Inna Lillahi, Diterima Kembali?


Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Adalah kalimat yang pasti kita dengungkan ketika mendapatkan sebuah musibah. Terlebih berupa kematian. Pertama, disebabkan memang menjadi sebuah perintah, ketika ditimpa musibah mengucap kalimat istirja’. Kedua, bahwa kalimat tersebut seakan mampu sedikit membuka pintu kesabaran dan keikhlasan diri betapa manusia tidak punya apa-apa, bahkan atas dirinya sendiri. “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).

Namun, sesungguhnya bukan sebatas dua hal itu yang menjadikan kalimat istirja’ pantas untuk selalu diucapkan. Bahkan lebih jauh dan mendalam dari itu, bahwa manusia yang sudah dihidupkan, harus juga berpikir soal bagaimana kelak akan kembali kepada-Nya. Mengenai inna lillahi, bisa dipastikan semua sudah sadar, tentang keberadaan manusia hidup memang diciptakan Allah Swt. Tetapi yang seringkali dilalaikan adalah kepastian akan kembalinya manusia ke hadirat Allah Swt. Kelalaian ini menjadikan manusia semakin abai akan kepulangannya itu kelak diterima kembali atau justru ditolak.

Sebagaimana keseharian kita yang sering bepergian, ada seseorang yang sangat dinantikan kepulangannya, ada pula yang malah sama sekali tidak diharapkan kepulangannya. Demikian juga dengan hidup manusia. Sepanjang kehidupannya di dunia, diibaratkan manusia sedang melakukan perjalanan yang mesti dilalui untuk kemudian kembali pulang. Dan soal kembali kepada-Nya ini, semua pasti kembali. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah sekembalinya manusia ke hadirat-Nya itu dinanti-nantikan penuh kerinduan oleh-Nya? Atau justru ditolak?

Antara dinantikan atau ditolak sekembalinya nanti, maka manusia benar-benar harus bisa berhati-hati di dalam menjaga dirinya. Jangan sampai terperosok pada jurang kenistaan yang menjadikan manusia tertolak. Dan penolakan ini terdapat dua jenis golongan manusia, pertama, yang pasti ditolak. Ini adalah jenis segolongan manusia yang sepanjang hidupnya tidak baik sama sekali (tidak memiliki iman). Kedua, yang memungkinkan untuk dimaafkan, yakni jenis manusia yang masih terdapat kebaikan di dalam dirinya (menyimpan keimanan di dalam diri). Dan proses pemaafan ini, tentu saja melalui proses panjang pencucian diri manusia itu dari dosa-dosa yang pernah dikerjakan, yaitu neraka jahannam.

Sebab kelak di akhirat, antara yang baik dan yang buruk itu dipisahkan sangat jauh. Tidak sebagaimana di dunia yang antara kebaikan dan keburukan masih bisa bersanding berhimpitan. Sehingga, yang buruk akan diproses dengan adil, serta yang memungkinkan untuk dimaafkan akan disucikan di neraka kemudian diangkat, dan dikumpulkan bersama mereka yang baik. Sedang yang sama sekali tidak ada kebaikan di dalam dirinya, akan ditolak, dan selamanya berada di neraka.

Pada akhirnya, hanya orang-orang baiklah yang akan disambut penuh kerinduan oleh Allah Swt. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)


Demikianlah, bahwa kehidupan di dunia sama sekali tidak bisa diremehkan begitu saja. Nasib sekembalinya manusia ke hadirat-Nya kelak, ditentukan oleh seberapa baik di dalam menjalani kehidupan di dunia. Bahagianya manusia ketika disambut penuh rindu oleh Allah Swt kemudian diantarkan ke surga-Nya adalah sebab kepandaian manusia di dalam menjaga dirinya agar senantiasa baik selama hidup di dunia. Sebaliknya, celakanya manusia ketika dimurkai Allah Swt dan dilemparkan ke neraka, adalah sesungguhnya kebodohan manusia itu sendiri, yang sepanjang hidupnya lalai dan tidak sanggup menjalankan kebaikan yang telah disyariatkan-Nya. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian