Mewaspadai Hidup Modern


Modernitas adalah sebuah masa yang saat ini melanda seluruh umat manusia. Modernisasi, demikian mereka mengenal istilah yang sarat dengan kemajuan di segala bidang. Manusia modern adalah produk yang lahir dari sejarah itu. Namun sayang, modernisasi telah memunculkan paradigma baru yang cenderung semakin pragmatis dan materialistis yang kemudian, realitanya telah mengubah atau setidaknya telah menipiskan standar kultural dan religius menjadi gaya hidup yang lebih praktis dan rasional.

Kehidupan modern sebenarnya telah memberikan banyak kemudahan  pada manusia dalam setiap aktivitas kehidupan. Namun, sekali lagi, manusia tetaplah  manusia, yang senantiasa dengan hasrat manusiawi (dan sekaligus nafsu hewani) dalam menyikapi seluruh kemajuan tersebut, sehingga masyarakat modern –menurut Peter L Berger- tidak begitu hirau lagi menjawab persoalan-persoalan metafisis tentang eksistensi diri manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di jagad raya ini.

Kehidupan modern dengan segala kelebihannya seakan bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi ia memberikan segala yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan di sisi lain, semua kemajuan itu telah menjadikan manusia jauh dari kehidupan metafisis yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Manusia seakan diserang penyakit keterasingan (alienasi), termasuk alienasi ekologis, etologis, masyarakat dan alienasi kesadaran. Namun, semua ini tinggal bagaimana manusia itu sendiri menyikapi kemajuan dalam modernitas tersebut, karena setiap manusia memiliki cara pandang dan paradigma sendiri dalam menghadapi dan menjalani segala sesuatu.

Dan semakin sampai pada masa hari ini, keterasingan (alienasi) diri itu semakin akut menjalari setiap manusia. Kehidupan social yang sebelum mengenal kata modern sangat kental sehingga disebut-sebut setiap diri memiliki watak “tepo sliro” di setiap sisi kemanusiaan. Maka semakin sampai pada hari ini, sikap-sikap kemuliaan itu sudah menguap tanpa bekas. Mungkin saja kita pernah mengalami saat di mana ketika ada salah seorang di antara kita, yang entah kita kenal ataupun tidak, tiba-tiba terpeleset jatuh di hadapan kita. Lantas apa yang kita perbuat? Tentu bukan spontanitas berlari membantunya berdiri. Melainkan yang kerapkali terjadi saat ini adalah menertawakannya, atau jika tidak, maka kita akan segera saja mengambil phonsel canggih kita untuk kemudian kita foto dari berbagai sisi dan moment-moment raut wajah ketika seorang yang jatuh itu meringis kesakitan, sekaligus malu ketika menjadi tontonan. Selanjutnya kita upload foto tersebut di media-media social sebagai bahan tertawaan yang mengasyikkan.

Hal tersebut adalah contoh ringan saja yang menunjukkan bahwa manusia telah benar-benar terenggut kealamian watak dirinya yang sesungguhnya adalah manusia social. Meskipun banyak juga yang dengan sangat mampu memanfaatkan kemajuan tekhnologi yang dihadirkan oleh jaman modern ini untuk sesuatu yang bernilai positif. Banyak juga yang menggunakannya sebagai media yang dapat memudahkan dan melancarkan usaha dan bisnis yang sedang dijalani. Dan yang sudah mampu bersikap demikian ini adalah lebih banyak oleh mereka yang telah mencapai usia dewasa yang kehidupannya sudah dikejar-kejar kebutuhan untuk menghidupi diri, anak dan istri serta seluruh keluarganya. Sehingga media apapun yang disuguhkan oleh modernitas adalah tidak lain digunakan hanya sebatas membantu melancarkannya di bidang usaha dan bisnis yang digeluti.

Akan tetapi, bagi yang usia pelajar atau para kaum muda, ketercanggihan tekhnologi itu seakan sebuah peluru tanpa kendali yang dengan membabi buta menyerang ke sana-sini. Sehingga modernisasi tidak lebih hanya soal gaya hidup mentereng saja. Selebihnya, tidak sedikit yang terjermuskan pada nilai-nilai keburukan yang sangat bertentangan dengan kebaikan-kebaikan yang telah ada dan diyakini di kedalaman setiap diri selama ini.

Dengan demikian, sudah seharusnyalah setiap diri mampu untuk, pertama, mengenal dirinya sendiri dengan sebaik-baiknya. Kedua, memahami dengan benar segala sesuatu yang ada di luar diri, dalam hal ini modernitas dengan seluruh kehidupan modern yang dihadirkan melalui ketercanggihan tekhnologi. Ketiga, memiliki benteng yang kuat, termasuk di dalam kecermatan mengukur dan mempertimbangan setiap hal atau sesuatu yang di luar diri itu terhadap diri sendiri. Kemudian, dibalik, ketika hal atau sesuatu yang di luar diri itu sudah berada bersama diri sendiri, bagaimana dampaknya terhadap yang lainnya lagi. Sederhananya, kecermatan itu adalah menyesuaikan diri masing-masing seberapa bermanfaatkah segala hal atau sesuatu bagi diri secara pribadi? Lantas, seberapa bermanfaat dampaknya bagi kehidupan di luar diri masing-masing. Di sini, kecenderungannya adalah harus menekan egoisitas diri, sebab hidup tidak sendiri, melainkan terjadi rangkaian siklus dengan banyak hal, tidak hanya sesama manusia dengan segenap karakter dan budayanya, juga hewan, tumbuhan serta segala sesuatu yang terpampang di luasnya alam semesta.


Sebagai contoh lain, pernah kejadian di sebuah jalan raya. Tiba-tiba dua batang pohon besar yang hidup berdampingan ambruk menimpa sebuah mobil yang di dalamnya terdapat tiga penumpang termasuk sopirnya. Pohon itu pun menghalangi jalan raya, sehingga memaksa banyak pengguna jalan yang lain untuk berhenti. Si sopir dan penumpang yang duduk di bangku belakangnya bisa keluar, sedangkan penumpang yang berada di sisi kirinya, terjepit oleh ringsekan sisi kiri badan mobil yang ditimpa pohon tadi. Kejadian yang terjadi di depan banyak orang ini tidak lantas menjadikan para pengguna jalan yang seluruhnya berhenti itu untuk bergegas menolong. Melainkan kebanyakan dari mereka mengeluarkan phonsel canggihnya, dan saling memotret kejadian yang tepat berada di hadapannya. Serta tidak lain, lantas mereka saling meng-upload apa yang telah mereka potret tadi di media-media social. Beruntunglah, ada dua orang yang sedang berjualan di dekat kejadian itu yang sigap dan berlari membantu mengeluarkan penumpang yang masih terjepit tadi. Dan lagi, ketika hanya beberapa orang yang bergegas ikut menolong, sedang kebanyakan dari mereka yang ada hanya disibukkan oleh phonselnya memotret-motret saja, bahkan sibuk dengan action potret dirinya yang berbackground kejadian tadi. Tentulah tidak ada iba, apalagi belas kasihan. Lantas kemanakah watak “tepo sliro” itu? (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian