Bukanlah Dunia Ukurannya
"Rizqi anak
sholeh", ungkapan yang kerapkali terlontar ketika sedang mendapat sebuah
keberuntungan dunia. Tentu, ujaran seperti itu tidak hadir begitu saja. Tetapi, bisa jadi lebih dilatar
belakangi oleh kedangkalan berpikir soal kehidupan ini.
Letak kesalah pahaman itu
adalah kepada ambisi yang diliputi keduniaan. Bahwa, seorang yang serba mudah
hidupnya, kaya raya, penuh dengan pangkat, juga seabrek keduniaan lainnya
diyakini sebagai orang yang pasti baik dan dekat dengan Allah Swt. Sedang sebaliknya,
mereka yang terus-terusan gagal, hingga miskin tidak punya apa-apa, malah
dicurigai sebagai seorang yang jauh dari-Nya. Sehingga, bisa dipastikan, sama sekali bukan orang
baik.
Dan sesungguhnyalah, bukan begitu ukuran baik
tidaknya
manusia. Sama sekali bukan soal dunia
yang menjadi ukuran dekat dan tidaknya manusia dengan Tuhannya. Sebab, dunia itu dianugerahkan
kepada siapapun saja, tanpa terkecuali. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw, “Sesungguhnya Allah memberi dunia itu kepada orang yang
dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya. Dan
Allah tidak memberikan keimanan
kecuali kepada orang yang dicintai-Nya.”
Dan pastinya, seringkali
kita menyaksikan akan tidak sedikitnya orang-orang baik nan dekat dengan Allah
Swt, tetapi kehidupannya serba di bawah. Terlampau banyak pula manusia yang
sama sekali tidak baik, bahkan jauh dari taat kepada Allah Swt, tetapi hidupnya serba di
atas.
Mudahnya, orang yang gemuk
itu sama sekali tidak bisa menjadi ukuran bahwa dia orang baik. Tidak bisa
dijadikan tanda bahwa dia sangat dekat dengan Allah sehingga dilebihkan
pemberian badannya. Tidak begitu.
Sebaliknya juga dengan orang yang kurus. Tidaklah mungkin kekurusan itu disebabkan
lantaran seseorang jauh dari Allah. Sebab jauh, dan tentu saja tidak baik, lantas
Allah hanya memberikan sedikit saja daging bagi tubuhnya. Tidak. Bukan begitu
ukuran baik buruk seseorang.
Atau, jika kita masih membutuhkan
contoh untuk semua itu. Maka, marilah kita mengingat-ingat kisah para Nabiyulloh. Manusia-manusia pilihan yang dijamin surga oleh Allah
Swt. Dan tentunya
sangat baik lagi dekat
dengan-Nya. Jika seandainya keberuntungan dunialah yang menjadi ukuran baik dan
tidaknya manusia, bagaimana dengan Nabi Isa as yang ditakdirkan Allah Swt
sebagai seorang yang miskin. Tidak punya apa-apa. Rumah pun juga tidak. Bahkan hidup
sendiri, tanpa istri. Tidak selayaknya Nabi Sulaiman as yang kaya raya. Dan justru
dalam kondisi yang seperti itu, Nabi Isa as termasuk salah satu rosul yang termasuk
ke dalam golongan rosul Ulul 'Azmi. Nabi sekaligus rosul yang memiliki kesabaran dan
ketabahan luar biasa. Atau mungkin, kita pasti paham kisah hidup Nabi Ayyub as yang
sakit-sakitan. Sangat jauh dibandingkan Nabi Musa as yang sangat kuat tubuhnya. Masihkah kita
menjadikan keduniaan seseorang sebagai tanda baik dan buruknya orang tersebut?
Tentunya,
kisah-kisah para nabi dan rosul yang sampai pada diri kita, seharusnya semakin
memberikan pengertian dan kepahaman. Bahwa, yang paling pokok dari hidup
ini bukanlah segala rupa yang diberikan atau tidak berikan Allah Swt kepada
kita. Semata sama sekali bukanlah apa yang berada di luar diri kita. Akan
tetapi, bagaimana setiap kita bisa menghadapi segala hal di luar diri kita itu
dengan sebaik-baiknya. Itu yang paling penting. Sehingga, apapun keadaan dunia
yang harus kita jalani, tetaplah harus bisa mengantarkan kita menjadi
manusia-manusia yang baik. Yang semakin dekat dengan Allah Swt.
Pentinglah
kiranya untuk kita senantiasa membuka diri. Belajar lebih serius lagi tentang
kehidupan ini. Belajar dengan sejujur-jujurnya. Biar tidak semakin salah-salah mengenai
kehidupan dan segala hal yang mesti kita diyakini. Tidak mudah
kagum terhadap gemerlap dunia. Tidak salah memuliakan manusia lantaran
keduniaannya. Sebab itu bisa menghilangkan dua pertiga keimanan kita. (M. Nurroziqi)
Komentar
Posting Komentar