Iming-iming Pahala


Kebanyakan dari kita tentu pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Khususnya kepada lawan jenis. Uniknya, ekspresi cinta itu sedemikian beraneka ragam. Bahkan tidak jarang di dalam percintaan itu terdapat pengorbanan-pengorbanan yang sama sekali tidak membutuhkan balasan apapun. Tentu saja demi yang dicintainya tadi. Tanpa diiming-imingi akan dikasih ini dan itu. Ketulusan cinta yang di hati telah menggerakkan para pecinta untuk melakukan apapun saja demi yang dicintainya tadi. Sehingga kesengsaraan, juga derita, seakan tidak berlaku di hadapan para pecinta.

Misalnya, ketika kita mencintai seseorang. Pernahkah kita berpikir akan dikasih apa atau mendapatkan keuntungan yang bagaimana di saat harus melakukan sesuatu demi yang kita cintai tadi? Jawaban tidak atas pertanyaan inilah, kemudian ada istilah cinta itu buta. Berkorban mati-matian demi yang dicintai tanpa pernah mendapatkan balasan setimpal atas pengorbanan tadi adalah nilai sebuah ketulusan. Seringnya, bercinta yang tulus di antara sesama manusia yang berlainan jenis itu demikian. Lantas, bagaimanakah dengan cinta seorang hamba kepada Tuhannya?

Pahala dan dosa, surga dan neraka, sejatinya hanyalah iming-iming belaka agar manusia tidak memiliki sedetik pun kesempatan untuk berpaling dari kasih sayang Tuhan. Keduanya memiliki dosis yang pas bagi karakter diri manusia. Jika manusia itu baik dan senantiasa taat, maka Allah Swt akan mengimbalinya dengan kebahagiaan-kebahagiaan di surga-Nya. Sebaliknya, manusia yang ingkar dan senantiasa berpaling dari cinta-Nya, maka akan terus menerus diingatkan-Nya dengan peristiwa-peristiwa yang sedikit menyakitkan. Dan nerakalah sebagai puncak kecemburuan Allah Swt atas abainya manusia dengan cinta-Nya.

Bahkan, ketika manusia di penghujung nafasnya, ditampakkanlah pula surga dan neraka-Nya. Surga yang ditampakkan di hadapan manusia ketika hendak meninggal, menjadikan manusia begitu ringan menjemput kematiannya. Sebab, kebahagiaan yang luar biasa atas surga yang dihadapannya. Sebaliknya, manusia yang tidak baik dinampakkan neraka di ujung hidungnya. Hal ini adalah wujud betapa sangat cintanya Allah Swt terhadap hamba-hamba-Nya. Ditakuti-Nya dengan neraka tidak lain supaya manusia segera sadar, dan bertaubat.

Kemudian, lebih dari itu, sesungguhnya sepanjang perjalanan hidup manusia di dunia selalu saja diliputi dengan bahagia dan duka. Silih berganti sampai pada batas akhir jatah usia manusia. Tetapi, bagi mereka yang sudah menatap penuh cinta kepada Sang Maha Pencipta, duka dan derita seperih apapun yang dirasakannya di dunia, sama sekali bukanlah sesuatu yang berarti. Semua dinikmati penuh bahagia sebagai perkenan Allah Swt.

Duka dan derita kenapa bisa ternikmati sebagai bahagia?

Pertama, bagi manusia beriman, berbagai macam hiruk pikuk dunia yang ditimpakan kepada dirinya, diterima sebagai sebuah ujian. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut: 2, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “kami telah beriman.” Sedang mereka tidak diuji lagi.” Dan yang namanya ujian, pastinya bertujuan untuk membuktikan seberapa tinggi keberimanan manusia. Sekaligus juga sebagai proses untuk meningkatkan kualitas diri seorang hamba di hadapan Tuhannya.

Sedang ujian sendiri, wujudnya tidak melulu soal kesengsaraan hidup yang diliputi duka dan derita. Tetapi, gemerlap kenikmatan hidup yang dipenuhi kebahagiaan, juga sebentuk ujian yang luar biasa beratnya. Kemudian, kedua wujud ujian tadi, akan semakin mengantarkan manusia pada kedekatan yang semakin intim dengan Tuhannya. Kesengsaraan hidup yang dirasakan akan menjadikan pribadi yang semakin sabar dengan mengharap belas kasih hanya kepada Allah Swt semata. Juga kenikmatan hidup yang membahagiakan, akan mengantarkan diri menjadi manusia penuh syukur, yang menjadikannya semakin tulus menghamba hanya kepada Allah Swt.

Kedua, bahwa kesengsaraan hidup yang kadangkala ditimpakan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya adalah sebentuk peringatan atas sebuah kesalahan yang pernah dikerjakan. Ibaratnya, seorang murid yang asyik bermain sendiri tanpa memperhatikan gurunya ketika sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas. Kemudian, sang guru mengambil sikap dengan melemparkan potongan kapur tulis kepada murid yang sedang tidak memperhatikan tadi. Tentu ini ditujukan agar seorang murid tadi segera kembali memperhatikan penjelasan pelajaran yang disampaikan gurunya.

Begitu pula dengan kesengsaraan hidup yang kadangkala dirasakan manusia. Hanya semacam kapur tulis yang dilemparkan tadi, agar manusia yang telah lalai dari Tuhannya, kembali menjadi taat dan hanya patuh terhadap perintah-perintah-Nya. Jadi, ketika manusia sudah mulai menjauhi-Nya, maka Allah Swt akan menimpakan sesuatu yang sedikit menyakitkannya, agar mereka segera kembali dekat dengan-Nya.

Dengan demikian, jika setiap kita sadar diri bahwa setiap proses kehidupan yang kita jalani ini tidak lain hanya agar kembali ke hadirat Allah Swt dalam keadaan yang sangat dicintai-Nya, maka tidak setitik pun duka yang akan menimpa. Semua akan ternikmati dengan amat sangat bahagia. (M. Nurroziqi)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surga di Telapak kaki Ibu?

Berbahagia Dengan yang Ada

Menulislah Untuk Keabadian