Mencipta Lingkungan Kebaikan
Terceritakan terdapat
seorang anak kecil yang masih berusia tiga tahun, yang berbicaranya saja masih
sangat cadel. Akan tetapi, ketika anak kecil tadi mendengar adzan sholat
dikumandangkan dari Musholla kecil yang dekat rumahnya, maka ia bergegas
bangkit dan mengajak neneknya untuk berangkat ikut sholat berjamaah di
musholla. Sangat dekatnya posisi musholla dari rumah anak kecil tadi,
menjadikan setiap lalu lalang jamaah yang berangkat dan pulang dari sholat
berjamaah menjadi pemandangan yang dilihatnya setiap hari. Bahkan suara adzan dan iqomah,
kini menjadi suara yang akrab mengingatkan anak kecil tadi tentang aktivitas
sholat jamaah di musholla.
Lingkungan yang sudah
terbentuk baik seperti ini, sangat memudahkan bagi para orangtua untuk
mengarahkan anak pada kedisiplinan dan kegemaran akan berbuat kebaikan. Dan
anak sendiri yang diibaratkan kertas putih, yang tentu bergantung siapa dan
bagaimana kertas putih itu ditulisi adalah yang pertama dan utama pastilah
orangtuanya sendiri. “Kullu mauluudin
yuuladu ‘alal fithroh, fa abawaahu yuhawwidaanihi au yunasshiroonihi, au
yumajjisaanihi” (setiap anak yang terlahir adalah suci, maka orangtuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi). Dari sabda Rosulullah SAW
ini, sebenarnya juga mengindikasikan bahwa keberagamaan seorang anak itu
sangatlah dipengaruhi oleh orangtuanya sendiri.
Pada saat kecil, pastilah belum
ada yang namanya kebebasan beragama di dalam diri seorang anak, melainkan
adalah apa yang pertama ditanamkan oleh para orangtuanya. Barulah ketika
menginjak dewasa, ia mengalami sendiri berbagai peristiwa dan kondisi diri,
yang pada saatnya memunculkan pengalaman spiritual, yang terkadang memungkinkan
terjadi perubahan di dalam keberagamaan seseorang tersebut.
Sebagaimana anak kecil tadi,
yang sudah sedemikian taat naluri kebaikannya sebab dibantu pembentukan
karakternya oleh lingkungan yang memang sudah tertata baik. Akan tetapi, bisa
menjadikan sangat berubah ketika anak kecil tadi dipindah pada suatu kondisi
atau lingkungan yang berbeda jauh dengan yang sebaik itu. Tentu anak juga akan
berpolah, berinteraksi dengan lingkungan di mana ia berada, lantas menyesuaikan
diri. Menjadi semakin baik, atau bertambah sangat buruk adalah juga ditentukan
sebuah lingkungan di mana ia tinggal. Meski demikian, apa yang ditorehkan para
orangtua di dalam kepribadian diri seorang anaklah, yang pastinya pertama kali
akan dipegangi, jika memang benar-benar orangtua sangat kukuh di dalam
menanamkan kebaikan itu.
Misalnya saja, semula anak
berada di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya pendiam, tidak berbicara
melainkan kebaikan serta bertutur sapa yang jauh dari prilaku menyakiti sesama.
Kemudian berpindah ke sebuah lingkungan yang mana mayoritas masyarakatnya doyan
omongan, setiap saat pekerjaannya hanya menggunjingkan oranglain, perasaan iri
dengki menjadikan setiap orang gemar menjelek-jelekkan orang yang lainnya lagi.
Tentu saja, dalam proses perpindahan semacam ini, dengan ruang lingkup kondisi
dan suasana yang jauh berbeda. Kemungkinannya yang terjadi adalah anak akan
perlahan-perlahan berubah tergerus arus kebiasaan lingkungan yang ia tinggali.
Tetapi tidak, bagi yang di dalam dirinya karakter kebaikan yang pertama kali
ditanamkan telah benar-benar mewujud dalam kepribadiannya. Maka keburukan apapun
saja, apalagi hanya sebentuk mempergunjingkan atau menjelek-jelekkan orang
lain, bahkan yang jauh lebih buruk dari itupun, segera ia tepis dan tinggalkan begitu saja. Sama sekali tidak
mempengaruhi karakter pribadinya yang baik. Sekali lagi, di sinilah
sesungguhnya pentingnya peran utama orangtua di dalam menanamkan
kebaikan-kebaikan kepada anak-anaknya.
Sedangkan proses menanamkan kebaikan pada
diri anak-anak oleh orangtua, haruslah sangat berhati-hati. Sebab salah sedikit
saja, maka akan berakibat sangat fatal, meskipun dengan tujuan kebaikan yang
sama. Misalnya saja, ketika orangtua memotivasi anak-anaknya agar rajin belajar
supaya kelak menjadi manusia pandai dan berguna, janganlah sekali-kali dengan
cara menjatuhkan orang lain sebagai contohnya. “Kamu harus rajin belajar supaya kelak kamu tidak seperti pemulung
sampah itu”, dengan menunjukkan kondisi pemulung sampah yang sangat
kesusahan hidupnya. Cara seperti ini, sama sekali tidak memberikan motivasi
yang baik, apalagi sikap empati terhadap orang lain. Melainkan yang ada
hanyalah ketakutan-ketakutan, serta kebencian terhadap pemulung sampah yang
dinilaikan rendah oleh orangtuanya tadi.
Sama-sama menasehatinya,
tentulah akan sangat menggugah jiwa kebaikan anak-anaknya jika para orangtua
sanggup dengan tutur kata baik dan yang jauh dari sifat menjatuhkan orang lain.
Sebagaimana, “kamu harus rajin belajar,
supaya kelak kamu akan bisa menolong mereka yang hidupnya berkekurangan”
adalah ucapan motivasi yang jauh lebih bernilai positif. Dengan kata-kata yang
demikian, orangtua sedang menggugah semangat menjadi baik bagi anak-anaknya
yang kelak kebaikan itu harus menjadi manfaat bagi manusia yang membutuhkannya.
Sehingga, sama-sama
bertujuan baik di dalam memberikan motivasi kepada anak-anaknya agar menjadi
baik, akan tetapi jika terdapat sedikit saja ucapan yang kurang tepat, apalagi
ada unsur yang menjatuhkan atau menjelekkan orang lain, maka akan sangat
berakibat fatal pada karakter kepribadian anak-anak tersebut kelak. Mungkin
kita masih ingat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang sarjana
Jepang mengenai pengaruh sebuah ucapan terhadap kualitas air, yang
berkesimpulan bahwa jika sebuah air didekati, kemudian diucapkan kata-kata yang
positif semacam do’a dan lainnya, kondisi kualitas air tersebut akan menjadi
semakin baik. Dan sebaliknya, jika yang diucapkan di dekat air tersebut adalah
perkataan-perkataan yang negatif, maka akan segera mengubah kualitas air
menjadi sangat buruk. Demikian juga yang terjadi pada diri manusia yang lebih
dari 75% tubuhnya berupa cairan. Sehingga semakin sering lingkungan yang
membentuknya, khususnya orangtuanya sendiri dengan tutur kata santun penuh
kebaikan serta jauh dari kata-kata kotor yang menjatuhkan. Maka secara otomatis
di dalam diri anak akan juga terbentuk karakter kepribadian yang baik. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar