Meneguhkan Kebaikan


Suatu waktu, saidina Umar r.a bertamu ke rumah Rosulullah SAW, sedangkan beliau pada saat itu sedang duduk di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma, hingga tampak berbekas pada pinggangnya. Lantas menangislah saidina Umar r.a. lalu beliau bertanya, “wahai Umar, apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “wahai Rosul, aku teringat akan raja Kishra dengan segala kemewahannya, sementara engkau yang seorang utusan Allah SWT tampak bekas garis-garis tikar pada pinggangmu.” Rosulullah SAW bersabda, “mereka dipercepat kesenangannya di dunia, sedangkan kami adalah yang ditangguhkan kesenangannya kelak di akhirat.

Cerita tersebut hanyalah bagian sangat kecil dari betapa sangat kuatnya Rosulullah SAW di dalam menanggung segala derita, yang pastinya tidak akan pernah ada seorang pun di muka bumi ini yang menyamai soal derita yang dideranya. Bahkan di dalam penderitaan yang senantiasa menghimpitnya, tidak pernah sekalipun hilang rasa belas kasihnya terhadap makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT. Pernah suatu ketika Rosulullah SAW menjumpai Abu Hurairoh r.a sedang berguling-guling di serambi masjid Madinah. Ketika ditanya tentang kondisi dirinya, Abu Hurairoh r.a mengeluhkan tentang perutnya yang sudah sehari semalam belum terisi makanan sedikitpun. Sepontan Abu Hurairoh diajak beliau ke rumahnya. Setelah menanyakan kepada putrinya, ternyata di rumah beliau masih ada segelas susu yang cukup untuk satu orang. Padahal pada saat itu juga, Rosulullah SAW sudah dua hari dua malam belum makan sedikitpun. Tetapi beliau tetap memberikan segelas susu itu untuk sahabatnya tersebut.

Jika orang berpunya dan berkelebihan, lantas bertindak dermawan dengan menolong sesamanya yang sedang berkekurangan, adalah sesuatu yang sangatlah biasa. Tetapi Rosulullah SAW ini tidak satu pun orang di muka bumi yang dapat menyamai kedermawanannya. Seandainya saja kita, jangankan ketika berkekurangan, ketika memiliki kelebihan saja sangat enggan untuk menolong sesama. Sedang wujud kedermawanan tadi sama sekali sudah tidak dikaitkan dengan keinginan agar dibalas oleh Allah SWT dengan berlipat-lipat kemewahan dunia. Tidak. Tidak sebagaimana kita yang pada saat bersyukur saja, yang didahulukan bukanlah tentang rasa berterima kasih yang sesungguhnya kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, melainkan yang lebih didahulukan adalah keinginan agar dengan rasa syukur itu nikmat-nikmat-Nya segera dilipatgandakan untuk kita. Sehingga pada saat sekarang, bersyukur tidaklah sungguh-sungguh bersyukur, akan tetapi lebih pada upaya menutupi ketamakan dan kerakusan diri. Menjadi dermawan dengan menshodaqohkan harta benda yang dimiliki pun tidak lantas hanya ekspresi bersyukur serta bentuk kepatuhan kepada Allah SWT, melainkan lebih pada ambisi bertambah banyaknya harta kekayaannya yang dimiliki di dunia. Dan dari kondisi yang seperti inilah, ikhlas, kunci diterimanya sebuah peribadatan sudah tidak ada.

Lalu, siapa yang sanggup menyamai kebaikan Rosulullah SAW dari sisi manapun? Yang keikhlasannya tiada bandingannya. Bahkan suatu ketika, kakinya sempat berdarah saking sering dan lamanya ketika menjalankan sholat malam. Lantas putri beliau yang mengetahui hal tersebut menegur, “bukankah Allah SWT telah menjamin ayahanda dengan surga-Nya?”, beliau pun menjawab, “salahkah jika aku termasuk hamba-Nya yang pandai bersyukur?.” Meski kebaikannya luar biasa, ibadah yang diistiqomahkannya tiada bandingannya, tetapi tetap saja Rosulullah menjadi manusia yang sangat sederhana sebagaimana yang telah kita kenal. Beliau menjahit sendiri pakaian dan sandal beliau yang sudah robek, beliau tidur dan duduk di atas tikar dari pelepah kurma yang senantiasa membekas di kulitnya, beliau tetap sering lapar atau berpuasa ketika tidak memiliki sesuatu untuk dimakan, bahkan seringkali tidak memiliki makanan itu sampai berhari-hari. Dengan kondisi yang demikian, apakah Rosulullah SAW mengeluh? Tidak, sama sekali tidak. Sebab beliau sangatlah memahami bahwa kesenangan bagi manusia yang senantiasa taat kepada Allah SWT ditangguhkan-Nya sehingga hari pembalasan kelak. Sedang derita serta sedikit kecukupan di dunia tidaklah lebih hanya sebentuk lecutan agar manusia itu senantiasa dalam jiwa yang sabar dan menjadi hamba yang pesyukur.

Lantas bagaimana dengan kita saat ini? Yang mengaku-ngaku sebagai umat beliau. Sisi baik Rosulullah SAW yang manakah yang sudah kita teladani di dalam kehidupan sehari-hari?

Di dalam beribadah yang sudah di-nash sebagai kewajiban umat pengikut Rosulullah Saw saja kita sudah seringkali lalai. Bahkan tidak jarang peribadatan-peribadatan itu hanya dijalankan ketika diri dalam posisi sedang berkesusahan atau banyak dirundung masalah. Atau kerapkali peribadatan itu tidak lebih hanya penutup keserakahan dan ketamakan diri kita saja. Dan betapa seringnya ketika kita sudah sibuk menghabiskan segalanya untuk beribadah kepada-Nya, lantas apa yang menjadi keinginan kita tidak kunjung dikabulkan-Nya kemudian berubah menjadi seorang yang ingkar, yang tiba-tiba menuduh-nuduh Tuhan sebagai yang tidak adil. Hanya lantaran kondisi hidupnya yang semakin terpuruk saja, sedang mereka yang sangat ingkar kepada Tuhan malah kehidupannya sangat mewah dengan segala keinginannya yang senantiasa terpenuhi. Pada kondisi yang demikianlah, yang menjadikan setiap dari kita untuk sejenak instrospeksi diri, kemudian belajar kembali untuk semakin memahami apa dan bagaimana seharusnya hidup di dunia yang sementara ini.


Sedang yang pertama sekali harus dipahami adalah bahwa kehidupan di dunia masih sangatlah bebas. Mau berbuat baik, silahkan, mau bertindak jahat pun juga silahkan. Sebab di dunia ini belumlah dinampakkan pahala atau siksa atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan oleh manusia. Sebagaimana yang disampaikan saidina Ali r.a bahwa, “di dunia ini adalah tempat untuk beramal dan belum ada hisab atau balasan. Sedangkan di akhirat kelak adalah saatnya pembalasan atau adanya hisab dan sudah tidak ada lagi amal.” Sehingga, beruntunglah mereka yang meneladani Rosulullah SAW yang sepanjang hidupnya hanya sibuk beribadah kepada Allah SWT, biarpun kondisi kehidupan sehari-harinya sangatlah berkekurangan. Dan celakalah mereka yang sepanjang hidupnya hanya mengejar-mengejar kesenangan hidup di dunia saja, dengan melalaikan akhirat serta yang berdalih ibadah akan tetapi sesungguhnya hanya disibukkan oleh ketamakan dan keserakahan tentang ambisi kesenangan di dunia saja. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian