Bercanda dalam Hidup
Sebagai orangtua, pastinya seringlah kita bercanda dengan anak-anak
kita. Misalnya, dengan anak kita yang masih balita. Kita gendong, lantas “diumbul-umbulno” atau dilemparkan ke
atas kemudian tangan kita dengan sigap menangkapnya. Sepintas, model candaan
semacam ini akan terkesan sangat membahayakan bagi yang melihatnya. Tentu yang
dikhawatirkan adalah jangan-jangan orangtua lalai, lantas menjadikan tidak pas
ketika harus menangkap, dan akhirnya anaknya terjatuh.
Tetapi, nyatanya tidak bagi sang anak. Dilempar ke atas, ditangkap,
dilempar kembali ke atas dan ditangkap kembali. Justru menjadikan anak begitu
bahagia dalam tertawanya yang sangat riang. Serta kebahagiaan yang muncul dari
anak itu, pasti menjadikan setiap orangtua juga merasakan kebahagiaan yang
sama.
Lantas, yang menjadi sebuah keheranan adalah bukan pada orang lain yang
sedikit dibuat berdebar-debar hatinya ketika melihat candaan itu. Melainkan,
bagaimana anak bisa tidak takut? Kenapa anak justru malah tertawa-tawa bahagia?
Tentu, bukan sebab anak yang belum paham apa-apa soal bahaya atas dirinya. Tetapi,
lebih pada keyakinan seorang anak yang pasti akan ditangkap oleh orangtuanya
dalam pelukannya yang mesra. Benar ia dilemparkan ke atas, namun jatuhnya,
pasti selamat dalam tangkapan orangtuanya.
Permainan semacam itu, seringkali kita jumpai di sekitar kehidupan kita
sehari-hari. Pastinya, tidak jarang pula kita menyikapi permainan tersebut
sebagai sesuatu yang berbahaya. Meski kenyataannya, anak-anak itu tertawa
riang, penuh bahagia bersama orangtuanya. Dan memang begitulah hidup, jika kita
mau memandang kehidupan yang beraneka takdir yang telah menjadi ketetapan Tuhan
ini.
Melalui permainan yang kerap kita jumpai tadi, kita bisa memandang
kehidupan dunia tidak lebih hanya candaan Allah Swt belaka. Sebagaimana orangtua
yang melemparkan anaknya ke atas, ditangkapnya kembali, lantas dilempar dan
ditangkapnya lagi, maka demikian juga sejatinya hidup di dunia ini. Bukankah
hidup kita juga tidak beda jauh dengan pelemparan-pelemparan yang dilakukan
para orangtua itu?
Dalam berbagai takdir yang mesti dijalani sebagai kepastian Tuhan adalah
diibaratkan Tuhan sedang melemparkan manusia ke atas. Kita ini sedang “diumbul-umbulno” Allah Swt. Dan sebagai Tuhan
Yang Maha Sigap, kemudian Allah Swt menangkap kita kembali. Kemudian yang sesungguhnya
terjadi adalah Allah Swt tidak benar-benar sedang menjatuhkan kita atau
berkeinginan mencelakai kita. Itu hanya candaan belaka.
Jika benar hidup adalah candaan-Nya saja, kenapa ada takut? Kenapa melahirkan
sedih, dan memunculkan tangisan? Tentu di pikiran kita muncul pertanyaan-pertanyaan
semacam itu.
Dan kembali, yang perlu kita pahami saat ini adalah bagaimana anak-anak
tadi tidak takut? Bagaimana bisa ketika dilempar begitu, bukannya sedih atau
menangis, melainkan tertawa? Tidak lain adalah keyakinan utuh seorang anak yang
ketika dilempar, pastilah orangtuanya menangkapnya kembali. Begitu pula dengan
segenap liku kehidupan yang sedang dijalani manusia ini. Bisa dipastikan, takut,
sedih, bahkan tangisan adalah efek dari keyakinan manusia yang tidak seutuhnya
terhadap ke-Maha Sigap-an Allah Swt atas diri manusia itu sendiri. Juga ketidak
pahaman bahwa proses “diumbul-umbulno”
tadi tidaklah bertujuan mencelakai manusia, melainkan justru dimaksudkan untuk
membahagiakan manusia itu sendiri.
Dengan demikian, ada dua hal yang harus dicamkan di hati sebagai sebuah
keyakinan. Yakni dalam rangka menikmati hidup sebagai candaan yang mesti
dijalani ini. Pertama, bahwa apapun
saja dalam hidup ini adalah berasal dan kembali hanya kepada Allah Swt. Kedua, dihidupkannya manusia di dunia
ini, sesungguhnya bertujuan untuk dibahagiakan oleh Allah Swt.
Sehingga, apapun saja yang menjadi takdir yang mesti dijalani, haruslah
benar-benar diyakini bahwa semuanya adalah mutlak perkenan Allah Swt. Dan pastikan,
bahwa tidak satupun yang diperkenankan Allah Swt itu hendak mencelakakan
manusia. Tidak. Justru tidak lain hanya demi kebahagiaan manusia yang sejati
yang jauh lebih abadi. Selebihnya, jika tiba-tiba ada sesuatu yang tidak
mengenakkan hati kita, yang kemudian kita tafsiri sebagai sesuatu yang sama
sekali tidak membahagiakan, atau malah menyakitkan. Maka segeralah kembalikan
kepada diri kita masing-masing, sebagai manusia yang tidak luput dari salah dan
lupa. Sebab bisa jadi, kita sedang dikalahkan nafsu diri sehingga berjalan
melenceng dari tujuan awal manusia diciptakan.
Bukankah Allah Swt menghendaki kebahagiaan bagi segenap manusia? Sedang kebahagiaan
sejati yang disiapkan-Nya pastilah harus melalui jalur dan rute yang telah
ditetapkan-Nya juga. Dan yang pasti, kebahagiaan sejati yang telah
disiapkan-Nya sama sekali tidaklah berdasar nafsu diri manusia. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar