Hidup Untuk Bahagia
Adakah yang tidak mendamba kebahagiaan di sepanjang hidupnya? Jawabnya pastilah
tidak. Sebab, di kedalaman hati manusia sendiri sudah dikondisikan oleh Allah
Swt untuk mencintai segala hal yang berujud kebahagiaan. Dan sesungguhnya,
dilahirkannya manusia di dunia ini adalah demi menyempurnakan
kebahagiaan-kebahagiaan itu. Sedang kehidupan di dunia sendiri, juga sudah dikondisikan
oleh Allah Swt sebagai penghantar untuk sampai pada titik kesempurnaan nikmat.
Sehingga, tidak heran jika kematian seringkali disebut sebagai tamaamun ni’mah atau dalam istilah lain,
al-mautu tukhfatul mukmin.
Lantas, apa sejatinya kebahagiaan itu?
Kerapkali, pemaknaan atas kebahagiaan itu hanya sebatas urusan bendawi
yang tidak jarang malah bertentangan dengan hati. Sehingga dengan tergesa-gesa
mensimpulkan bahwa bahagia itu hanya diperoleh oleh mereka yang dilimpahi
harta, diliputi kemewahan dunia. Jadi, yang miskin papa, yang hidup serba tidak
berpunya, tidaklah bisa mencercap bahagia. Padahal, pada kenyataannya, tidak
sedikit orang yang dinilai serba kekurangan itu, hidupnya jauh lebih bahagia
dari mereka yang hidup di rumah bergedung dengan berlimpah kemewahan.
Dengan demikian, pemahaman paling mendasar tentang kebahagiaan adalah
haruslah terlebih dahulu kita meyakini bahwa hidup tidak berhenti di dunia ini
saja. Sesudah kehidupan dunia, masih ada rangkaian kehidupan selanjutnya yang
mesti dijalani. Sedangkan kehidupan yang nanti itu, selamat tidaknya, bahagia
atau celakanya, bergantung dari seberapa mampu kita menjalani kehidupan di
dunia ini secara baik dan benar. Sehingga, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah
yang menjadikan benar-benar selamat nan bahagia di akhirat kelak. sebab, di
sanalah hidup kita nanti, yang jauh lebih abadi.
Kemudian, lebih dari itu, sesungguhnya sepanjang perjalanan hidup
manusia di dunia selalu saja diliputi dengan bahagia dan duka. Silih berganti
sampai pada batas akhir jatah usia manusia. Tetapi, bagi mereka yang sudah
menatap penuh cinta kepada Sang Maha Pencipta, duka dan derita seperih apapun
yang dirasakannya di dunia, sama sekali bukanlah sesuatu yang berarti. Semua
dinikmati penuh bahagia sebagai perkenan dan rasa cinta dari Allah Swt semata.
Duka dan derita kenapa bisa ternikmati sebagai bahagia?
Pertama, menjadi manusia beriman. Semenjak manusia diambil
sumpahnya di alam ruh atas keesaan Allah Swt. “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfiman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan, “sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-Anfaal: 172). Maka, di
sepanjang kehidupan manusia di dunia ini adalah bentuk pertanggung jawaban atas
sumpah setia tadi.
Sehingga, ketika manusia tetap istiqamah dengan keimanannya, hidup di
dunia bagaimanapun juga keadaannya akan dijalani sepenuh hati untuk menjalankan
segala perintah Allah Swt, dan menjauhi larangan-Nya. Dan bagi diri yang penuh
keimanan inilah, tidak ada kekhawatiran, tidak ada sedih, yang ada hanya
bahagia. Sebagaimana janji Allah Swt, bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”,
kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al-Ahqaaf: 13). Dan menjadi
sangat bahagianya seorang beriman, sebab hidup itu dijalani untuk menuju surga
yang telah disiapkan-Nya. Tentu sangat beda dengan seorang yang tanpa iman di
hatinya. Sebab, sepanjang perjalanan hidup yang dilakukan hanya mendekat dan
menuju neraka penuh siksa-Nya.
Kedua, bagi manusia beriman, berbagai macam hiruk pikuk
dunia yang ditimpakan kepada dirinya, diterima sebagai sebuah ujian.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut: 2, “apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan:
“kami telah beriman.” Sedang mereka tidak diuji lagi.” Dan yang namanya
ujian, pastinya bertujuan untuk membuktikan seberapa tinggi keberimanan
manusia, sekaligus sebagai proses untuk meningkatkan kualitas diri seorang
hamba di hadapan Tuhannya.
Sedang ujian sendiri, wujudnya tidak melulu soal kesengsaraan hidup yang
diliputi duka dan derita. Tetapi, gemerlap kenikmatan hidup yang dipenuhi
kebahagiaan, juga sebentuk ujian yang luar biasa beratnya. Kemudian, kedua
wujud ujian tadi, akan semakin mengantarkan manusia pada kedekatan yang semakin
intim dengan Allah Swt. Kesengsaraan hidup yang dirasakan, akan menjadikan
pribadi yang semakin sabar dengan mengharap belas kasih dari Allah Swt semata.
Juga kenikmatan hidup yang membahagiakan, akan mengantarkan diri menjadi
manusia penuh syukur, yang menjadikannya semakin tulus menghamba hanya kepada
Allah Swt.
Ketiga, bahwa kesengsaraan hidup yang kadangkala ditimpakan
Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya adalah sebentuk peringatan atas sebuah
kesalahan yang pernah dikerjakan. Ibaratnya, seorang murid yang asyik bermain
sendiri tanpa memperhatikan gurunya ketika sedang menjelaskan pelajaran di
depan kelas. Kemudian, sang guru mengambil sikap dengan melemparkan potongan
kapur tulis kepada murid yang sedang tidak memperhatikan tadi. Tentu ini
ditujukan agar seorang murid tadi segera kembali memperhatikan penjelasan
pelajaran yang disampaikan gurunya.
Begitu pula dengan kesengsaraan hidup yang kadangkala dirasakan manusia.
Hanya semacam kapur tulis yang dilemparkan tadi, agar manusia yang telah lalai
dari Allah Swt, segera kembali menjadi taat dan hanya patuh terhadap
perintah-perintah-Nya. Jadi, ketika manusia sudah mulai menjauhi-Nya, maka
Allah Swt akan menimpakan sesuatu yang sedikit menyakitkannya, agar mereka
segera kembali dekat dengan-Nya.
Soal ditimpakannya kesengsaraan kepada manusia ini, seorang bijak
bestari menasehatkan, “janganlah seperti anjing yang dilempar kerikil oleh
seseorang. Jadilah pemuda tampan yang dilempar oleh seorang gadis yang cantik”.
Maksudnya adalah ketika ditimpakan sesuatu oleh Allah Swt, janganlah mau
disibukkan dengan apa yang ditimpakan-Nya tadi. Sebagaimana anjing yang
pastinya sibuk mengejar kerikil yang dilemparkan kepadanya. Melainkan, apapun
saja yang ditimpakan-Nya, jadikanlah sebagai pelecut untuk mengejar dan
mendekat kepada Allah Swt. Sebagaimana pemuda tampan yang pastinya langsung
mengejar gadis cantik yang melemparnya. Dan hal ini sebagaimana perintah Allah
Swt sendiri agar manusia meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat (QS.
Al-Baqarah: 153)
Keempat, bahwa Allah Swt tidak ingin membebani manusia.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa
dari kejahatan yang dikerjakannya.” Hal ini tentu akan menjadikan sebuah
keyakinan bahwa sesungguhnya manusia pastilah sanggup dan kuat menjalani
kehidupannya, bahkan sesakit dan sepedih apapun. Sebab, Allah Swt telah
mengukur dengan pasti seluruh yang hendak ditimpakan-Nya dengan kadar
kesanggupan manusia itu sendiri.
Akhirnya, sesungguhnyalah hidup ini dijalani hanya untuk sebuah
kebahagiaan semata. Surga yang telah diciptakan-Nya sebelum manusia mengerti
akan arti sesungguhnya dari kebahagiaan adalah betapa Allah Swt sangat
menginginkan manusia bahagia. Kemudian, manusia digiring-Nya untuk bahagia
berada di dalamnya. Meski, sebab sifat dasar manusia sebagai tempatnya salah
dan lupa, kadangkala Allah Swt dengan sedikit terpaksa menyakiti manusia agar
segera kembali di jalur benar yang telah menjadi ketetapan-Nya. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar