Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Merasa Berposisi Lebih Tinggi

Gambar
Kebiasaan di kampung kami, perempuanlah yang lebih dahulu melamar seorang lelaki. Kebiasaan yang sudah sangat mentradisi sampai hari ini. Entah semenjak kapan? Tetapi, meski tidak tertulis, kebiasaan itu bukanlah sesuatu yang menjadikan banyak orang berani melanggarnya. Lain dengan suami saya, didampingi beberapa keluarganya lebih dahulu datang ke rumah untuk meminta diri saya dari orangtua. Perlakuan sikap yang berbeda dari kebiasaan ini menjadikan orangtua saya serasa di posisi yang tinggi. Sehingga tidak jarang di sela-sela pembicaraan antar orangtua itu, suami saya diposisikan sebagai seorang yang sangat membutuhkan saya. “ Jika tidak kita terima lamaran ini, pastilah sepulang dari sini ia akan bunuh diri ”, demikian letupan-letupan kata yang tidak sedikit menjadi bahan tertawaan di antara keluarga saya. Dan tidak sedikit yang wajahnya merah padam di antara rombongan keluarga suami saya. Dan kini, merasa berposisi yang lebih tinggi itu kembali menjangkiti diri saya dan orang

Salah ke Siapa, Minta Maafnya ke Mana

Gambar
Sebagai manusia, tentunya tidak akan lepas dari yang namanya kesalahan. Dan berbekal akal pikiran dan hati, sekaligus kitab suci yang diturunkan melalui hamba-hamba pilihan Tuhan sendiri, sudah seharusnya menjadikan manusia semakin bisa mengurangi, bahkan mengantisipasi diri agar tidak lagi terjadi kesalahan-kesalahan itu. Sehingga kesalahan bukan lagi sebuah kelumrahan manusia, yang senantiasa bisa terus dimaafkan. Tetapi di balik kesalahan-kesalahan itu pastilah mengandung konsekuensi yang mesti dipertanggung jawabkan. Sebab itulah adanya surga dan neraka. Sebagai tempat mempertanggung jawabkan segala hal yang dikerjakan manusia di kehidupan ini. Dengan bermacam rupa kesalahan, manusia diberikan pengampunan begitu luasnya oleh Tuhan. Bahkan jauh lebih luas dibanding kesalahan-kesalahan itu sendiri. Juga Tuhan sendiri menyampaikan bahwa kasih sayang-Nya jauh mendahului amarah-Nya. Dan untuk sampai pada pengampunan itu, kuncinya hanyalah satu. Meminta maaf. Namun, pada keny

Menebus Dosa atau Menumpuk Dosa

Gambar
Lebaran yang dinanti-nantikan. Momentum paling tepat untuk bersua. Berkumpul penuh cinta dengan seluruh sanak kerabat dalam kelapangan hati saling meminta maaf dan memaafkan. Sepintas itu juga yang saya ikut rasakan. tetapi, setiap kali bertemu dengan teman dan keluarga, entah lebih banyak kebaikannya ataukah malah memperbanyak dosa? Perbincangan demi perbincangan yang saya lakukan tidak lebih hanya sebentuk rasan-rasan . Selepas saling menjabat tangan untuk kemudian saling memaafkan, spontan saya selalu membuka aib-aib keluarga saya ketika ditanya tentang kabar diri. Sebagaimana tidak sabarnya saya ketika harus menunda rasa lapar hanya demi orang lain tidak ada yang merasa kelaparan. Saya pun tidak memiliki kesabaran ekstra ketika ditanya hal-hal yang menyangkut suami saya yang pengangguran itu. Yang semenjak diuji oleh orangtua saya dengan dipisahkan dari anak-anak dan istrinya, tidak malah menjadi penyemangat untuk segera bertindak memperjuangkannya dengan bekerja. Justru sea

Nikmat ataukah Laknat?

Gambar
Saya adalah seorang perempuan dengan dua orang anak. Kelahiran anak kedua sayalah yang banyak disebut-sebut sebagai pembawa rizqi atas keadaan diri saya yang diangkat Tuhan menjadi seorang pegawai negara. Iya. Pegawai negara, yang tidak siapapun mudah meraihnya, sebuah pekerjaan yang siapapun saja pasti tergiur ingin mendapatkannya. Tetapi Tuhan memuluskan jalan saya untuk sampai pada posisi itu, tepat sehari setelah kelahiran anak kedua saya. Entah nikmat ataukah laknat? Setelah pengangkatan saya menjadi pegawai negara, suami saya ikut terkena dampak kurang sehatnya perusahaan tempat ia bekerja. Pengurangan karyawan besar-besaran menjadikannya ikut terpecat. Tetapi bukan sedih yang diraut wajahnya, melainkan masih sangat sumringah penuh syukur dengan mengarahkan pandangannya kepada keberuntungan yang dianugerahkan Tuhan kepada diri saya dan dua orang anak yang sangat disayanginya. Dan lain lagi ketika orangtua saya yang memandang suami saya. Ia tidak lebih hanya seonggok bena