Menebus Dosa atau Menumpuk Dosa


Lebaran yang dinanti-nantikan. Momentum paling tepat untuk bersua. Berkumpul penuh cinta dengan seluruh sanak kerabat dalam kelapangan hati saling meminta maaf dan memaafkan. Sepintas itu juga yang saya ikut rasakan. tetapi, setiap kali bertemu dengan teman dan keluarga, entah lebih banyak kebaikannya ataukah malah memperbanyak dosa?

Perbincangan demi perbincangan yang saya lakukan tidak lebih hanya sebentuk rasan-rasan. Selepas saling menjabat tangan untuk kemudian saling memaafkan, spontan saya selalu membuka aib-aib keluarga saya ketika ditanya tentang kabar diri. Sebagaimana tidak sabarnya saya ketika harus menunda rasa lapar hanya demi orang lain tidak ada yang merasa kelaparan. Saya pun tidak memiliki kesabaran ekstra ketika ditanya hal-hal yang menyangkut suami saya yang pengangguran itu. Yang semenjak diuji oleh orangtua saya dengan dipisahkan dari anak-anak dan istrinya, tidak malah menjadi penyemangat untuk segera bertindak memperjuangkannya dengan bekerja. Justru seakan menantang tidak akan bekerja jika ternyata sebuah pekerjaan adalah alasan yang menjadikan saya dan orangtua saya bersikap demikian.

Dan hampir semua yang berjumpa, selalu tergoda untuk menanyakan kabar saya dan keluarga ketika melihat saya yang sedang menggendong sekaligus menggandeng kedua anak saya, tanpa ditemani suami. Lagi-lagi, saya dengan cekatan menyampaikan segala hal yang buruk tentang suami saya. Dengan satu pengharapan saya, agar banyak yang iba dan saya disebut-sebut berada di posisi yang paling benar di dalam bersikap. Lebih-lebih dibantu orangtua saya yang dengan sangat cepat dan menggebu-gebu gaya berbicaranya menceritakan hanya pada hal-hal buruk suami saya.

Kenyataan lebaran yang saya rasakan sedemikian ini, terkadang menjadikan hati saya bergolak. Bergejolak hebat antara malah menambahi dosa ataukah benar sebagai nuansa menebus dosa. Benar, saya meminta maaf kepada orang lain. Juga orang lain memohonkan maafnya kepada saya. Tetapi sudahkah itu benar-benar sebagai penghapus dosa saya? Ataukah rasan-rasan saya dan orangtua saya kepada mereka itu malah menjadikan dosa yang jauh lebih menumpuk lagi. Saling membicarakan kondisi orang lain yang nyata-nyata benar adanya saja sudah termasuk pada wilayah ghibah yang tidak diperkenankan. Apalagi saya dan orangtua saya menambah-nambahi dengan segala keburukan yang belum tentu benar adanya, bukankah malah menfitnah, yang justru sangat dilarang.

Di sisi lubuk hati saya yang lain, kerapkali mengutarakan hal-hal demikian itu. Dan terkadang sangat menganggu perjalanan sikap yang sedang saya ambil. Dengan menceritakan hanya pada segala hal yang buruk, bisa jadi menjadikan orang yang saya ajak bercerita malah diam-diam memberikan cap buruk kepada saya. Sebab saya yang hanya bisa melihat sisi buruk dari diri seseorang. Apalagi itu suami saya sendiri. Sedang, suami yang saya rasani atau mungkin malah lebih banyak mengandung fitnahan, bisa dengan sangat tenang tanpa beban hati seperti saya. Bahkan bisa jadi dosa-dosanya akan diampunkan semua oleh Tuhan, sekaligus amal kebaikan saya dan orangtua saya dilimpahkan kepada suami saya itu.

Entah? Entah. Justru saya yang malah merasa penuh dosa. Tetapi saya kadung ambil sikap demikian. Saya sudah terlanjur menurut apa yang menjadi keinginan orangtua saya. Gengsi kalau saya harus meminta maaf kepada suami saya. Saya bukan tipe istri lemah yang punya keharusan sungkem suami jika bersalah. Juga jangan sampai anak-anak saya ikut-ikutan sungkem kepada ayahnya, sebagaimana di moment lebaran ini yang pasti mengharuskan setiap anak kembali sungkem kepada orangtuanya. Tidak. Mau saya taruh mana muka ini?

Apalagi, saya pernah membaca salah satu surat yang telah dikirimkan suami saya kepada orangtua saya. Yang ternyata seluruh isi surat itu menurut saya hanya berisi penghinaan-penghinaan terhadap saya, lebih-lebih kehinaan bagi orangtua saya. Selembar kertas yang tidak sengaja saya temukan di tempat sampah dalam kondisi lencu setelah dikepal-kepal oleh orangtua saya yang pasti telah membuangnya.

“Sebagai seorang anak,” isi dari bagian selembar kertas yang saya temukan di tempat sampah itu. “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama menjadi anak dalam keluarga Bapak/Ibu sering berbuat kesalahan. Tetapi, saya sangat yakin, tidak ada orangtua yang tidak mau memaafkan anak-anaknya. Kemudian mengarahkannya kepada kebaikan agar tidak lagi terjadi kesalahan. Dan juga saya mohon pertimbangan, Bagaimana menurut Bapak/Ibu yang siapapun mengakui bahwa Bapak/Ibu adalah seorang pegawai negara yang sangat berpengalaman? Apakah menjadi seorang pegawai negara diharuskan menjadikan yatim anak-anaknya sendiri? Apakah dengan jabatan pegawai negara ada aturan yang mengharamkan dirinya sendiri berkumpul dengan orang-orang yang bukan pegawai negara? Apakah dengan menjadi pegawai negara diwajibkan tidak mematuhi ajakan-ajakan baik suaminya? Sekaligus memaksa orangtua suaminya sendiri untuk sujud menyembah di kakinya agar diakui bahwa ia adalah seorang pegawai negara?.” 

Hati saya terus bergerumuh dirasuki amarah, seandainya suami saya di hadapan saya pasti akan saya gampar mukanya. Dan saya tidak bisa membayangkan betapa sangat merah padam wajah orangtua saya ketika membaca keseluruhan isi surat ini. Saya yang hanya membaca sebagian saja sudah sedemikian terpancing emosi.

“Dan sebagai seorang yang sangat tekun beragama,” lanjutnya di alenia berikutnya pada selembar kertas yang ditulis secara diketik itu. “Saya mohon agar Bapak/Ibu berkenan memberikan pengarahan kepada saya. Apakah ada dosa yang lebih besar dibandingkan dosa orangtua yang memaksa anak-anaknya sendiri menjadi yatim? Adakah durhaka yang melebihi durhakanya istri kepada suaminya sendiri yang sedang berusaha mengajak bersama-sama belajar pada kebaikan? Apalagi dengan memaksa orangtua suaminya untuk sujud mengakui bahwa ia adalah seorang pegawai negara? Adakah keburukan yang lebih buruk dari menolak berkumpul dengan yang selain pegawai negara? Tidak bertegur sapa selama tiga hari saja, amal baiknya tertolak, apalagi yang lebih dari itu dan disebabkan kesombongan merasa paling mulia?”.

Setelah membacanya, saya mengaduk-ngaduk seluruh isi sampah itu untuk menemukan bagian lain dari selembar kertas yang saya temukan ini. Hati saya begitu penasaran. Tetapi tidak berhasil kecuali hanya dua kertas lagi yang sama, namun sangat lusuh dan basah yang sudah tidak nampak lagi tulisannya, apalagi sobek di sana-sini. Kemudian saya melanjutkan kembali membaca yang hanya selembar tadi.

“Sekali lagi, saya mohon maaf, saya tidak bermaksud apapun dengan seluruh isi surat saya ini, kecuali hanya agar istri dan anak-anak saya kembali bersikap sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Serta bisa kembali berkumpul menjadi satu keluarga yang utuh bahagia, sebagaimana harapan Bapak/Ibu dulu ketika mengijinkan saya menikahi putri Bapak/Ibu. Untuk itu, saya berharap agar Bapak/Ibu bisa membantu demi anak-anaknya sendiri, juga cucu-cucunya sendiri. Dan saya sangat yakin, Bapak/Ibu masih bisa mengarahkan istri saya ke jalan yang seharusnya menjadi seorang istri, dan ibu dari anak-anaknya sendiri.”

Dan Entahlah? Lebaran kali ini sebagai upaya menebus dosa-dosa saya atau malah hanya sebentuk kekeliruan dengan menumpuk-numpuk dosa. 

Entah juga? Saya masih belum paham. Apa yang saya terima sampai detik ini adalah nikmat atau justru laknat? Jika nikmat, kenapa sedemikian menyakitkan dan juga menyakiti banyak perasaan? Jika laknat, kenapa dengan sebuah kedudukan yang sangat diidam-idamkan banyak orang? (M. Nurroziqi. Tuban, 2 Syawal 1437 H)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian