Rukun, Kunci Hidup Bahagia
Adalah menjadi kunci tercapainya sebuah kebahagiaan
hidup di dunia, lebih-lebih di akhirat, hidup rukun dengan sesama manusia.
Yakni, dengan senantiasa menjaga silaturrahmi kepada siapapun saja termasuk
yang nyata-nyata memusuhi.
Dikisahkan, ketika Nabi Musa mengadukan kondisi negeri kaumnya yang
kekeringan kepada Allah Swt. Tidak setetes hujan pun yang turun, sehingga
menjadikan kesengsaraan yang luar biasa dalam suasana yang tidak ada air. Akan
tetapi, Allah Swt tidak lantas mengabulkan doa Nabi Musa tersebut. Melainkan,
menyuruhnya untuk merukunkan para umatnya. Sebab, saat ditugaskannya Nabi Musa,
seringkali terjadi cek-cok di antara keluarga umat-umatnya sendiri, terutama
suami dengan istrinya, yang terus menerus menimbulkan ketidak rukunan.
Kemudian, Nabi Musa mengumpulkan seluruh umatnya dan menjelaskan tentang
pentingnya sebuah kerukunan bagi tercurahkannya belas kasih Allah Swt. Dan seketika
Nabi Musa telah mampu mendamaikan hidup umatnya dengan menjunjung tinggi
kerukunan antar sesamanya. Maka, dengan serta merta Allah Swt menurunkan hujan.
Yang menjadi berkah bagi alam semesta, terkhusus manusia, serta mencurahkan
berbagai macam rizqi-Nya untuk umat Nabi Musa itu.
Demikianlah, dengan menjadi rukun akan memudahkan hidup manusia mencapai
puncak kebahagiaannya. Bagaimana tidak bahagia? Jika di setiap hubungan tidak
sekalipun ada sikap saling menyakiti dan mendengki, tidak ada lagi tindakan
saling memusuhi. Melainkan, yang ada hanya suasana diri yang mau saling mengasihi.
Guyup rukun saling menerima di antara sesama, saling bahu membahu untuk
membantu kesulitan masing-masing.
Meski menjadi rukun adalah dambaan setiap insan. Sebab, darinyalah
tumbuh kedamaian yang membahagiakan antara satu dengan yang lainnya. Akan
tetapi, pada kenyataannya, menjadi rukun itu adalah sesuatu yang sangat tidak
mudah. Rentannya diri manusia yang mudah merasa disakiti, sehingga menyimpan
kedengkian-kedengkian yang menjadikannya semakin enggan berkumpul dengan sesama
manusia. Lantas, bagaimanakah agar manusia itu tidak lagi mudah merasa disakiti
oleh tindakan manusia lain? Juga lebih menomor satukan kerukunan di dalam
saling menjaga hubungan antar sesama manusia?
Dan sesungguhnya, terdapat beberapa alasan yang menunjukkan betapa
sangat pentingnya hidup rukun di antara sesama manusia. Di antaranya, pertama, rukun itu tanda keimanan. Dalam
sebuah hadist, Rosulullah Saw bersabda, “Laa
yadkhulul jannah hattaa yukminu. Wa laa yukminu hattaa tahaabbu” (tidak
masuk surga sehingga seseorang beriman. Dan tidak beriman sehingga seseorang
itu bisa saling hidup rukun atau saling mencintai). Hal ini juga senada dengan
hadist lainnya, “Laa yukminu ahadukum
hattaa yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi” (tidaklah beriman
seseorang itu sehingga ia mampu mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri).
Lebih dari itu, bahwa Allah Swt sendiri memerintahkan agar setiap hamba
yang beriman untuk bertindak menjadi pendamai jika misalnya di antara
saudaranya ada yang tidak rukun. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujurot:
10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara. Maka damaikanlah di antara saudaramu.”
Kedua, rukun menjadi syarat diterimanya sebuah peribadatan.
Sebagai manusia, pastinya pernah kita merasa disakiti. Dan saking sakitnya,
kemudian enggan memaafkan orang yang menyakiti tersebut. Kondisi buruk seperti
ini jangan sampai berlarut-larut, sebab akan menjadi ganjalan diterimanya amal
kebaikan yang telah dikerjakan. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra. “Pintu-pintu surga itu dibuka setiap hari
Senin dan Kamis. Dimana setiap orang yang tidak berbuat syirik pada hari itu
diampuni dosanya, kecuali yang saling berselisih di antara saudaranya. Lalu
diserukan, ‘tunggulah hingga keduanya berdamai.’ Dan ketika dinaikkan amal
mereka (sedang mereka tetap dalam keadaan berselisih melebihi tiga hari) maka
ditolak.”
Lebih
dari itu, manusia pendengki yang tidak mau saling memaafkan dengan sesamanya,
sehingga menjadikan hubungan keduanya semakin tidak rukun. Dan bahkan sikap
buruk semacam ini dibawa sampai mati, maka mereka tidak akan dapat menikmati
kebahagiaan hidup di dunia. Hal ini sebagaimana sabda Rosululllah Saw yang diriwayatkan
Hasan Al-Bashri disebutkan, “janganlah
kamu saling berdiam-diaman. Dan jika terpaksa melakukan yang demikian maka
janganlah melebihi dari tiga hari. Karena, bagi siapa yang meninggal dalam
keadaan yang demikian (tidak saling bertegur sapa) maka tidak akan dikumpulkan
keduanya di dalam surga.”
Ketiga, dengan menjadi rukun, akan mendatangkan belas kasih
Allah Swt. Dalam sebuah riwayat yang diceritakan Abdullah bin Abu Auf, bahwa
suatu sore di hari Arafah kami duduk bersama Rosulullah Saw. Lantas beliau
bersabda, “janganlah orang yang memutus
silaturrahmi duduk bersama kami, dan sebaiknya ia beranjak dari tengah-tengah
kami.” Kemudian beranjak seseorang dari tempat duduknya, dan tidak beberapa
lama ia kembali lagi di tengah-tengah kami. Rosulullah Saw kemudian bertanya
kepadanya, “apakah gerangan yang membuat
kamu beranjak dari kami?” Ia menjawab, “wahai
Rosul, ketika aku mendengar apa yang engkau sabdakan tersebut, aku langsung
bergegas menemui bibiku yang memutus hubungan denganku. Dan aku memberitahukan
apa yang engkau sabdakan tadi. Lalu ia beristighfar, dan kami saling bermaaf-maafan.”
Beliau lalu berkata, “baguslah, sekarang
duduklah bersama kami. Ketahuilah bahwa Allah Swt tidak akan menurunkan
rahmat-Nya kepada suatu golongan yang di antara mereka terdapat orang yang
memutuskan silaturrahmi.”
Dan bahkan, menjadi rukun di sini dapat menjadi jalan dibukanya
pintu-pintu rizqi, serta dipanjangkannya umur manusia. Sebagaimana yang
disabdakan Rosulullah Saw, “barangsiapa
menyukai untuk mendapatkan kelapangan dalam masalah rizqi dan diundurkan
umurnya (panjang umur), maka hendaklah ia menyambung hubungan dengan familinya.”
Akhirnya, adalah menjadi kunci tercapainya sebuah kebahagiaan hidup di
dunia, lebih-lebih di akhirat, hidup rukun dengan sesama manusia. Yakni, dengan
senantiasa menjaga silaturrahmi kepada siapapun saja termasuk yang nyata-nyata
memusuhi. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar