Surga di Telapak kaki Ibu?


Al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat” (surga di bawah telapak kaki ibu) adalah sebuah motivasi bagi para anak agar sepanjang kehidupannya senantiasa menghormati kedua orang tuanya. Sebab kehadiran para anak di dunia, hidup, dan menjadi “orang” adalah buah tangan dari kerja keras dan jasa-jasa para orang tua. Dan semestinya, hadist Rasulullah Saw tersebut sasarannya adalah para anak agar menjadi pegangan hidup sehingga tidak lupa dengan seluruh jasa kedua orang tuanya.

Meski demikian, sayangnya, tidak sedikit yang dengan dalih hadist tersebut, para orang tua berlaku sewenang-wenang terhadap para anaknya. Bersikap otoriter. Tidak memberikan ruang berdiskusi bagi para anak. Dan ketika tidak sesuai dengan keinginan orang tua, anak-anak dicap sebagai yang tidak akan mendapatkan surga yang terletak di telapak kaki ibu, dalam hal ini orang tua. Padahal, sebagai orang tua, telah diwanti-wanti oleh Rasulullah Saw dengan “kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitroh, fa abawaahu yuhawwidaanihi, au yunasshiroonihi, au yumajjisaanihi” (setiap anak terlahir suci, maka kedua orang tuanyalah yang menentukannya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi).

Bukan hendak menyulut pertentangan. Tetapi, acapkali prilaku manusia adalah memanipulasi sebuah dalil untuk kepentingan egoisitasnya sendiri. Contoh lain adalah tentang adab bertamu. Jelas-jelas pedoman yang diajarkan Rasulullah Saw bagi para tamu adalah “addhoif kal mayyit, baina yadayyil ghoosil” (tamu bagaikan mayit, di antara tangan orang yang memandikan). Sedangkan pedoman bagi para tuan rumah adalah “man aamana billaahi wal yaumil aakhir, falyukrim dhoifahu” (barangsiapa yang percaya kepada Alloh dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya). Namun kenyataannya, para tamu menjadi mentang-mentang dengan berdalih menggunakan pedoman tuan rumah. Sedang tuan rumah juga bersikap seenaknya terhadap tamu dengan menggunakan pedoman yang semestinya dipegang oleh seorang tamu.

Demikian juga halnya dengan kedua hadist di atas. Sehingga, jangan lantas dijadikan justifikasi setiap prilaku orang tua di depan para anaknya agar senantiasa dipatuhi dan ditaati saja. Melainkan, harus menjadi pegangan agar setiap orang tua menjaga kualitas pribadinya. Sebab, tidak sedikit yang gagal mendidik anak-anaknya ke arah jalan hidup yang semestinya. Dan dalam kegagalan sebagai orang tua inilah, bisa dipastikan bahwa tidak lagi surga yang terletak di telapak kaki ibu (orang tua) itu. Akan tetapi juga neraka.

Tentu saja, peran penting orang tua adalah mendidik anak-anaknya mengenal Tuhan. Sehingga mampu menjalani hidup yang benar dan akhirnya surga yang kelak diraihnya. Serta jangan sampai orang tua mengambil langkah keliru di dalam mengarahkan dan mendidik mereka, sehingga neraka yang kelak dideranya. Surga atau neraka-nya anak adalah tentu dipengaruhi oleh seberapa mampu setiap orang tua di dalam memberikan pendidikan secara baik dan benar. Meski kadangkala di dalam kenyataan hidup ini ada juga factor “X” yang diperkenankan Tuhan tidak sejalan dengan kebiasaan proses kehidupan. Namun, sejatinya Tuhan sendiri tidak menginginkan makhluk-makhluk-Nya terjerumus ke dalam kejinya siksa neraka dengan memerintahkan agar manusia senantiasa menjaga diri dan seluruh keluarganya dari siksa api neraka (quu anfusakum wa ahliikum naaron). Di sinilah letak keharusan untuk berhati-hati bagi para orang tua di dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya.

Dengan demikian, sudah seharusnya, pesan Rasulullah Saw bahwa al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat” (surga di bawah telapak kaki ibu), juga diselaraskan dengan sabda beliau yang kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitroh, fa abawaahu yuhawwidaanihi, au yunasshiroonihi, au yumajjisaanihi” (setiap anak terlahir suci, maka kedua orang tuanyalah yang menentukannya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi). Sehingga, setiap orang tua tidak lantas mentang-mentang terhadap anak-anaknya dengan semata-mata ingin ditakuti dan dihormati saja. Juga agar hadist Rasulullah Saw tersebut tidak hanya dimaknai tentang seberapa tinggi kualitas akhlak seorang anak kepada orang tuanya. Akan tetapi, juga dimaknai seberapa berkualitas orang tua mendidik dan mengarahkan anak-anaknya.

Di tangan orang tua yang baik, maka surga-lah yang di kaki orang tuanya itu. Namun, di tangan orang tua yang kurang baik, bisa jadi neraka-lah yang di kakinya itu. Dan tentu saja, mendidik untuk menjadi baik tidak cukup hanya memasrahkan anak-anak pada lembaga-lembaga pendidikan. Sebab, pada dasarnya, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan hanyalah alat bantu bagi para orang tua di dalam mendidik anak-anaknya. Namun, yang jauh lebih penting dan justru paling berpengaruh adalah peranan orang tua di dalam mengarahkan kehidupan anak-anaknya ke arah yang semestinya dan sebenarnya untuk menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia. Sehingga yang wajib, sosok orang tua haruslah menjadi teladan bagi anak-anaknya sendiri dalam segala bentuk kebaikan. Serta senantiasa memberikan support dan kontrol yang penuh terhadap perkembangan mereka, dan bukan malah sebaliknya.


Dengan demikian, mulai masuknya anak-anak ke lembaga-lembaga pendidikan, tidak lantas menjadikan para orang tua abai terhadap perkembangan anak-anak mereka dan seakan lepas tanggung jawab dengan memasrahkannya begitu saja. Melainkan harus senantiasa bersikap aktif dengan memandu dan mengontrol mereka agar tidak salah di dalam proses perkembangan diri mereka. Juga yang tidak kalah penting adalah kehadiran orang tua yang sebagai teladan kebaikan bagi anak-anak mereka. (M. Nurroziqi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulislah Untuk Keabadian

Berbahagia Dengan yang Ada