakan. Sedang kesabaran hanya ada pada diri yang terus menerus ditimpa kesulitan nan menyedihkan. Padahal, pada tingkat kedalaman ruhani manusia, yang terjadi bisa saja sebaliknya, meskipun sangat jarang. Misalnya, pada taraf kesadaran dengan pandangan yang lebih dalam, maka ketika seseorang ditimpakan sesuatu yang sedemikian menyakitkan dan menyulitkan, maka ia bisa segera bersyukur. Sebab di dalam kesulitan yang menyakitkan itu, ia merasa diingatkan oleh Tuhan sehingga segera berinstrospeksi, bisa jadi terdapat sebuah kesalahan di dalam diri yang Tuhan tidak menyukai dan patut untuk segera ditaubati. Selebihnya, rasa sakit yang menyulitkan itu adalah dipahami sebagai anugerah penebus dosa yang ringan dibandingkan jika disiksakan kelak di akhirat, juga di dalam setiap kesulitan yang disabari, akan tumbuh menjadi bibit pahala yang luar biasa yang hanya bisa dipetik dan dinikmati di akhirat kelak.

Sebaliknya, ketika diberikan sebuah anugerah yang membahagiakan, seorang yang taraf keruhaniannya tinggi, bukan syukur yang pertama diucapkan. Melainkan “inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un” layaknya sedang ditimpakan sebuah kesusahan kepadanya, sehingga sikap yang pertama kali muncul adalah sebentuk kesabaran yang dalam. Kenapa demikian? Sebab di dalam setiap yang disebut anugerah, pada dasarnya manusia dibebani sebuah amanah yang harus dijalankannya secara tepat. Sedang di dalam amanah tersebut, sekali saja terjadi kekeliruan atau kesalahan ketika mengemban amanah tersebut maka akan menjadikannya celaka di akhirat kelak. sehingga di dalam setiap anugerah, akan dijalaninya dengan sangat berhati-hati, lantaran setiap anugerah tidak lagi dipahami sebagai anugerah, melainkan adalah ujian tentang seberapa taat manusia kepada Tuhannya.

Jika sudah demikian, maka sesungguhnya sudah tidak ada beda antara anugerah dengan ujian. Sehingga bagi yang memahami akan maksud dan tujuannya segala apa yang ditimpakan Tuhan kepada manusia untuk dijalankan. Maka di dalam anugerah adalah sebuah ujian yang sangat berat. Dan pada ujian, terdapat sebuah anugerah yang luar biasa. Lantas, di dalam menghadapi keduanya, sama sekali manusia tidak dirundung kesedihan apalagi keputus asaan, tidak juga terlampau bahagia apalagi lalai. Kesemuanya ternikmati dalam bahagia yang sewajarnya, juga ketika harus sedih pun hanya sekedarnya.

Akan tetapi, sangatlah sulit mencapai taraf kepribadian yang sedemikian itu. Kerapkali yang terjadi adalah manusia dalam kondisi terlemahnya lantaran terus menerus didera kesulitan nan menyakitkan, barulah manusia tersadar bahwa hanya Tuhanlah Yang Maha Kuasa atas segala hal yang hanya kepada-Nya-lah patut memohon pertolongan. Sehingga tidak jarang, di posisi yang lemah seperti ini, manusia menjadi sangat khusyu’ beribadah, mendekat dan terus mendekat kepada Yang Kuasa. Sebaliknya, ketika sesuatu yang terus menerus membahagiakan yang dianugerahkan kepada manusia. Seringkali manusia mudah lalai, jangankan bersyukur, teringat siapa yang telah menganugerahinya segenap kebahagiaan, itupun tidak. Parahnya, timbul kecenderungan menjadi manusia yang angkuh dan tinggi hati di antara sesamanya. Dan dalam kedua kondisi tadi, tentulah yang pantas disebut ujian bukanlah kesulitan yang menjadikan dekat kepada Tuhan, melainkan adalah segala hal yang mewujud kebahagiaan, sebab dari situasi yang membahagiakanlah seringkali manusia semakin jauh dan menjauh dari Tuhannya. Bukankah anugerah yang luar biasa membahagiakan adalah ketaatan setiap diri kepada Tuhannya dalam kedekatan yang sangat intim? Sedang ujian yang paling menyakitkan adalah menjadi semakin jauhnya manusia dari Tuhannya.


  Dengan demikian, manusia yang sadar diri akan tugas utamanya di muka bumi yang sebagai hamba Tuhan, maka segala hal yang berpotensi menjadikannya lalai dari tugas utamanya tadi adalah sebentuk ujian yang harus dihadapinya dengan sangat berhati-hati. Sedang, tempaan-tempaan Tuhan yang kerapkali berujud sesuatu yang dinilai sebagai kesulitan yang menyakitkan, maka akan dinikmatinya sebagai sebuah anugerah yang akan terus menerus menjadikan manusia terjaga kesadarannya untuk senantiasa menghamba Tuhan. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian