Hidup untuk Dicintai


Ketika ada benih cinta yang tumbuh di hati kepada seorang lawan jenis. Maka, kebanyakan dari para pecinta itu yang pertama kali ditekankan di dalam dirinya sendiri adalah serupa egoisitas diri, yang penting mencintai, terserah ia mau membalas cinta itu atau tidak. Sebagaimana perasaan kita ketika mencintai lawan jenis, maka lebih mulia mana antara mencintai dengan dicintai? Dan kenapa kita lebih cenderung sibuk mencintai dibanding keinginan untuk dicintai?

Tentu saja, ketika kita mencintai orang lain, maka pada saat benih cinta itu tumbuh pastilah disebabkan ada suatu kelebihan atau kemuliaan dari seorang yang kita cintai tadi, yang telah menarik hati kita untuk sangat mencintainya. Sedangkan, seringkali yang biasa terjadi pada saat ini adalah perasaan cinta tadi hanya berhenti pada mencintai saja, atau pada pengungkapan rasa cinta tadi. Selebihnya sudah tidak kita pedulikan, apakah yang dicintai tadi akan membalas kecintaan kita ataukah akan acuh tak acuh dan menolaknya? Terserah dia, yang penting mencintainya.

Di sinilah sebenarnya letak sedikit kesalahan kita di dalam mencintai. Kita sibuk mencintai tetapi tidak sekalipun menyibukkan diri agar segera dicintai. Dan di dalam proses ingin dicintai, terdapat berbagai macam usaha yang dilakukan oleh mereka yang ingin dicintai untuk menarik hati orang yang ingin diambil simpatinya tadi. Berbekal perasaan ingin dicintai, seseorang akan menyibukkan dirinya untuk terus menerus meningkatkan kualitas kepribadian dirinya sendiri. Bukankah tidak ada orang yang dicintai lantas menjelek-jelekkan dirinya sendiri? Coba bandingkan dengan yang hanya sibuk mencintai. Bukankah ketika cintanya tertolak, mereka hanya sibuk menyakiti dirinya sendiri atau bahkan lebih sering berubah mengumpat dan menjelek-jelekkan orang yang dicintainya tadi?

Demikianlah gambaran singkat tentang selain mencintai, keinginan dicintai adalah jauh lebih penting. Dan jika ditarik dalam ranah religiusitas manusia yang sedang menjalani titah kehidupannya di dunia, maka sudah seharusnyalah segala hal yang dijalankan sepanjang hidupnya di muka bumi ini adalah tidak lain hanya agar dicintai oleh Allah SWT yang telah menciptakan manusia. Ibarat sebuah perjalanan yang memiliki asal dan tujuan pulang, maka yang terpenting dari sebuah perjalanan itu bukanlah hanya keinginan atau kepastian untuk pulang saja, akan tetapi ketika kita pulang, kepulangan kita tersebut diterima atau tidak.

Lantas, bagaimanakah seharusnya manusia menjalani titah kehidupannya di dunia agar kepulangannya nanti disambut penuh kerinduan oleh Allah SWT? Sebagaimana firman-Nya, “irji’ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii.” (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku).

Kita ini dicintai Allah SWT atau tidak, kelak kepulangan kita ke hadirat-Nya diterima atau tidak, adalah acuan paling pokok di dalam mempertimbangkan prilaku dan kebiasaan apapun yang akan kita kerjakan di sepanjang hidup kita di dunia. Sebab itulah, maka di dalam berkehidupan haruslah sangat berhati-hati. Jangan sampai perbuatan-perbuatan kita di muka bumi-Nya malah menjadikan Allah SWT murka. Jangan sampai kebiasaan-kebiasaan kita di dunia ini menjadikan kita tidak diterima penuh kerinduan oleh Allah SWT ketika kepulangan kelak. Dengan demikian, maka yang utama sekali harus dikerjakan adalah terus menerus berinstrospeksi demi semakin meningkatkan kualitas kepribadian diri. Selanjutnya beristiqomah menjalankan segala sesuatu yang menjadikan Allah SWT ridho dan cinta terhadap kita.

Kemudian, hidup manusia yang oleh Allah SWT diberikan dua peran sekaligus, yakni sebagai hamba yang tugas utamanya hanyalah beribadah kepada-Nya, dan juga kholifatullah fil ardhi yang tugas pokoknya adalah menjaga kedamaian dan kelestarian semesta alam dengan seluruh isinya. Dalam penggabungan dua hal inilah, kerapkali manusia kesulitan di dalam menyeimbangkannya ketika memerankannya sekaligus. Padahal puncak hablun minalloh-nya manusia (manusia sebagai hamba) adalah hablun minannas-nya manusia tersebut, yang terejawantah dalam akhlakul karimah, menjadi rohmat bagi semesta alam. Dan sebaliknya, ketika manusia mencintai segala apa yang di bumi, maka pastilah yang di langit akan mencintainya.

Contoh konkrit keterkaitan antara kecintaan Allah SWT terhadap manusia adalah ketika kita, antar sesama manusia sendiri saling membenci sehingga menjadikan satu sama lain tidak saling tegur sapa, jika itu lebih dari tiga hari, maka amal baik apapun yang telah kita kerjakan tertolak, sehingga di antara kita mau untuk saling memaafkan. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW, “Pintu-pintu surga itu dibuka setiap hari Senin dan Kamis. Dimana setiap orang yang tidak berbuat syirik pada hari itu diampuni dosanya, kecuali yang berselisih di antara saudaranya. Lalu diserukan, ‘tunggulah hingga keduanya berdamai’. Dan ketika dinaikkan amal mereka, sedang mereka tetap dalam keadaan berselisih lebih dari tiga hari, maka ditolak.” Atau sebagaimana juga sabda Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas r.a, “terdapat lima golongan orang yang sholatnya tertolak, yaitu: istri yang berada dalam kemarahan suaminya, hamba sahaya yang melarikan diri dari tuannya, seorang muslim yang tidak bertegur sapa (mendiamkan) saudaranya lebih dari tiga hari, pemabuk, pemimpin yang dibenci rakyatnya.

Untuk itulah, agar kita dicintai dan diridhoi Allah SWT, maka selain menyibukkan diri hanya menyembah-Nya, maka haruslah senantiasa menjaga diri dengan akhlak yang sebaik-baiknya, yakni akhlak mulia kepada sesama hidup yang telah diciptakan-Nya untuk berdampingan dengan kehidupan kita di dunia.


Akhirnya, hidup di dunia hanyalah untuk mencintai dan melayani seluruh ciptaan Allah SWT demi mendapatkan keridhoan-Nya dan agar dicintai serta diterima-Nya saat kepulangan kelak. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Menulislah Untuk Keabadian

Berbahagia Dengan yang Ada