Menjadi Guru itu Memperbaiki Diri
Siapa yang sesungguhnya berkewajiban mendidik anak-anak? Jawabnya
bukanlah guru. Melainkan, masing-masing orangtua anak-anak itu sendirilah yang
secara otomatis terbebani kewajiban. Sebagaimana yang dijelaskan Rosulullah
Saw, bahwa hak setiap anak atas orangtuanya adalah memberikannya nama-nama yang
baik, mengajarinya Al-Qur’an atau ilmu agama, dan menikahkannya. Dan ketiga hak
anak ini, haruslah dipenuhi oleh setiap orangtua.
Sebagaimana pula Allah Swt memerintahkan untuk menjaga setiap diri
masing-masing dan seluruh keluarganya dari pedihnya siksa api neraka. Ini pun,
pada dasarnya mengandung pengertian bahwa setiap orangtua memiliki kewajiban
atas keselamatan anak-anaknya dari terjerumusnya ke jurang neraka. Sedang
bagaimana agar selamat, tentu saja dengan mendidik anak-anaknya untuk menjadi
manusia baik.
Jika demikian, lantas kenapa tradisi yang tengah umum terjadi adalah
pendidikan anak-anak itu tidak langsung ditangani oleh orangtua masing-masing?
Malahan, seakan-akan telah menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan
dimana mereka disekolahkan?
Pertama, orangtua tidak memiliki cukup waktu untuk
benar-benar konsen mendidik anak-anaknya sendiri. Hal ini disebabkan setiap
orangtua terlampau disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan materi atas kehidupan
keluarganya. Sehingga, mensekolahkan anak adalah solusi yang paling tepat. Kedua, kapasitas diri orangtua yang
belum memiliki kemampuan yang cukup mumpuni untuk mendidik anak-anaknya secara
mandiri. Lantas, kesadaran akan ketidak mampuan orangtua itulah yang
mengantarkannya untuk memasrahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan. Agar
diasah kecerdasan hati dan pikirannya untuk menjadi manusia yang baik.
Ketiga, sistem formalisasi pendidikan. Di negeri ini,
seorang disebut berpendidikan itu jika sudah mengantongi legalitas kelulusannya
menempuh sekolah. Yakni, ijazah. Sepandai apapun seseorang, jika tidak pernah
menempuh pendidikan formal dan mengantongi ijazah, belumlah disebut sebagai
seorang yang berpendidikan. Begitu sebaliknya, meski dikenyamnya pendidikan itu
sama sekali tidak menunjukkan kepandaian seseorang, jika ijazah sudah
dimilikinya, maka sudah pasti disebut orang yang berpendidikan.
Kemudian, minimal ketiga alasan itulah yang menjadikan setiap orangtua
berkeputusan mensekolahkan anak-anaknya. Sederhananya, para orangtua mencari
materi untuk membesarkan jasadnya. Sedang lembaga-lembaga pendidikan melalui
para guru kebagian mengurus ruhaninya. Mengasah kecerdasan otaknya, mengisi
hatinya dengan kebaikan-kebaikan, demi membangun kepribadian setiap anak yang
telah dipasrahkan.
Dan ketika orangtua sudah memasrahkan perkembangan anak-anaknya ke
sekolah. Maka, setiap guru telah secara otomatis mengambil peran penting di
dalam diri setiap anak. Sehingga, sangatlah beruntung para guru yang pada
akhirnya mampu menjadikan anak-anak itu pribadi yang baik. Sebab, setiap
kebaikan yang ditanamkan di dalam diri anak-anak itu, pastinya menjadi amal
jariyah yang pahalanya tidak pernah berhenti mengalir. Meski sang guru sudah
meninggal.
Uswatun Hasanah, baru Mauidhoh Hasanah
Sudah menjadi kebiasaan persepsi bahwa tugas guru adalah mengajar anak
didik. Tentu yang diajarkan di sini adalah beragam kebaikan. Mauidhoh hasanah,
istilah lainnya. Dan yang umum terjadi di negeri ini, para guru itu lebih
mendahulukan bagaimana mereka mengajarkan kebaikan (mauidhoh hasanah).
Sedangkan dimensi uswatun hasanahnya, atau teladan kebaikan dari guru itu
seakan terabaikan. Sehingga, kerapkali yang dipentingkan hanya sebatas metode
pengajaran dan materi yang diajarkan. Materi apa yang diajarkan dengan metode
bagaimana mengajarkannya, adalah yang ribut disibukkan oleh para guru. Dan
kepribadian diri seorang guru pun kurang mendapat perhatian. Bahkan, ketika ada
upaya peningkatan kualitas seorang guru pun, yang dibidik hanya kepandaiannya
di dalam mengajar anak-anak didiknya. Sama sekali bukan soal kualitas pribadi
seorang guru itu sendiri. Jadi, tidaklah mengherankan jika berulang kali kita
disuguhi berita-berita tentang kurang mengenakkan yang dilakukan oleh seorang
yang berprofesi sebagai seorang guru.
Dan tidak berlebihan kiranya jika Mahmoud Yunus, seorang pakar
pendidikan menyampaikan bahwa metode mengajar itu lebih penting dari materi
yang diajarkan. Sedangkan guru, adalah jauh lebih penting dibandingkan metode
itu sendiri. Sebab, sebelum mengajarkan kebaikan, seorang guru harus
benar-benar menjadi baik terlebih dahulu. Tentunya, mudah saja menugasi
anak-anak untuk begini dan begitu. Melarang mereka jangan seperti ini dan itu.
Tetapi, yang sulit itu memulai dari guru itu sendiri untuk menjadi sebagaimana
yang diajarkan kepada anak-anak didiknya. Dan sama sekali menjaga diri dari
tidak melakukan apa yang telah dilarangkannya atas mereka.
Di sinilah letak harus bersikap adilnya seorang guru. Tidak hanya sibuk
mengajari. Tetapi, juga harus senantiasa memperbaiki diri. Sehingga efeknya,
seorang guru tidak hanya pandai di dalam menyampaikan apa yang harus
diajarkannya atau bermauidhoh hasanah. Akan tetapi, juga harus benar-benar bisa
menjadi teladan kebaikan (uswatun hasanah) bagi para anak didiknya. Dengan
demikian, mendidik dengan menjadi seorang guru itu tidak sebatas memandaikan
anak dan menjadikan mereka manusia yang baik. Tetapi, yang lebih dahulu
dimiliki adalah kualitas kepribadian diri yang benar-benar baik. Serta bekal
kemampuan mengajar di dalam mengajak anak-anak untuk meniti pendidikannya guna
menjadi manusia yang baik.
Sehingga, guru yang telah bersusah payah mengambil peran besar tanggung
jawab setiap orang untuk mendidik anak-anaknya, akan dapat mencapai hasil yang
maksimal. Dan profesi guru sendiri tidak hanya sebatas pekerjaan di dalam
menghasilkan uang. Tetapi, yang jauh lebih mulia dari itu, yang tidak mungkin
dimiliki oleh profesi lainnya adalah menanamkan kebaikan kepada setiap anak
didiknya. Sedang menanamkan kebaikan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang
benar-benar baik.
Pendeknya, sebelum mengajarkan soal kebaikan, seorang guru harus
terlebih dahulu mampu menjadi teladan kebaikan. Dan untuk bisa menjadi teladan
kebaikan itu, seorang guru haruslah benar-benar menjadi seorang yang baik.
Untuk itu, tidak hanya anak-anak didik yang sibuk belajar dan diajari tentang
beragam kebaikan. Tetapi, guru juga harus senantiasa belajar dan memperbaiki
diri untuk benar-benar bisa menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Begitulah
seharusnya menjadi guru yang adil. Adil kepada dirinya sendiri. Adil terhadap
setiap anak didiknya. Serta para orangtua yang mempercayakan pendidikan
anak-anaknya kepada seorang guru melalui lembaga pendidikan. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar