Salah ke Siapa, Minta Maafnya ke Mana


Sebagai manusia, tentunya tidak akan lepas dari yang namanya kesalahan. Dan berbekal akal pikiran dan hati, sekaligus kitab suci yang diturunkan melalui hamba-hamba pilihan Tuhan sendiri, sudah seharusnya menjadikan manusia semakin bisa mengurangi, bahkan mengantisipasi diri agar tidak lagi terjadi kesalahan-kesalahan itu. Sehingga kesalahan bukan lagi sebuah kelumrahan manusia, yang senantiasa bisa terus dimaafkan. Tetapi di balik kesalahan-kesalahan itu pastilah mengandung konsekuensi yang mesti dipertanggung jawabkan. Sebab itulah adanya surga dan neraka. Sebagai tempat mempertanggung jawabkan segala hal yang dikerjakan manusia di kehidupan ini.

Dengan bermacam rupa kesalahan, manusia diberikan pengampunan begitu luasnya oleh Tuhan. Bahkan jauh lebih luas dibanding kesalahan-kesalahan itu sendiri. Juga Tuhan sendiri menyampaikan bahwa kasih sayang-Nya jauh mendahului amarah-Nya. Dan untuk sampai pada pengampunan itu, kuncinya hanyalah satu. Meminta maaf.

Namun, pada kenyataannya, meminta maaf juga bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih kesalahan-kesalahan yang telah terbiasakan itu sungguh sangat membuai nafsu. Sudah kadung enak. Belum lagi ketika ada rasa tinggi hati yang bersemayam di kedalaman diri. Meminta maaf menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Jika pun memang iya dikerjakan, permohonan maaf itu pun hanya di lisan saja. Tidak sampai jauh di lubuk hati. Tidak sampai pada sikap yang benar-benar kapok untuk tidak mengulanginya lagi. Serta sangat jauh dari harapan perubahan diri ke arah yang baik dan lebih baik lagi.

Dan itu yang benar-benar saya rasakan saat ini. Mudah sekali berjabat tangan sambil berucap maaf-maafan. Tetapi itu saya lakukan dengan orang-orang yang jarang sekali saya jumpai. Malahan belum kenal sama sekali. Saya pun lebih suka mengunjungi atau dikunjungi oleh orang-orang yang dengan sangat mudah kagum dan tercengang oleh keberhasilan saya yang sangat jarang sekali didapatkan oleh seseorang. Saya juga jauh lebih senang didatangi oleh orang-orang hebat yang secara tidak langsung kedatangan mereka akan menaikkan nama saya. Sehingga di hadapan banyak orang saya terpandang sebagai yang mulia.

Benar sekali jika lebaran adalah momentum yang paling tepat untuk kembali menjalin tali silaturrahmi. Sanak saudara atau yang masih bertalian keluarga, juga teman-teman yang sudah jarang sekali bertemu lantaran terpisahkan oleh jarak tempuh, saat lebaran bisa dengan mudah dijumpai. Kaki ini serasa ringan untuk segera menempuh jarak menemui mereka. Lagi-lagi, kesemua dari mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak pernah bergesekan dengan saya. Mereka tidak pernah menyakiti saya, dan saya tidak juga pernah punya salah kepada mereka.

Lain lagi dengan orang-orang yang pernah menyakiti saya, atau karena suatu hal saya sangat benci kepada mereka. Juga kepada mereka yang saya pernah berbuat salah. Sebetapapun dekatnya keberadaan mereka, kaki ini sangat berat untuk diajak mengunjungi mereka. Sangatlah sulit untuk dengan lapang hati mengakui kesalahan-kesalahan diri, sebagaimana tidak mudahnya melapangkan diri untuk memberikan sebuah maaf. Dan entah? Kadangkala di sisi hati saya yang lain seakan memprotes. Saya yang sedang banyak memiliki salah kepada seseorang, tetapi bermaaf-maafannya malah dengan orang lain yang sama sekali jarang berjumpa dan tentu hampir tidak saling punya kesalahan.


Sebagaimana saat ini, saya sedang menunggu seorang karib yang sudah sangat lama tidak berjumpa. Seingat saya, tidak ada satu kesalahanpun yang pernah saya perbuat kepadanya, begitupun dia. Tidak begitu ada guna sebenarnya, wong kita tidak pernah saling punya salah. Lain lagi ketika orang yang sudah pernah berbuat salah kepada saya. Atau siapapun saja yang pernah saya berbuat salah kepada mereka. Jangankan bertemu dan bermaaf-maafan. Sisipan di jalan saja jangan sampai. Jangankan saya yang ke rumahnya, bila mereka yang datang ke rumah saya saja, sudah pasti saya usir dengan caci maki yang tidak akan pernah dibayangkannya. Selebihnya, saya akan dengan mudah memutar balikkan fakta, merangkai cerita dengan mengumbar segala hal buruk tentang mereka kepada semua orang yang saya kenal, terutama yang juga mengenal mereka. Sehingga, saya tetap akan dipandang sebagai seorang yang mulia. (M. Nurroziqi. Tuban, 3 Syawal 1437 H)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian