Siapakah Tamu Allah?


Acapkali, ketika sedang bertamu kita memosisikan diri bak seorang raja yang ingin dilayani dan dimuliakan sedemikian rupa. Sehingga, ketika kita tidak terlayani sebagaimana keinginan kita. Maka, tidak jarang timbul umpatan dan bahkan akan menjadi bahan gunjingan tidak enak yang kelak diceritakan di banyak orang. Hal semacam ini adalah sebentuk kecil kesalahan diri di dalam menerapkan sebuah tuntunan, jika tidak disebut sebagai penyalah gunaan dalil demi egoisme diri.

Sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu.Pada dasarnya, Hadist tersebut ditujukan kepada setiap yang berposisi sebagai tuan rumah. Agar dapat memuliakan tamu sebaik-baiknya. Akan tetapi, yang kerapkali berkembang di masyarakat adalah sabda Rasulullah Saw tersebut dijadikan pegangan oleh seseorang yang berposisi sebagai tamu. Agar ketika bertamu dimuliakan semulia-mulianya sebagaimana keinginannya.

Padahal, yang bertamu sendiri oleh Rasulullah Saw diberikan tuntunan dalam sabdanya. “Tamu ibaratnya mayat, di antara tangan-tangan orang yang memandikannya”. Sehingga, ketika sedang bertamu, seseorang tidak dianjurkan untuk menuntut dilayani dan dimuliakan dengan ini dan itu sesuai keinginannya. Sebab, tamu tidak lebih sebagai mayit. Dan terserah tuan rumah bagaimana memperlakukannya. Berdasarkan Hadist ini pulalah, tamu yang sedang berpuasa sunnah. Dan ketika sedang bertamu disuguhi makanan oleh tuan rumah. Maka, dianjurkan membatalkan puasa sunnahnya oleh Rasulullah Saw. Demikianlah, betapa sudah jelas tuntunan yang diajarkan. Akan tetapi, sebab ego diri yang tinggi, kerapkali manusia memelintir dalil sekehendaknya asal menguntungkan diri sendiri.

Demikian juga dengan tamu-tamu Allah Swt yang di bulan Dzulhijjah (bulan haji) memenuhi panggilan-Nya menunaikan rukun Islam yang terakhir di tanah suci Makkah. Di sepanjang waktu itu, para jamaah haji benar-benar menjaga diri agar dianugerahi keselamatan dan keberkahan dengan meraih predikat mabrur.

Yang diperintahkan sebagai rukun haji dijalankan sepenuh hati. Yang dianjurkan, dikerjakan sebanyak-banyaknya untuk meraup pahala. Serta yang dilarang, terus menerus dijauhi agar tidak menjadikan kesengsaraan. Dari sini, nampak sekali kesadaran tinggi akan diri jamaah haji yang berposisi sebagai tamu. Dan selayaknya tamu, yang tidak lebih bak mayat. Jadi, apapun dan bagaimanapun yang dikehendaki Sang Tuan Rumah yang telah memanggilnya di tanah suci, dipatuhi dan ditunaikan sekhusyu’ hati dan sekuat tenaga.

Sebab, sedang bertamu di rumah Allah Swt yang sedemikian disakralkan inilah, tidak jarang timbul kejadian-kejadian di luar nalar manusia. Ada jamaah haji yang kesehariannya tidak baik. Kemudian, ketika bertamu di tanah suci kerapkali menemui perlakuan-perlakuan tidak baik terhadap dirinya. Sebaliknya, tidak jarang yang kebiasaannya berlaku mulia. Lalu, di sana sedemikian mendapatkan kemudahan-kemudahan. Sehingga, kenyataan yang telah diyakini masyarakat ini, benar-benar menjadikan para jamaah haji sangat berhati-hati ketika berada di tanah suci. Seperti ada ketakutan tersendiri akan diperlakukan tidak enak oleh Sang Tuan Rumah ketika perilakunya ketika bertamu tidak sopan.

Dan menjadi tamu Allah Swt, sebenarnya tidaklah semata ketika dipanggil untuk berhaji di tanah suci Makkah. Melainkan, yang sejatinya adalah ketika kita semua ditakdirkan-Nya hidup di dunia ini. Sebagai Tuan Rumah yang mengundang, Allah Swt menyajikan berbagai macam kenikmatan hidup dengan menjamin kecukupan rizqi bagi masing-masing makhluk-Nya. Sekaligus mengangkat manusia sebagai wakilnya di muka bumi (kholifatulloh fil ardhi) dalam rangka memuliakan manusia sendiri yang sebagai tamu-tamu Allah Swt.

Sedang manusia sendiri harus sadar diri mengenai posisinya sebagai tamu Allah Swt di dunia ini. Sehingga bak mayat di antara tangan-tangan orang yang memandikannya tadi, maka manusia haruslah bersikap penuh kehati-hatian di sepanjang kehidupan yang dijalaninya sebagai tamu. Yakni dengan benar-benar mematuhi dan menjalankan apapun serta bagaimanapun yang Tuan Rumah sajikan.

Dengan demikian, yang dipersilahkan, dijalankan dengan benar. Dan yang tidak diperbolehkan, dijauhi. Dan seharusnya semua itu tidak sekadar dipahami sebagai bentuk aturan yang harus ditaati sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya. Melainkan adalah sebentuk etika dan sopan santun yang sudah seharusnya ditunjukkan oleh seorang tamu di hadapan Tuan Rumah. Dan tentu, mana yang memang diperbolehkan dan apa saja yang dilarang-Nya telah diatur di dalam Al-Qur’an serta sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah Saw.

Jika kualitas kepribadian diri setiap manusia bisa sedemikian beretika dan dipenuhi kesopanan. Maka, tidaklah akan kita jumpai keburukan dan kerusakan di muka bumi ini. Sayangnya, atas kenyataan yang ada semenjak diciptakannya manusia sehingga sekarang ini, tidak sedikit yang tergelincir oleh nafsu serta egoisitasnya masing-masing. Memaksakan diri berposisi bak raja yang bebas menjalankan ini dan itu sekendak nafsu. Tidak jarang pula yang berani mendeklarasikan diri sebagai tuan rumah yang harus terlayani. Sehingga, ketika ditimpakan sesuatu yang tidak enak, maka serta merta ia mengumpat Tuhan serta menghardiknya sebagai yang tidak adil. Dan sebenarnya, di tangan-tangan manusia berkarakter demikianlah yang menimbulkan kerusakan.

Pungkasnya, momentum menjadi tamu Allah Swt di tanah suci, haruslah semakin menumbuhkan kesadaran tinggi di dalam setiap diri. Khususnya umat Islam, mengenai posisinya sebagai tamu yang tidak lebih layaknya mayat di tangan-tangan orang yang memandikannya. Sehingga, apa yang Tuan Rumah sajikan, dinikmatinya penuh etika dan kesopanan. Yang diperbolehkan, dikerjakan, sedangkan yang dilarang-Nya, dijauhi. (M. NURROZIQI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian