Menata Hati
Pada dasarnya, semenjak
manusia dilahirkan itu membawa bekal di dalam dirinya masing-masing, yang
kemudian dipahami tersimpan rapi di hati yang paling dalam. Lantas, seiring
berjalannya waktu dan semakin bertambah luas serta banyaknya cakupan hidup di
dunia yang dipenuhi tipu daya ini, maka sedikit demi sedikit kebaikan dasar
manusia yang menjadi bekalnya semenjak lahir itu tertutupi. Menjadi semakin
tertutupinya hati paling dalam sebagai sumber kebaikan setiap diri itu, juga
tidak hanya disebabkan oleh segala hal yang bersumber dari luar diri manusia
itu sendiri. Melainkan sisi lain manusia yang dibekali nafsu dan keinginanlah
yang lebih banyak mendorong manusia untuk terus menerus menolak kebaikan dirinya
sendiri.
Ibaratnya sebuah ruang, hati
manusia itu, yang di sisi kanan dan kirinya terdapat candela. Dari satu
cendela, malaikat akan memasuki ruang itu untuk senantiasa menjaganya jika
memang ruangan tersebut benar-benar dalam kondisi yang baik. Sedang satu
cendela yang lain adalah merasuknya syetan ke dalam hati manusia jika kondisi
hati tersebut jelek. Pada kondisi inilah, sesungguhnya setiap diri manusia
memiliki “kehendak bebas” untuk melakukan pilihan mau menjalani hidupnya ke
arah kebaikan ataukah lebih pada keburukan. Malaikat juga sebagaimana syetan,
sesungguhnya tidaklah berbuat apa-apa atas diri manusia itu sendiri. Melainkan
tidak lebih hanya selayaknya angin yang akan memperbesar bara api yang sudah
menyala.
Sehingga, ketika di dalam
hati manusia itu yang selalu tumbuh adalah kebaikan-kebaikan, maka dengan
sendirinya malaikat akan merasa terundang untuk berada di dalam diri manusia
itu sampai benar-benar manusia itu menjalankan kebaikan-kebaikan yang sudah
diniatkannnya di dalam hati tersebut. Sebaliknya, ketika hanya keburukan yang
disuarakan oleh isi hati, maka syetanlah yang akan segera hadir ikut meniup
bara api keburukan yang sudah menyala itu agar segera berkobar sehingga manusia
mengerjakan keburukan yang keji. Demikianlah, lantas pada banyak penggambaran
yang kerapkali disampaikan, malaikat dan syetan berada di sisi kanan dan kiri
manusia, yang masing-masing saling membisiki manusia untuk menjalankan kebaikan
atau mengerjakan keburukan.
Lalu, jika pada dasarnya
manusia berbekal kebaikan di dalam dirinya semenjak lahir, kenapa kemudian
muncul keburukan dari sumber yang sama yakni hati sebagaimana kebaikan tadi?
Manusia yang diciptakan
Allah Swt dari saripati tanah ini, bisa disebut sebagai ciptaan mutakhir atau yang
paling sempurna. Kesempurnaan di sini bukanlah soal lengkap dan tidaknya organ
tubuh manusia. Melainkan unsur-unsur yang membentuk makhluk bernama manusia
inilah yang terambil dari berbagai unsur makhluk yang pernah diciptakan Allah Swt
sebelumnya. Tidak hanya unsur malaikat, melainkan juga unsur hewan dan
tetumbuhan. Sebab itulah, jika manusia itu bisa menjadi sangat baik, maka
kemuliaannya akan jauh melampaui malaikat yang semenjak diciptakan hanya untuk
taat perintah Allah Swt. Tetapi ketika manusia menjadi sangat buruk, maka ia
akan menjadi paling hina, yang kehinaannya jauh lebih rendah dibanding makhluk
paling hina sekalipun.
Sehingga, di dalam diri
seorang manusia sendiri bisa dikatakan terdapat sebuah pertarungan hebat antara
unsur-unsur yang membentuk manusia itu. Sebab itulah, pertarungan yang paling
dahsyat adalah pertarungan dalam rangka mengalahkan dirinya sendiri. Mungkin
kita masih ingat dengan pesan Rosulullah Saw ketika bersama sahabat-sahabatnya
usai memenangkan sebuah peperangan besar melawan kaum kafir, “kita baru saja keluar dari perang yang
kecil, dan akan memasuki perang yang jauh lebih besar”. Para sahabatnya
kaget, lantaran perang yang baru saja dimenangkannya itu adalah perang paling
besar yang selama ini pernah dialami, lantas mereka pun bertanya, “perang apakah itu?”, “perang melawan diri sendiri”, jawab
Rosulullah Saw.
Lantas apa yang harus
dilawan dari diri kita sendiri ini? Tidak lain adalah dorongan-dorongan buruk
yang bersumber dari dalam diri kita sendiri, yakni dengan terus menerus sekuat
tenaga menyalakan semangat kebaikan-kebaikan diri.
Sebagai contoh yang paling
sederhana, bahwa setiap manusia itu memiliki amarah yang siapapun berpotensi
untuk menjadi pemarah. Jika manusia tidak bisa mengalahkan dan mengendalikan
amarah tersebut, maka apapun dan bagaimanapun keadaan manusia, maka yang akan
muncul pertama kali adalah kemarahan-kemarahan itu tadi. Sebaliknya, ketika
manusia sudah bisa mengalahkan dan mengendalikan amarah tersebut, maka apapun
dan bagaimanapun kondisi yang menimpa dirinya, hanya kesabaranlah yang pertama
kali muncul sebagai sebuah sikap baik yang selanjutnya akan memicu
kebaikan-kebaikan lainnya yang akan menjadikannya mudah menemukan solusi serta
penyelesaiannya atas sebuah kondisi yang dihadapi. Sedang yang dari awal sudah
dikalahkan oleh amarahnya sendiri, jangankan solusi atas sebuah kondisi yang
menimpa diri, berpikir jernih pun akan sangat sulit didapatkan.
Hal yang demikian ini pernah
diteladankan oleh Saidina Ali r.a. Pada waktu itu, beliau sedang berperang
melawan kaum kafir, sehingga kaum kafir tersebut kalah dan mundur, sedang pedang
saidina Ali r.a sudah hampir menebas batang leher lawannya itu. Tiba-tiba saja,
muka beliau diludahi oleh lawannya tadi. Bukannya segera menyelesaikan
peperangan dengan menghabisi nyawa lawan yang telah meludahinya tadi, saidina
Ali r.a malah segera menyarungkan pedangnya dan meninggalkan lawannya. Melihat
kejadian seperti itu, lawannya tadi berteriak tanya kepada saidina Ali r.a, “kenapa engkau tidak membunuhku?”. “Ketika pertama aku melawanmu, hanya ingin
mendapatkan ridho Allah Swt yang menjadi doronganku, tetapi ketika engkau
meludahi mukaku, maka aku takut doronganku melawanmu akan dikotori oleh
amarahku sendiri”, jawab beliau.
Dengan demikian, sebagaimana
yang telah disabdakan Rosulullah Saw, “ketahuilah,
sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu
baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk,
maka akan buruk seluruh tubuh manusia. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu
adalah hati manusia.” Bahwa sejatinya hati adalah pusat tindak tanduk
manusia di dalam kehidupannya. Sehingga yang utama harus dilakukan ialah menata
hati itu agar hanya kebaikanlah yang mewujud. Jika hati yang sebagai pusat itu
sudah tertata dengan sangat baik, maka segala hal yang dikerjakan sebagai
sebuah kebiasaan tidak lain adalah pancaran dari kebaikan hati tersebut. Bahkan
dengan suasana hati yang senantiasa baik, di dalam sesuatu yang dipandang
sangat buruk sekalipun, seseorang akan selalu dapat menemukan sisi-sisi baik.
Sebab hati yang sudah baik, tidak akan pernah mau memandang dengan kacamata
keburukan. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar