Kenapa Pesantren?


Pada dasarnya, setiap orangtua mempunyai cita-cita yang sangat luhur terhadap diri anak-anaknya. Jangankan seorang yang memang baik, bahkan sampai pada sekelas penjahat pun, tidak pernah sekalipun terbersit di hatinya untuk menurunkan kepandaian menjahatnya. Sehingga, untuk menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang baik, tentu dipilihlah pendidikan-pendidikan yang bisa menjamin terbentuknya kepribadian yang luhur pada diri anak-anak.

Terlebih, anak-anak adalah “aset” yang kehadirannya luar biasa bermanfaat bagi kemuliaan para orangtua. Tidak hanya di dunia, tetapi di akhirat kelak. Yakni, ketika sepeninggal para orangtua yang tentunya sudah terputus seluruh amalnya. Maka, lantunan doa dari anak-anaknyalah, satu dari tiga pengecualian tidak terputus-putusnya pahala yang bisa membantu kebahagiaan orangtua di kehidupan selanjutnya. (“idzaa maatabnu Adam inqotho’a illa min tsalasin, shodaqotin jaariyatin, au ‘ilmin yuntafa’au bihi, au waladin shoolihin yad’uulah” – al-Hadist)

Dan juga, setiap orangtua pasti memiliki harapan yang sama bahwa keluhuran derajat anak-anak itu tidak sebatas pada kecerdasan akal, tetapi juga hati. Yang ujung-ujungnya, tidak hanya menjadi pribadi yang sukses di dunia, melainkan juga bahagia di akhirat. Hal ini pun juga sebagaimana yang telah difirmankan Allah Swt dalam QS. Al-Mujadalah: 11, Bahwa “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

Beriman dan berilmu pengetahuan adalah syarat mutlak derajat tinggi yang dijanjikan Allah Swt. Sehingga, untuk menjadikan anak-anak meraih kedua hal tersebut, maka para orangtua sudah seharusnya tidak serampangan di dalam mendidik anak-anaknya. Isi kepala yang berupa kecerdasan berpengetahuan, dan hati yang berupa iman yang mewujud akhlak mulia, adalah totalitas yang harus ditanamkan di dalam diri anak-anak semenjak dini. Untuk itulah, di kehidupan yang serba modern ini, pesantren dengan segenap perangkat kemajuannya, menjadi solusi paling tepat untuk dijadikan tempat mendidik bagi anak-anak.

Kenapa harus pesantren?

Pertama, pendidikan aqidah dan akhlak. Dewasa ini, kita seringkali menjumpai tingkah laku yang jauh menyimpang dari nilai-nilai keagamaan. Bahkan masih usia pelajar sudah sangat berani melanggar norma-norma kesusilaan. Hal ini tentu disebabkan pengaruh dari luar yang sangat kuat, tanpa didukung benteng kekuatan diri yang tangguh. Akhirnya, segala macam yang berbau modern diikuti begitu saja. Coba kita perhatikan berita-berita menyedihkan akhir-akhir ini. Berapa banyak di usia pelajar yang sudah berani melakukan adegan porno hanya berdasar melihatnya dari internet. Atau berapa banyak pemuda-pemudi yang gemar mabuk-mabukan, bahkan dengan narkoba, lantaran terpengaruh dunia luar. Dan masih banyak lagi hal-hal buruk yang membudaya pada usia pelajar.

Untuk itulah, keberadaan pesantren dengan seluruh sistem pendidikannya adalah sangat tepat untuk menanamkan sejak dini tentang aqidah dan akhlak diri. Membangun ketangguhan diri dari dalam secara kuat dengan ilmu-ilmu agama, akan menjadikan diri semakin hebat menolak segala macam di luar diri yang hendak menjerumuskan ke jurang kenistaan yang berujung siksa neraka.

Kedua, mendidik untuk gemar baik. Pada dasarnya, semua jenis pendidikan adalah mengarah pada pembentukan kepribadian untuk menjadi baik. Akan tetapi, yang jauh membedakan antara sistem pendidikan di pesantren dengan sekolah umum adalah pada proses pembiasaan untuk menjadi pribadi yang baik. Jika di sekolah umum, tentu tidak terlalu ketat sebagaimana sistem di pesantren. Waktunya yang hanya dari pagi sampai maksimal sore hari, peserta didik diajarkan beragam teori keilmuan. Kemudian, sepulang sekolah sudah tidak ada lagi kontrol dalam rangka pembentukan karakter diri peserta didik. Keterbatasan waktu itulah yang menjadikan sistem pendidikan di sekolah umum yang tidak memiliki banyak kesempatan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik terhadap peserta didiknya.

Lain dengan pesantren, yang semenjak bangun tidur, sampai tidur kembali, seluruh aktivitas didisiplinkan sedemikian rupa. Sehingga, tidak ada satu kesempatan pun bagi peserta didik untuk tidak membiasakan diri dengan kebaikan-kebaikan yang telah terjadwalkan. Tentu, semula berkesan seakan dipaksakan, akan tetapi, begitulah seharusnya. Sebab, pembentukan diri itu selalu saja dimulai dengan semacam pemaksaan-pemaksaan atau kedisiplinan tinggi yang harus diberikan hukuman bagi yang tidak taat aturan. Setelah itu, akan menjadi sebuah kebiasaan yang akan tertancap di dalam pribadi setiap diri.

Ketiga, faktor orangtua. Di zaman modern ini, orangtua mana yang tidak sibuk dengan pekerjaannya? Tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan yang sudah semakin banyak ikut keluar rumah untuk sebuah pekerjaan. Hampir-hampir tidak memiliki waktu inilah, yang seharusnya semakin menjadikan para orangtua memercayakan pendidikan anak-anaknya di pesantren. Dengan demikian, orangtua akan nyaman dengan aktivitasnya yang dipenuhi kesibukan bekerja. Sebab, sepanjang waktu, anak-anaknya sudah berada dalam lingkungan pendidikan yang sangat terkontrol dengan kedisiplinan sangat tinggi, semenjak bangun tidur sampai kembali tidur.

Selain sisi kesibukan, ada juga beberapa orangtua yang kurang begitu cakap mendidik anak-anaknya sendiri untuk menjadi baik, terutama dari ilmu agama. Dan menyerahkan pendidikan anak-anak ke pesantren adalah satu-satunya pilihan yang tepat. Sehingga, pendidikan anak yang meliputi pengetahuan umum dan ilmu agama akan terpenuhi dengan benar, sekaligus dengan penanaman kebiasaan diri untuk menjadi manusia berakhlak mulia.


Akhirnya, di sela-sela kemodernan jaman yang terus menomorsatukan keduniaan dengan sejuta kepandaian akal. Maka, pesantren adalah satu-satunya sistem pendidikan yang dimulai dengan dasar keagamaan. Mengisi hati dengan akidah yang kuat, kemudian membentuk kepribadian diri berakhlak mulia. Dan tanpa sekalipun mengesampingkan kecerdasan akal pikiran untuk diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang terus sejalan dengan perkembangan jaman. Sehingga, terbentuklah pribadi-pribadi yang utuh, yang senantiasa beriman, sekaligus berilmu pengetahuan. (M. Nurroziqi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Menulislah Untuk Keabadian

Berbahagia Dengan yang Ada