Kebaikan atau Topeng Keburukan


Pada saatnya, tentu kita pernah melakukan sebuah kebaikan kepada orang lain. Akan tetapi, berulangkali kebaikan itu kita berikan kepadanya dan tidak kunjung dibalasnya dengan sebuah kebaikan yang minimal sama dengan apa yang pernah kita persembahkan untuknya. Lantas, kita merasa sedemikian kecewa yang kerapkali menggerutu dan menjadikan hati semakin sakit dengan pernyataan-pernyataan bahwa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak dihargai sama sekali. Tidak berhenti sampai di situ, kebaikan-kebaikan yang sudah dikerjakan untuk orang lain tadi kita ungkit-ungkit kembali, kita jadikan bahan untuk menjelek-jelekkan orang lain yang telah kita baiki di hadapan banyak orang, hanya karena diri telah dirasuki kecewa dan kemarahan sebab kebaikan kita tidak juga dibalas dengan kebaikan.

Akhirnya, kita sudah tidak mau dan sangat antipati untuk kembali berbuat baik kepada orang lain tadi. Bahkan bisa merambah menjadi malas berbuat baik kepada orang yang lain lagi hanya takut dan trauma kalau-kalau kebaikannya tadi sama sekali tidak dihargai dengan wujud kebaikan yang minimal sama. Sikap yang sedemikian inilah yang pada akhirnya menjadikan kebaikan-kebaikan yang pernah dikerjakan yang seharusnya sudah tercatat sebagai amal kebaikan, menjadi hangus tanpa pahala sama sekali, bahkan bisa jadi berubah dosa lantaran memunculkan keburukan-keburukan baru.

Sehingga, sebagai dasar berkehidupan di dunia, maka sudah seharusnyalah setiap diri memahami bahwa kebaikan itu akan selalu berbenturan atau diuji oleh keburukan-keburukan. Sebagaimana contoh di atas tadi, kebaikan itu tidak selalu langsung dibalas dengan kebaikan dan kemuliaan di dunia ini. Adakalanya Allah SWT menangguhkannya untuk diberikan-Nya balasan kebaikan tadi di kehidupan berikutnya, di akhirat kelak. Sedangkan proses penangguhan balasan atas kebaikan ini, Allah SWT selalu memberikan sesuatu yang dinilai “buruk” sebagai ujian untuk mengetahui seberapa bersabar manusia itu di dalam keistiqomahan menjaga kebaikan-kebaikannya.

Demi menunjukkan seberapa berkualitasnya manusia di dalam kebaikannya inilah, seringkali kita menjumpai manusia-manusia yang semakin baik, maka akan semakin “sengsara” dan semakin “susah” saja kehidupan yang dijalaninya. Akan tetapi, bagi manusia yang sudah benar-benar baik, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang menjadikan diri takut atau susah di dalam menjalani kehidupannya di dunia. Melainkan akan semakin giat dan teguh menjalankan kebaikan-kebaikan, sebab setiap segala sesuatu yang dipandang orang lain sebagai yang menyengsarakan dan menyusahkan tadi tidak lebih adalah bentuk lain dari peluang yang dianugerahkan Allah SWT agar manusia tersebut semakin berpeluang meraup sebanyak mungkin pahala sebagai bekal kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Dengan demikian, manusia yang sudah jelas-jelas baik, ia sudah tidak sedikitpun peduli apa balasan yang akan diterimanya di dunia ini. Jika ternyata kebaikan berbalas kebaikan di dunia ini, maka akan menjadikannya manusia yang semakin bersyukur, sebagai pembuktian kualitas diri yang jelas-jelas baik. Dan jika malah keburukan yang diterimanya di dunia atas kebaikan-kebaikan yang telah dikerjakannya, maka akan mengantarkannya untuk menjadi pribadi yang dipenuhi kesabaran, sebab sejatinya balasan bukanlah kondisi atau keadaan hidup seseorang di dunia, melainkan balasan yang dinanti-nantikan adalah kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Soal kesabaran juga tidak beda jauh, mungkin di antara kita pernah mendengar seseorang yang berujar jika kesabarannya sudah habis. Atau kita sendiri, pernah mengalami sesuatu hal yang saking sulitnya atau berhadapan dengan manusia lain yang saking bandelnya, lantas kita menghentikan kebaikan-kebaikan kita atas sesuatu hal atau manusia lain itu dengan berdalih kesabaran ada batasnya. Dan benarkah kesabaran itu ada batasnya? Jika benar ada, sebagaimana yang umum dikatakan oleh banyak orang selama ini, lantas apakah batas dari kesabaran itu? Kemarahankah?

Jika kita merasa sudah bersabar, kemudian tiba-tiba berubah tidak bersabar dengan berdalih kesabaran ada batasnya atau berujar bahwa kesabarannya sudah habis. Maka sesungguhnyalah seorang yang demikian ini belum dikatakan sebagai seorang yang benar-benar pesabar. Sebab tidak akan pernah kesabaran itu berubah kemarahan atau menjadikan diri enggan berbuat baik lagi. Melainkan sekali bersabar, maka sampai kapanpun akan tetap istiqomah di dalam kesabaran.

Misalnya lagi, ketika berbuat baik kepada orang lain, lantas orang lain tersebut tidak menghargai kebaikan kita atau bahkan membalasnya dengan keburukan. Lantas apakah kita akan tetap berbuat baik kepadanya? Ataukah menghentikan kebaikan itu?

Ketika ada orang lain yang terus menerus memutuskan hubungan silaturrahmi dengan kita. Apakah kita akan juga menjauhinya? Ataukah tetap dan terus menerus menyambung silaturrahmi dengan orang lain tersebut?

Ketika ada orang lain yang pekerjaannya suka menyakiti hati kita, atau menganiaya diri kita. Lalu, apa yang kita perbuat? Segera membalas rasa sakit yang kita rasakan? Ataukah segera memaafkannya serta terus menerus berbuat baik kepadanya?

Pernah Rosulullah SAW menasehati sahabat beliau, Uqbah, “ya Uqbah, maukah engkau aku beritahukan tentang akhlak penghuni dunia akhirat yang paling mulia?.” “Apa itu Ya Rosulullah?.” “Yaitu tetap menjalin hubungan silaturrahmi kepada mereka yang telah memutuskannya, tetap bersikap dermawan kepada mereka yang kikir kepadamu, dan memaafkan orang yang telah berlaku aniaya terhadapmu.


Dengan demikian, setiap kita harus benar-benar berinstrospeksi diri, sudah seberapa baikkah diri kita? Ataukah jangan-jangan setiap kebaikan yang dilakukan hanyalah topeng-topeng keburukan? Yang jika kebaikan tidak segera berbalas kebaikan akan menajadikan diri berhenti untuk berbuat baik. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian