Hati Penuh Maaf
Sepanjang kita saling berinteraksi dengan sesama manusia, macam-macamlah
perangai sikapnya. Ada yang sangat baik, tidak sedikit pula yang perangainya
suka menjengkelkan. Dan dalam kondisi perangai ini, sesungguhnya terdapat sebentuk
ujian bagi diri kita sendiri. Misalnya ketika berinteraksi dengan orang yang
baik kepada kita, maka di situ kita sebisa mungkin harus membalas kebaikan itu
dengan yang jauh lebih baik. Sebaliknya, seburuk apapun perangai orang lain
ketika sedang berinteraksi dengan diri kita, maka sebisa mungkin mencegah diri
untuk tidak melakukan hal yang serupa. Bahkan yang jauh lebih utama adalah
memaafkannya, kemudian membalasnya dengan kebaikan-kebaikan yang jauh lebih
baik lagi.
Meski terkadang, sebagai manusia yang mudah tersulut api dendam. Ketika
sudah terlampau dibaiki oleh orang lain, lantas entah sengaja atau tidak,
tiba-tiba orang tersebut satu kali saja berbuat sesuatu yang tidak mengenakkan
di hati kita. Maka ketidak baikan yang dilakukan orang lain terhadap diri kita
itulah yang lebih sering kita ingat-ingat. Bak setitik nila yang merusak susu
sebelanga, maka seluruh kebaikan orang lain itu seakan sudah tidak ada lagi
bagi diri kita lantaran sebuah kesalahan yang telah menjadikan hati kita sakit.
Inilah dendam, yang bermula dari ketidak sanggupan memaafkan kesalahan orang
lain.
Tidak berhenti di situ, sikap tidak bisa memaafkan yang memunculkan
dendam tadi, perlahan-lahan akan mempersempit ruang gerak diri kita sendiri.
Bagaimana tidak? Ketika hendak melakukan sesuatu hal yang terkait dengan
interaksi social atau yang melibatkan orang banyak, pastilah kita akan memilih
untuk mengurungkannya jika memang di wilayah social itu terdapat orang yang
pernah melukai hati kita tersebut. Mau ke sini, atau mau berkumpul masyarakat
dalam rangka ini, misalnya, hati menjadi was-was, jangan-jangan ada si dia yang
menjengkelkan itu. Sehingga kita mengurungkan niatan untuk melakukan banyak
hal, menghentikan diri untuk tidak berada di sebuah tempat yang memungkinkan
berjumpa dengan seorang yang pernah tidak baik kepada kita itu. Sehingga sikap
yang demikian ini, lambat laun menjadikan diri berani untuk memutuskan tali
silaturrahmi tidak hanya kepada orang yang pernah menyakiti hati kita, akan
tetapi dampaknya juga menjadikan terputus pula tali silaturrahmi dengan manusia
lain lantaran kita semakin membatasi dan mempersempit ruang gerak social kita
sendiri.
Menjadi sempitnya hidup lantaran tidak memiliki jiwa pemaaf ini, tidak
hanya di dunia saja, bahkan yang jauh lebih menyengsarakan adalah balasan siksa
ketika hidup yang kekal di akhirat. Sebagaimana ada sebuah cerita mengenai
seorang yang dapat dipercaya, akan tetapi seluruh amal baiknya tersebut tidak
menjadikannya memasuki surga hanya dikarenakan ia telah memumutuskan tali
silaturrahmi dengan salah seorang kerabatnya. Dikisahkan Al-Faqih Abul Laits
As-Samarqandi dalam bukunya Peringatan Bagi Orang-Orang Yang lupa (Tanbihul
Ghofilin), pada zaman dahulu tinggallah di kota Makkah seorang asal Khurasan
yang terkenal dengan keshalehan dan amanahnya. Karena itulah banyak orang yang
suka menitipkan barang kepadanya. Dan pada suatu hari seseorang menitipkan uang
sebesar 10.000 dinar kepadanya, lantas orang itu pergi untuk menyelesaikan
urusannya. Akan tetapi ketika ia kembali ke Makkah, ternyata orang Khurasan
yang pernah diamanatinya itu telah meninggal dunia.
Kemudian, pergilah ia ke ahli warisnya untuk menanyakan perihal uang
yang dititipkannya tersebut. Akan tetapi tidak satupun dari mereka yang
mengetahuinya. Lalu pergilah ia ke ulama’ Makkah untuk mencari penyelesaian
dari perkaranya itu. Lantas mereka berkata, “kami berharap ia termasuk penghuni surga, maka pergilah kamu ke sumur
zam-zam pada tengah malam dan panggillah, ‘wahai Fulan bin Fulan, aku adalah
orang yang dulu pernah menitipkan sesuatu padamu’.” Dan ia pun melakukan
yang demikian itu selama tiga malam berturut-turut, akan tetapi ia tidak pernah
mendapatkan jawaban apapun. Sehingga ia kembali lagi menemui para ulama’ dan
memberitahukan hal itu. Ulama’ itupun berkata, “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, kami takut jika temanmu itu
termasuk penghuni neraka. Kalau begitu, cobalah kamu pergi ke Yaman, di sana
terdapat sebuah lembah yang bernama Burhut dan terdapat sumur di dalamnya. Lalu
panggillah, ‘wahai Fulan bin Fulan, aku adalah orang yang dulu pernah
menitipkan sesuatu padamu’.”
Lalu, pergilah ia ke Yaman untuk melaksanakan apa yang disarankan oleh
Ulama’ itu. Dan ketika panggilan sekali, ia mendengar jawaban, maka ia pun
bertanya, “betapa kasihan kamu, bagaimana
mungkin kamu bisa berada di sini, padahal dulu kamu dikenal dengan keshalehan
dan kejujuranmu?.” Ia menjawab, “aku
memiliki kerabat di Khurazan, dan aku memutuskan silaturrahmi dengan mereka
sampai mati, maka inilah hukuman dan tempatku. Sedangkan uang yang pernah kau
titipkan kepadaku dulu, aku memendamnya di dalam rumahku tanpa sepengetahuan
anak dan istriku. Dan aku pun tidak meninggalkan pesan tentang perkara ini.
Maka sekarang katakanlah kepada mereka dan mintalah izin untuk menggalinya,
lalu ambillah. Pasti kamu akan mendapati uang itu masih tersimpan utuh di sana.”
Setelah itu, ia pun pergi ke rumahnya, dan menggali di tempat yang disebutkan,
dan uang itu benar-benar masih tersimpan utuh di sana.
Demikianlah, bahwa ujung dari ketidak sanggupan memaafkan atas sebuah
kesalahan yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri kita adalah memutuskan
tali silaturrahmi dengan sesama manusia. Sedangkan dosa yang ditanggung seorang
yang memutus tali silaturrahmi tersebut sangatlah besar. Bahkan ketika
mendiamkan orang lain saja, melebihi tiga hari, maka ibadahnya tidak diterima
olah Allah. Sebagaimana Sabda Rosulullah SAW yang diriwayatkan Abu Hurairoh, “pintu-pintu surga itu dibuka setiap hari
Senin dan Kamis, di mana setiap orang yang tidak berbuat syirik pada hari itu
diampuni dosanya, kecuali yang saling berselisih di antara saudaranya, lalu
diserukan, ‘tunggulah hingga keduanya berdamai.’ Dan ketika dinaikkan amal
mereka (sedang mereka tetap dalam keadaan berselisih melebihi tiga hari) maka
ditolak.”
Sehingga, dari sisi manapun, tidak memiliki sikap pemaaf adalah sama
sekali tidak ada untung-untungnya. Sebab pemaaf sendiri, sebuah sikap yang
sedemikian mulia, yang bisa dipastikan menjadikan siapapun yang di dalam diri
dan perangainya diliputi jiwa pemaaf ini maka ia akan dimuliakan oleh Allah
SWT, tidak hanya kelak di akhirat dengan balasan surga-Nya, bahkan ketika masih
di dunia pun, seorang pemaaf ini menjadikan mulia di pandangan seluruh makhluk.
Untuk itulah, berulangkali Allah SWT memerintahkan manusia untuk senantiasa
memaafkan dan suka memaafkan yang diantaranya terdapat dalam al-Quran Surat
Al-A’rof ayat 199, Al-Hijr ayat 85, An-Nur ayat 22, Ali Imron ayat 134 dan
Asy-Syuro ayat 43.
Dan bahkan, ketika seorang yang berada dalam kondisi teraniaya, kemudian
ia sanggup memaafkan, padahal pada saat itu ia juga sangat sanggup untuk
melakukan sebuah pembalasan yang setimpal. Maka sungguh sangat luar biasalah
pahala yang didapatkannya, sebagaimana sebuah nasehat Rosulullah SAW yang
disampaikan kepada Uqbah, “ya Uqbah,
maukah engkau aku beritahukan tentang akhlak penghuni dunia akhirat yang paling
mulia?” “Apa itu Ya Rosulullah?”
“Yaitu tetap menjalin hubungan
silaturrahmi kepada mereka yang telah memutuskannya, tetap bersikap dermawan
kepada mereka yang kikir kepadamu, dan memaafkan orang yang telah berlaku
aniaya terhadapmu.” (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar