Postingan

Konflik Sosial

Lebih selamat mana, antara hidup sendiri tanpa interaksi dengan dunia luar, jika dibandingkan dengan harus hidup bersosial? Tentu, sepintas kita akan berpikir bahwa hidup sendirilah yang bisa dengan mudah mencapai keselamatan hidup. Kenapa? Sebab, sumber kesalahan yang puncaknya menjadikan diri tidak selamat adalah dikarenakan dari interaksi sosial. Misalnya, yang paling sederhana, kita ghibah atau membicarakan orang lain, bahkan menfitnah. Itu pun satu kesalahan hasil dari interaksi yang tidak baik dengan sesama manusia. Belum lagi konflik-konflik lain, yang pastinya muncul dari ketidak harmnonisan di dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dan jika sudah ada kesalahan dengan sesama manusia begini, Alloh pun mempersyaratkan ampunan-Nya dengan harus terlebih dahulu saling memaafkan antar sesamanya. Di sinilah, kadang pilihan menyendiri adalah lebih menyelamatkan, dan mendamaikan. Akan tetapi, Allah Swt menciptakan manusia sedemikian banyak dan beragam karakternya, tentu bu

Siapakah Tamu Allah?

Acapkali, ketika sedang bertamu kita memosisikan diri bak seorang raja yang ingin dilayani dan dimuliakan sedemikian rupa. Sehingga , ketika kita tidak terlayani sebagaimana keinginan kita. Maka , tidak jarang timbul umpatan dan bahkan akan menjadi bahan gunjingan tidak enak yang kelak diceritakan di banyak orang. Hal semacam ini adalah sebentuk kecil kesalahan diri di dalam menerapkan sebuah tuntunan, jika tidak disebut sebagai penyalah gunaan dalil demi egoisme diri. Sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, “ barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu . ” P ada dasarnya , Hadist tersebut ditujukan kepada setiap yang berposisi sebagai tuan rumah . Agar dapat memuliakan tamu sebaik-baiknya. Akan tetapi , yang kerapkali berkembang di masyarakat adalah sabda Rasulullah Saw tersebut dijadikan pegangan oleh se se orang yang berposisi sebagai tamu . Agar ketika bertamu dimuliakan semulia-mulianya sebagaimana keinginannya. Padahal , yang bertamu s

Bukanlah Dunia Ukurannya

"Rizqi anak sholeh", ungkapan yang kerapkali terlontar ketika sedang mendapat sebuah keberuntungan dunia. Tentu , ujaran seperti itu tidak hadir begitu saja. Tetapi , bisa jadi lebih dilatar belakangi oleh kedangkalan berpikir soal kehidupan ini. Letak kesalah pahaman itu adalah kepada ambisi yang diliputi keduniaan. Bahwa , seorang yang serba mudah hidupnya, kaya raya, penuh dengan pangkat, juga seabrek keduniaan lainnya diyakini sebagai orang yang pasti baik dan dekat dengan Allah Swt . Sedang sebaliknya, mereka yang terus-terusan gagal, hingga miskin tidak punya apa-apa, malah dicurigai sebagai seorang yang jauh dari -Nya. Sehingga , bisa dipastikan , sama sekali bukan orang baik. Dan sesungguhnyalah , bukan begitu ukuran baik tidak nya manusi a. Sama sekali bukan soal dunia yang menjadi ukuran dekat dan tidaknya manusia dengan Tuhannya. Sebab , dunia itu dianugerahkan kepada siapapun saja , t anpa terkecuali. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw , “

Kebencian Allah Swt

Pernah membenci? Bisa dipastikan setiap kita, sedikit atau banyak, pernah menyimpan rasa benci di hati. Lantas, jika ditanya mengapa. Jawabnya, tentu lebih sering kebencian-kebencian itu lahir dari segala sesuatu yang tidak cocok dengan keinginan dan harapan di hati. Kita menginginkan begini, tetapi yang terjadi malah begitu. Benci pun perlahan muncul. Kita berharap sesuatu hal, namun yang didapatkan malah hal yang lain. Ini pun bisa jadi menumbuhkan bibit-bibit kebencian. Pastinya, kebencian itu mudah sekali muncul ketika kebaikan-kebaikan yang diharapkan tidak mewujud sama sekali. Ternyata, Allah pun pada tahap tertentu juga menyampaikan kebencian-Nya terhadap kita, manusia. Kenapa? Pada dasarnya, Allah sedemikian mencintai kita, manusia. Semenjak mula diciptakan, manusia didesain hanya untuk beribadah kepada-Nya. (wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun). Bahkan, di alam ruh, manusia sudah disumpah hanya untuk menuhankan Dia Swt saja. Tetapi, seiring berjal

Surga di Telapak kaki Ibu?

Gambar
“ Al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat ” (surga di bawah telapak kaki ibu) adalah sebuah motivasi bagi para anak agar sepanjang kehidupannya senantiasa menghormati kedua orang tuanya. Sebab kehadiran para anak di dunia, hidup, dan menjadi “orang” adalah buah tangan dari kerja keras dan jasa-jasa para orang tua. Dan semestinya, hadist Rasulullah Saw tersebut sasarannya adalah para anak agar menjadi pegangan hidup sehingga tidak lupa dengan seluruh jasa kedua orang tuanya. Meski demikian, sayangnya, tidak sedikit yang dengan dalih hadist tersebut, para orang tua berlaku sewenang-wenang terhadap para anaknya. Bersikap otoriter. Tidak memberikan ruang berdiskusi bagi para anak. Dan ketika tidak sesuai dengan keinginan orang tua, anak-anak dicap sebagai yang tidak akan mendapatkan surga yang terletak di telapak kaki ibu, dalam hal ini orang tua. Padahal, sebagai orang tua, telah diwanti-wanti oleh Rasulullah Saw dengan “ kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitroh, fa abawaahu yuhawwidaanihi,

Menata Hati

Gambar
Pada dasarnya, semenjak manusia dilahirkan itu membawa bekal di dalam dirinya masing-masing, yang kemudian dipahami tersimpan rapi di hati yang paling dalam. Lantas, seiring berjalannya waktu dan semakin bertambah luas serta banyaknya cakupan hidup di dunia yang dipenuhi tipu daya ini, maka sedikit demi sedikit kebaikan dasar manusia yang menjadi bekalnya semenjak lahir itu tertutupi. Menjadi semakin tertutupinya hati paling dalam sebagai sumber kebaikan setiap diri itu, juga tidak hanya disebabkan oleh segala hal yang bersumber dari luar diri manusia itu sendiri. Melainkan sisi lain manusia yang dibekali nafsu dan keinginanlah yang lebih banyak mendorong manusia untuk terus menerus menolak kebaikan dirinya sendiri. Ibaratnya sebuah ruang, hati manusia itu, yang di sisi kanan dan kirinya terdapat candela. Dari satu cendela, malaikat akan memasuki ruang itu untuk senantiasa menjaganya jika memang ruangan tersebut benar-benar dalam kondisi yang baik. Sedang satu cendela yang lain