Bangga Dengan Anak


Seberapa banggakah kita dengan anak-anak kita sendiri? Jika seandainya dibandingkan dengan anugerah yang lain, masihkah kebanggaan kita terhadap anak-anak jauh lebih tinggi?

Ada sebuah guyonan yang sangat menyindir. Katanya, di zaman modern yang sarwa materi ini, merawat hewan ternak itu jauh lebih disukai dibanding mengasuh anak. Lebih jauh dari itu, bahwa memiliki hewan ternak yang semakin banyak, dinikmati sebagai anugerah yang luar biasa indah. Sedangkan anak, jika semakin banyak akan dikatakan sebagai cobaan yang sangat dahsyat. Kondisi yang demikian ini, sama halnya ketika didoakan supaya semakin berharta atau ditambah lagi anak-anaknya, maka yang bergegas diaminkan adalah yang supaya kaya harta. Sehingga, tidak heran jika semakin hari yang dikejar adalah kepuasan serupa materi. Dan anak, seakan terabaikan tanpa dipahami bahwa sesungguhnya kehadirannya membawa pengaruh yang sedemikian besar bagi kehidupan manusia kelak di keabadian.

Soal kehadiran anak di tengah-tengah keluarga ini. Ada beberapa hal yang seharusnya dicamkan sebagai pedoman agar diri menjadi semakin bangga dengan anak-anak kita sendiri. Pertama, anak adalah amanah Allah Swt. Begitu akad nikah selesai diikrarkan, selain hidup berkah penuh bahagia, pastilah kehadiran anak adalah anugerah yang sangat diidam-idamkan. Untuk itulah, sejatinya kehadiran anak disadari ataukah tidak adalah juga berasal dari keinginan para orangtua. Kemudian Allah Swt menganugerahi anak sebagai bentuk amanah yang wajib dijaga sebaik-baiknya. Dan kelak pasti dimintai pertanggung jawabannya.

Proses pertanggung jawaban ini tentulah luar biasa beratnya. Jika salah sedikit saja orangtua di dalam menjaga amanah berupa anak tadi, maka akibatnya tidak hanya di dunia. Tetapi di akhirat kelak akan menjadi siksa yang pedih bagi para orangtua. Dosa anak menjadi dosanya orangtua. Jika anak menjadi seorang yang tidak baik, pastilah salah orangtua di dalam menjaga amanah Allah Swt. Sehingga siksalah yang menimpa anak, sekaligus kedua orangtuanya. Dan sebab itulah, Allah Swt mewanti-wanti manusia agar sepenuh hati menjaga diri beserta seluruh keluarganya dari siksa api neraka.

Kedua, bibit amal jariyah orangtua. Terdapat tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun seseorang itu telah meninggal dunia, yaitu: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholih. Dan dari ketiga amalan tadi, anak sholihlah yang mampu mencakup shodaqoh jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Sebagai orangtua, jika kita benar-benar dengan tulus mengasuh dan membesarkan serta mendidik anak-anak, maka semuanya adalah sebentuk shodaqoh jariyah. Dari masih janin, terlahir bayi, dan besar secara fisik adalah buah dari kerja keras para orangtua yang tentu di dalamnya mengandung shodaqoh jariyah. Sedangkan secara ruhani, kebaikan-kebaikan yang diajarkan para orangtua kepada anak-anaknya, kebiasaan-kebiasaan mulia yang ditanamkan di dalam diri anak, adalah tercatat sebagai ilmu yang bermanfaat.

Dengan demikian, terbentuknya anak menjadi manusia sholih atas upaya keras para orangtua adalah amal jariyah yang luar biasa besar. Dan ketika orangtuanya sudah meninggal dunia, kebaikan-kebaikan yang dikerjakan anak-anak tadi, otomatis sudah menjadi catatan pahala kebaikan yang senantiasa terus mengalir. Sehingga, jangan pernah tidak bangga dengan anak, sebab anak adalah bibit amal jariyah para orangtua. Mengasuh, membesarkan, dan mendidiknya secara benar yang kemudian mengantarkannya menjadi manusia-manusia yang sholih akan menjadi tiket mulusnya para orangtua memasuki surga-Nya.

Ketiga, hamba Allah Swt dan umat Rosulullah Saw. Jika seandainya saja sebagai orangtua pernah berpikir untuk tidak suka kepada anak-anaknya, untuk tidak bangga membesarkan anak-anaknya. Maka ingatlah, bahwa anak-anak yang terlahir di tengah-tengah keluarga kita adalah hamba Allah Swt. Atau malah seandainya jika kita pernah punya niat menyakiti anak-anak hanya sebab tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka ingatlah bahwa anak-anak kita adalah umat Rosulullah Saw.

Sehingga, ketika kita memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya, dan senantiasa membahagiakannya, maka yang pertama kali bahagia tidak lain adalah Rosulullah Saw. Kenapa? Cinta kita kepada anak-anak kita sendiri itu tidak ada apa-apanya dibanding kecintaan Rosulullah Saw terhadap segenap umatnya. Saking cintanya kepada umat, Beliau Saw di akhir hayatnya yang dipanggil-panggil bukanlah siapa-siapa, melainkan umatnya. Dan ketika kita sanggup membahagiakan Rosulullah Saw melalui anak-anak kita sendiri, pastilah Allah Swt akan mengganjar kita dengan pahala yang luar biasa besar. Begitupun sebaliknya, kita harus sangat berhati-hati di dalam memperlakukan anak, jangan pernah sekalipun menyakiti atau menyusahkannya. Rasa sakit dan kesusahan anak-anak lantaran perlakuan kita, akan segera menjadi tidak relanya Rosulullah Saw serta tidak ridhonya Allah Swt. Sebab itu, banggalah dengan hamba Allah, dengan umat Rosulullah Saw.


Keempat, siklus hidup yang saling merawat. Hidup di dunia ini pastilah bergantian. Jika kita saat ini sebagai orangtua yang merawat anak-anak, maka kelak anak-anak kitalah yang akan ganti merawat kita di kala tua dan sudah tidak bisa apa-apa. Jika kita bangga merawat anak-anak, maka kelak anak-anak kita juga akan dengan sangat bangga merawat para orangtuanya. Dan soal kebanggaan terhadap anak, maka sesusah dan semenderita bagaimanapun orangtua ketika merawat dan membesarkan anak-anaknya, jangan pernah sekalipun menampakkan keluhan atas susah dan derita itu di hadapan anak-anaknya. Jangan pernah. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dengan nyaman, tanpa pikiran yang macam-macam. Serta efeknya kelak di hari tua, ketika harus merawat orangtuanya sendiri yang sudah tidak bisa apa-apa, maka anak akan memperlakukan orangtua sebaik mungkin tanpa keluhan dan tanpa merasa diberati oleh kondisi orantuanya. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Menulislah Untuk Keabadian

Berbahagia Dengan yang Ada