Tempaan yang Menghidupkan Hati


Semua pasti ada hikmahnya”. Tentu setiap kita pernah, atau bahkan sudah menancapkan kata-kata tersebut di kedalaman hati. Sehingga ketika kita dilanda peristiwa atau keadaan yang bagaimanapun juga, maka kata-kata tersebut minimal bisa memberikan nuansa kesabaran di dalam diri dengan meyakini bahwa akan timbul hikmah dari setiap takdir kehidupan yang dijalani. Lantas, apakah sejatinya hikmah itu?

Sebelum sampai pada puncak hikmah, maka sudah seharusnyalah kita memahami apa yang dikehendaki Tuhan dari setiap takdir kehidupan yang ditimpakan kepada manusia. Tidak lain, dunia dengan segala peristiwa yang meliputinya adalah bak asahan. Sedang manusia adalah diibaratkan sebuah pedang. Demi mencapai sebuah ketajaman yang sangat, maka pedang haruslah melalui proses diasah dengan asahan tersebut. Dan di dalam proses mengasah tadi, tidak hanya gesekan yang terjadi, tetapi di dalam diri sebuah pedang pun juga akan terdapat sisi-sisi yang harus hilang, yang tidak lain tujuannya hanyalah agar sebuah pedang menjadi sangat tajam.

Demikianlah dihadirkan-Nya manusia di muka bumi untuk diarahkan Tuhan menuju hadirat-Nya dalam kondisi yang tetap suci. Jika terdapat sedikit yang tidak suci, maka bak kerak di sebuah pedang tadi, yang tentunya lebih banyak membutuhkan proses asahan yang jauh lebih kuat. Sehingga bagi manusia yang dari awal sudah memahami apa dan untuk ke mana seharusnya hidup yang dijalani, maka tidak ada sedikitpun keluhan. Justru, semua akan dijalaninya dengan penuh rasa syukur dan kesabaran. Sebab sesakit atau sebahagia apapun kehidupan yang harus dijalani manusia, sejatinya adalah agar manusia tersebut dalam kondisi suci sekembalinya nanti di hadirat-Nya.

Bahkan lebih jauh dari itu, keberadaan neraka adalah sesungguhnya juga bukan sebentuk siksa yang hendak menyiksa manusia. Bukan. Melainkan semacam alat yang disediakan Tuhan demi mensucikan manusia dari dosa-dosa yang dibawanya ketika masih hidup di dunia, yang tentu saja belum sempat ditaubati dan diperbaiki. Dan nerakalah, satu-satunya alat yang kelak dijadikan proses pensucian itu. Sedang bagi yang bernasib buruk sebab sepanjang hidupnya hanya dihabiskan untuk hal-hal yang buruk, sehingga sedikitpun tidak sempat berbuat kebaikan, maka neraka menjadi tempatnya yang kekal.

Kemudian, manusia yang memiliki kecenderungan salah dan lupa. Kerapkali ketika menjalani hidupnya sesekali terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Bertindak yang tidak baik, melukai sesama hidup, dan lain sebagainya. Kondisi diri manusia yang sudah menyimpang dari kesuciannya yang azali ini, kemudian Allah Swt berbelas kasihan melalui teguran-teguran yang bertujuan kembali meluruskan. Jika manusia sudah mampu menyadari sejak dini akan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka Allah Swt membuka lebar pintu ampunan-Nya. Akan tetapi, bagi manusia yang cenderung lebih rendah kesadaran dirinya, maka dengan sangat frontal Allah Swt akan mengingatkan dengan peristiwa-peristiwa yang terkesan menyakitkan.

Sehingga, keadaan apapun saja yang diterima manusia, seharusnya mampu mengantarkan dirinya untuk segera berinstrospeksi. Dengan bekal kecenderungan manusia yang salah dan lupa tadi, maka apapun saja sebaiknya dijalani penuh kehati-hatian. Jika tiba-tiba ditimpa sesuatu yang menyakitkan dan menjadikan hati susah. Jangan-jangan masih banyak kesalahan yang dilakukan. Lantas bertaubat dan menikmati segalanya dengan rasa sabar. Begitu sebaliknya, ketika dianugerahi sesuatu yang secara nafsu sungguh sangat membahagiakan, jangan-jangan juga sebentuk istidroj akan kurang baiknya prilaku diri. Dengan sikap yang demikian, hati akan senantiasa hidup. Hati akan senantiasa disibukkan oleh kesukaan diri yang mencari-cari kesalahan diri untuk segera ditaubati dan diperbaiki.

Dan memiliki hati yang hidup inilah, sesungguhnya puncak dari hikmah atas setiap peristiwa yang menimpa manusia. Sebab hikmah dibalik sebuah peristiwa tidaklah semata termaknai sebagai sesuatu yang materi. Misalnya, jika suatu hari ditakdir Allah Swt untuk kehilangan sesuatu. Maka tidak berarti saat yang lain Allah Swt hendak menggantikan dengan sesuatu yang serupa benda yang hilang tadi. Akan tetapi lebih pada menjadi semakin hidupnya hati untuk terus menerus berinstrospeksi diri. Jangan-jangan kehilangan tadi adalah sebab kikirnya diri yang tidak mau bershodaqoh. Atau jangan-jangan pula terdapat harta yang tidak halal di dalam diri yang kehilangan tadi.


Dengan demikian, menjadi semakin hidupnya hati lantaran tempaan peristiwa demi peristiwa akan semakin mengantarkan manusia menjadi pribadi yang baik, yang senantiasa dekat dengan Allah Swt. Dan himahnya hikmah dari setiap yang menimpa manusia adalah menjadi semakin intimnya kedekatan hamba kepada Tuhannya. (M.Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian