Merasa Berposisi Lebih Tinggi


Kebiasaan di kampung kami, perempuanlah yang lebih dahulu melamar seorang lelaki. Kebiasaan yang sudah sangat mentradisi sampai hari ini. Entah semenjak kapan? Tetapi, meski tidak tertulis, kebiasaan itu bukanlah sesuatu yang menjadikan banyak orang berani melanggarnya. Lain dengan suami saya, didampingi beberapa keluarganya lebih dahulu datang ke rumah untuk meminta diri saya dari orangtua. Perlakuan sikap yang berbeda dari kebiasaan ini menjadikan orangtua saya serasa di posisi yang tinggi. Sehingga tidak jarang di sela-sela pembicaraan antar orangtua itu, suami saya diposisikan sebagai seorang yang sangat membutuhkan saya. “Jika tidak kita terima lamaran ini, pastilah sepulang dari sini ia akan bunuh diri”, demikian letupan-letupan kata yang tidak sedikit menjadi bahan tertawaan di antara keluarga saya. Dan tidak sedikit yang wajahnya merah padam di antara rombongan keluarga suami saya.

Dan kini, merasa berposisi yang lebih tinggi itu kembali menjangkiti diri saya dan orangtua. Yakni semenjak saya diangkat menjadi seorang pegawai negara, dan suami saya menjadi seorang pengangguran. Jika sebelumnya, saya yang masih bekerja sebagai pengajar yang tidak seberapa penghasilannya, tinggal bersama suami di rumah orangtuanya. Namun, seketika saya diangkat jadi pegawai negara, sedang suami menganggur setelah terpecat dari pekerjaannya, saya diboyong orangtua saya untuk kembali tinggal bersama mereka.

Sebetapapun besarnya upaya mencegah suami saya atas keputusan itu, tetap saja saya lebih menurut kepada orangtua. Dengan memberikan syarat kepada suami saya sebagaimana yang juga telah dipersyaratkan oleh orangtua saya. Yaitu, jika suami saya menginginkan untuk bersama kembali dengan anak-anak dan istrinya, maka ia harus bekerja. Dan jenis pekerjaannya harus jauh lebih mentereng dibanding pekerjaan saya yang pegawai negara. Sekaligus sudah harus dipersiapkan rumah mewah untuk tempat tinggal. Serta diboyongnya saya oleh orangtua yang memang tidak mendapat ijin suami saya itu, melalui saya juga orangtua menyampaikan bahwa jangan sampai keberadaan suami saya malah menjadi benalu di dalam kehidupan saya. Yang terakhir inilah, yang saya camkan betul di benak saya.

Meski dalam kondisi yang sudah tidak serumah lagi, saya masih berbaik hati dengan memberikan kesempatan berjumpa kepada suami saya. Setiap pagi dan sepulang dari kantor, suami saya masih saya ijinkan untuk menjemput dan mengantarkan saya. Tentu saja tidak sampai di rumah orangtua saya. Melainkan dari tempat pemberhentian kendaraan umum yang saya tumpangi setiap hari, sampai ke tempat kerja saya. Lebih dari itu, setiap hari Sabtu atau Minggu, suami saya juga saya ijinkan untuk berjumpa dengan anak-anaknya. Juga tidak di rumah orangtua yang saya kini telah kembali tinggal. Sebab oleh orangtua, suami saya sudah diharamkan menginjakkan kaki di sana selama belum memenuhi syarat-syarat yang diberikan oleh orangtua saya. Untuk menjumpakan dengan ayahnya, saya mengajak anak-anak di sebuah swalayan dekat rumah, yang di sana suami saya sudah menunggu untuk memuaskan kerinduannya kepada darah dagingnya sendiri.

Kondisi ini pun tidak berlangsung lama. Bukan kembali bersama, sebab siapa yang bisa dengan mudah mendapatkan posisi pekerjaan yang lebih tinggi dari saya, sekaligus mempersiapkan rumah sangat mewah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh orangtua saya. Meski saya sendiri paham betul bagaimana usaha suami saya di dalam memperjuangkan keutuhan hidup berkeluarga, bersama anak-anak dan istrinya. Meski di lisannya dengan nada menggertak tidak akan bekerja jika ternyata pekerjaan hanya berbuah kesombongan dan untuk saling menghinakan. Nyatanya, suami saya benar-benar berpontang-panting untuk memenuhi syarat yang diajukan orangtua saya yang sangat kecil sekali kemungkinannya untuk diwujudkan itu. Bahkan, saya juga tahu sendiri bahwa salah satu sepedanya juga telah dijual, dengan niatan untuk digunakan uang muka mengkredit rumah.

Tetapi, semua usaha yang dilakukan suami saya itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Tidak sama sekali. Meski tahu demikian, saya pun menutup mata. Juga menutup diri rapat-rapat agar jangan sampai suami saya memiliki kesempatan sedikitpun untuk mendekati saya, terutama anak-anak saya. Bahkan saya pernah mengancamnya akan melaporkan kepada polisi seandainya sampai berani melakukan paksaan untuk menjumpai anak-anaknya. Sikap ini saya ambil lantaran, secara diam-diam suami saya ternyata telah beberapa kali mengirimkan surat kepada orangtua saya yang isinya lebih banyak menghina. Pernah juga mengirimkan sebuah surat untuk atasan saya, yang memang sengaja dititipkan melalui saya. Yang ternyata, isinya juga tidak kalah menghinakan.

Dalam surat tersebut, dengan gaya goblok, suami saya menyampaikan, “Apakah di dalam menjadi pegawai negara terdapat aturan yang melarang para pegawai negara tersebut untuk berkumpul dan bergaul dengan yang bukan pegawai negara? Jika ada aturan tersebut, maka saya mohon dengan sangat agar ketika di luar jam dinas dan hari libur, istri saya diijinkan untuk berkumpul dan bergaul dengan mereka yang bukan pegawai negara. Namun, jika tidak ada aturan yang demikian, saya juga mohon dengan sangat agar istri saya diijinkan untuk mengundurkan diri. Sebab menjadi pegawai negara tidak menjadikannya lebih baik.

Bahkan, di akhir surat yang sengaja saya membacanya, dan tidak pernah saya sampaikan kepada atasan saya itu, yang menjadikan saya semakin bersikeras untuk melarang suami saya bertemu dengan saya dan anak-anaknya. “Dan saya yakin, bahwa Bapak/Ibu juga mengakui jika hidup itu harus senantiasa lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dan esok yang sesungguhnya itu adalah akhirat atau hari pembalasan. Tentu juga Bapak/Ibu sangat memahami, mana yang harus diutamakan. Istri yang patuh kepada suaminya, ataukah kepada Bapak/Ibu sebagai pimpinannya di tempat ia bekerja? Taat kepada aturan agamanya, ataukah taat kepada aturan dimana ia bekerja?”.


Dan di hari lebaran yang bernuansa sangat mudahnya meminta dan memberi maaf. Saya merasa tidak menemukan kebahagiaan yang demikian. Saya yang sudah kadung merasa berposisi lebih tinggi, tidak mungkin mengambil sikap merendahkan diri dengan menemui suami saya, ayah dari anak-anak saya, untuk menghaturkan segala kesalahan dan memohon maaf. Apalagi terdapat larangan keras dari orangtua saya. Apalagi saya juga tidak pernah punya kesalahan kepada suami saya. Jika memang selama ini saya dan orangtua saya melarangnya untuk hidup bersama-sama dengan anak-anak dan istrinya adalah nyata kesalahan suami saya yang telah memilih untuk menolak memenuhi seluruh persyaratan yang diajukan orangtua saya. (M. Nurrroziqi. Tuban, 7 Syawal 1437H)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian