Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Menjadi Guru itu Memperbaiki Diri

Gambar
Siapa yang sesungguhnya berkewajiban mendidik anak-anak? Jawabnya bukanlah guru. Melainkan, masing-masing orangtua anak-anak itu sendirilah yang secara otomatis terbebani kewajiban. Sebagaimana yang dijelaskan Rosulullah Saw, bahwa hak setiap anak atas orangtuanya adalah memberikannya nama-nama yang baik, mengajarinya Al-Qur’an atau ilmu agama, dan menikahkannya. Dan ketiga hak anak ini, haruslah dipenuhi oleh setiap orangtua. Sebagaimana pula Allah Swt memerintahkan untuk menjaga setiap diri masing-masing dan seluruh keluarganya dari pedihnya siksa api neraka. Ini pun, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa setiap orangtua memiliki kewajiban atas keselamatan anak-anaknya dari terjerumusnya ke jurang neraka. Sedang bagaimana agar selamat, tentu saja dengan mendidik anak-anaknya untuk menjadi manusia baik. Jika demikian, lantas kenapa tradisi yang tengah umum terjadi adalah pendidikan anak-anak itu tidak langsung ditangani oleh orangtua masing-masing? Malahan, seakan-akan

Hidup Untuk Bahagia

Gambar
Adakah yang tidak mendamba kebahagiaan di sepanjang hidupnya? Jawabnya pastilah tidak. Sebab, di kedalaman hati manusia sendiri sudah dikondisikan oleh Allah Swt untuk mencintai segala hal yang berujud kebahagiaan. Dan sesungguhnya, dilahirkannya manusia di dunia ini adalah demi menyempurnakan kebahagiaan-kebahagiaan itu. Sedang kehidupan di dunia sendiri, juga sudah dikondisikan oleh Allah Swt sebagai penghantar untuk sampai pada titik kesempurnaan nikmat. Sehingga, tidak heran jika kematian seringkali disebut sebagai tamaamun ni’mah atau dalam istilah lain, al-mautu tukhfatul mukmin . Lantas, apa sejatinya kebahagiaan itu? Kerapkali, pemaknaan atas kebahagiaan itu hanya sebatas urusan bendawi yang tidak jarang malah bertentangan dengan hati. Sehingga dengan tergesa-gesa mensimpulkan bahwa bahagia itu hanya diperoleh oleh mereka yang dilimpahi harta, diliputi kemewahan dunia. Jadi, yang miskin papa, yang hidup serba tidak berpunya, tidaklah bisa mencercap bahagia. Padahal,

Kenapa Pesantren?

Gambar
Pada dasarnya, setiap orangtua mempunyai cita-cita yang sangat luhur terhadap diri anak-anaknya. Jangankan seorang yang memang baik, bahkan sampai pada sekelas penjahat pun, tidak pernah sekalipun terbersit di hatinya untuk menurunkan kepandaian menjahatnya. Sehingga, untuk menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang baik, tentu dipilihlah pendidikan-pendidikan yang bisa menjamin terbentuknya kepribadian yang luhur pada diri anak-anak. Terlebih, anak-anak adalah “aset” yang kehadirannya luar biasa bermanfaat bagi kemuliaan para orangtua. Tidak hanya di dunia, tetapi di akhirat kelak. Yakni, ketika sepeninggal para orangtua yang tentunya sudah terputus seluruh amalnya. Maka, lantunan doa dari anak-anaknyalah, satu dari tiga pengecualian tidak terputus-putusnya pahala yang bisa membantu kebahagiaan orangtua di kehidupan selanjutnya. ( “idzaa maatabnu Adam inqotho’a illa min tsalasin, shodaqotin jaariyatin, au ‘ilmin yuntafa’au bihi, au waladin shoolihin yad’uulah” – al-Hadist)

Rukun, Kunci Hidup Bahagia

Gambar
Adalah menjadi kunci tercapainya sebuah kebahagiaan hidup di dunia, lebih-lebih di akhirat, hidup rukun dengan sesama manusia. Yakni, dengan senantiasa menjaga silaturrahmi kepada siapapun saja termasuk yang nyata-nyata memusuhi. Dikisahkan, ketika Nabi Musa mengadukan kondisi negeri kaumnya yang kekeringan kepada Allah Swt. Tidak setetes hujan pun yang turun, sehingga menjadikan kesengsaraan yang luar biasa dalam suasana yang tidak ada air. Akan tetapi, Allah Swt tidak lantas mengabulkan doa Nabi Musa tersebut. Melainkan, menyuruhnya untuk merukunkan para umatnya. Sebab, saat ditugaskannya Nabi Musa, seringkali terjadi cek-cok di antara keluarga umat-umatnya sendiri, terutama suami dengan istrinya, yang terus menerus menimbulkan ketidak rukunan. Kemudian, Nabi Musa mengumpulkan seluruh umatnya dan menjelaskan tentang pentingnya sebuah kerukunan bagi tercurahkannya belas kasih Allah Swt. Dan seketika Nabi Musa telah mampu mendamaikan hidup umatnya dengan menjunjung tinggi ke

Tempaan yang Menghidupkan Hati

Gambar
“ Semua pasti ada hikmahnya ”. Tentu setiap kita pernah, atau bahkan sudah menancapkan kata-kata tersebut di kedalaman hati. Sehingga ketika kita dilanda peristiwa atau keadaan yang bagaimanapun juga, maka kata-kata tersebut minimal bisa memberikan nuansa kesabaran di dalam diri dengan meyakini bahwa akan timbul hikmah dari setiap takdir kehidupan yang dijalani. Lantas, apakah sejatinya hikmah itu? Sebelum sampai pada puncak hikmah, maka sudah seharusnyalah kita memahami apa yang dikehendaki Tuhan dari setiap takdir kehidupan yang ditimpakan kepada manusia. Tidak lain, dunia dengan segala peristiwa yang meliputinya adalah bak asahan. Sedang manusia adalah diibaratkan sebuah pedang. Demi mencapai sebuah ketajaman yang sangat, maka pedang haruslah melalui proses diasah dengan asahan tersebut. Dan di dalam proses mengasah tadi, tidak hanya gesekan yang terjadi, tetapi di dalam diri sebuah pedang pun juga akan terdapat sisi-sisi yang harus hilang, yang tidak lain tujuannya hanyalah

Inna Lillahi, Diterima Kembali?

Gambar
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un , sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Adalah kalimat yang pasti kita dengungkan ketika mendapatkan sebuah musibah. Terlebih berupa kematian. Pertama, disebabkan memang menjadi sebuah perintah, ketika ditimpa musibah mengucap kalimat istirja’ . Kedua, bahwa kalimat tersebut seakan mampu sedikit membuka pintu kesabaran dan keikhlasan diri betapa manusia tidak punya apa-apa, bahkan atas dirinya sendiri. “ Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. ” (QS. Al-Baqarah: 155-156). Namun, sesungguhnya bukan sebatas dua hal itu yang menjadikan kalimat istirja’ pantas untuk selalu diucapkan. Bahkan lebih jauh dan mendalam dari itu, bahwa manusia yang sudah dihidupkan, harus juga berpikir soal bagaimana kelak akan kembali kepada-Nya. Mengenai inna lillahi , bisa dipastikan semua sudah sadar, tentang keberadaan

Bangga Dengan Anak

Gambar
Seberapa banggakah kita dengan anak-anak kita sendiri? Jika seandainya dibandingkan dengan anugerah yang lain, masihkah kebanggaan kita terhadap anak-anak jauh lebih tinggi? Ada sebuah guyonan yang sangat menyindir. Katanya, di zaman modern yang sarwa materi ini, merawat hewan ternak itu jauh lebih disukai dibanding mengasuh anak. Lebih jauh dari itu, bahwa memiliki hewan ternak yang semakin banyak, dinikmati sebagai anugerah yang luar biasa indah. Sedangkan anak, jika semakin banyak akan dikatakan sebagai cobaan yang sangat dahsyat. Kondisi yang demikian ini, sama halnya ketika didoakan supaya semakin berharta atau ditambah lagi anak-anaknya, maka yang bergegas diaminkan adalah yang supaya kaya harta. Sehingga, tidak heran jika semakin hari yang dikejar adalah kepuasan serupa materi. Dan anak, seakan terabaikan tanpa dipahami bahwa sesungguhnya kehadirannya membawa pengaruh yang sedemikian besar bagi kehidupan manusia kelak di keabadian. Soal kehadiran anak di tengah-tengah

Bercanda dalam Hidup

Gambar
Sebagai orangtua, pastinya seringlah kita bercanda dengan anak-anak kita. Misalnya, dengan anak kita yang masih balita. Kita gendong, lantas “ diumbul-umbulno ” atau dilemparkan ke atas kemudian tangan kita dengan sigap menangkapnya. Sepintas, model candaan semacam ini akan terkesan sangat membahayakan bagi yang melihatnya. Tentu yang dikhawatirkan adalah jangan-jangan orangtua lalai, lantas menjadikan tidak pas ketika harus menangkap, dan akhirnya anaknya terjatuh. Tetapi, nyatanya tidak bagi sang anak. Dilempar ke atas, ditangkap, dilempar kembali ke atas dan ditangkap kembali. Justru menjadikan anak begitu bahagia dalam tertawanya yang sangat riang. Serta kebahagiaan yang muncul dari anak itu, pasti menjadikan setiap orangtua juga merasakan kebahagiaan yang sama. Lantas, yang menjadi sebuah keheranan adalah bukan pada orang lain yang sedikit dibuat berdebar-debar hatinya ketika melihat candaan itu. Melainkan, bagaimana anak bisa tidak takut? Kenapa anak justru malah terta